Saat berita tentang korupsi seperti massifnya gosip selebriti saja, dan mungkin lebih populer dari itu. Hampir tiap hari kita di suguhkan berita tentang kasus korupsi, dari penangkapan koruptor, vonis koruptor, koruptor memberi kesaksian, kesaksian palsu koruptor, pejabat yang korup dan beragam lainnya seputar korupsi. suatu tanda bahwa virus ini semakin mengganas dalam masyarakat indonesia, sehingga wajar bila kita kalau merasa miris dan prihatin dengan wabah ini. saya pribadi sangat muak dengan prilaku korupsi dan koruptor tersebut ( belum punya kesempatan kali ya), jangan-jangan virus itu tidak bisa ditangani lagi..wah parah...
Korupsi sudah seperti budayanya para elit politik, g korupsi g keren, di sorot kamera, berjalan bak pahlawan kesiangan, clingak-clinguk, seperti babi keracunan. Tapi begitulah korupsi selalu menjanjikan, kemewahan, uang, materi, tapi sayangnya rada mirip-mirip lagunya bang Rhoma, korupsi menjanjikan kekayaan, bohong-bohong walaupun kau dapat, itu awal dari kesengsaraan ( lirik di modifikasi, supaya sesuai selera ). korupsi memang menjanjikan kekayaan, materi dan kesenangan, tetapi kesenangan sesaat, palingan sepanjang usia sang koruptor, itupun kalau tak ketahuan.
hal yang membuat saya tercengang, bukan lagi para koruptor kunyuk itu, tetapi para suporternya yang mulai bertindak bejat dan tak sportif lagi melihat para koruptor idolanya (mungkin juga supporternya dapat jatah preman) mulai sedikit terdesak beradu jotos dengan KPK, ketularan tabiat kali ya dari koruptor idolanya. Hebatnya lagi supporter koruptor ternyata banyak tesebar di semua lembaga negara, di DPR, Kejaksaan, Kepolisian, Menteri dan mungkin juga Pak President yang terhormat, yang di awal pemerintahannya mencanangkan pemberantasan korupsi, tapi nyatanya supporter terselubung koruptor, atau setidaknya menjadikan slogannya sebagai modus pencitraan, memang maknyus juga tuh.
Sebagai orang awam yang banyak di bombardir berita tentang korupsi, tentu saja merasa jengkel dan kesumat (mana g bagi-bagi lagi), juga sangat sering mencari kambing hitam bagi prilaku korupsi yang di lakukannya, seperti kata pepatah, tidak jatuh, tangganya di salahkan. wehh parah..
Terinspirasi dari ADC ADC pernah menjadi film box office di indonesia, pernah nonton g..?? tapi saya tak ingin membahas detail filmya itu, tetapi hanya salah satu adegan dalam film tersebut, di saat Cinta mengucapkan Puisi itu dengan lirih “ Pecahkan saja gelas itu biar ramai ” apa hubungannya dengan cerita kita sekarang..?? Sebenarnya tidak ada, hanya berusaha menebak, bahwa kemungkinan para koruptor dan supporternya mendapat inspirasi dari lirik puisi tersebut diatas ketika merasa terganggu dengan kinerja KPK yang sudah berusaha merintangi mereka mendapatkan kesenangan dan berujar tegas, Bunuh saja KPK biar Ramai. kok bisa seperti itu, yaa bisa saja, kita lihat Yuk..!!!
Sejarah awal pembentukan lembaga anti korupsi, dari era soekarno sampai sekarang selalu mendapatkan resistensi dari para pejabat dan politisi korup, Bahkan Gus Dur di kabarkan pernah menawarkan solusi pembuktian terbalik di depan DPR untuk melawan kejahatan korupsi, tapi sayangnya memang, sebagian besar anggota DPR adalah pelaku dan supporter koruptor, jadi usulan Gus Dur itu hanyadi anggap angin lalu.
KPK yang di bentuk berdasarkan UU no.30 tahun 2002, dengan semangat untuk menjadi lembaga super power yang
Dalam sebuah wawancara dengan sebuah portal online, Mahfud MD memaparkan, bahwa ada 3 cara yang pernah di tempuh oleh orang atau lembaga untuk melemahkan KPK :
Pertama : Mengajukan uji materil undang-undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hingga kini, tercatat sudah 14 kali UU KPK diuji supaya dibatalkan karena dinilai inkonstitusional, Tapi 14 kali pula MK menyatakan KPK sah, konstitusional dan harus didukung,
Kedua : Mempermasalahkan legitimasi pimpinan KPK. Di dalam UU KPK disebutkan KPK dipimpin lima orang secara kolektif kolegial. Namun realitanya kepemimpinan itu dikecilkan. Pengecilan kepemimpinan KPK, misalnya terjadi saat mantan Ketua KPK Antashari Azhar ditahan atas kasus pembunuhan. Pasca-kejadian itu, DPR lewat Komisi III langsung menyatakan bahwa KPK sudah tidak punya legitimasi lagi karena kolektif kolegialnya habis. Kalau menurut undang-undang, ketika pimpinan ditahan, maka harus diberhentikan. Nyatanya tiga orang pimpinan saja masih bisa kolektif kolegial.
Ketiga : Dengan merevisi UU KPK, seperti yang di lakukan oleh Anggota DPR saat ini, walaupun sebagian kecil anggota DPR ada yang menolak dari awal, tapi nyaris tak terdengar. Ketika banyak anggota masyarakat yang kontra dengan upaya revisi undang KPK sebagian besar anggota DPR itu ramai-ramai menolak revisi UU KPK tersebut.