Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Lawyer

Verba nectere, sensum provocare—quia omnis scriptura scintilla mutationis est.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Multikulturalisme sebagai Ruang Kolaborasi antar Tradisi

23 Desember 2024   10:49 Diperbarui: 23 Desember 2024   10:49 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman (Sumber: Pinterest/ https://pin.it/7xYfl6C5X)

Dalam lanskap global yang semakin terhubung, multikulturalisme telah menjadi salah satu fenomena yang tidak terelakkan. Keberagaman budaya, yang dahulu terikat oleh batas-batas geografis, kini hadir dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi lintas budaya yang semakin intens. Namun, alih-alih menjadi kekuatan pemersatu, multikulturalisme sering kali menghadapi berbagai persoalan yang kompleks. Salah satu persoalan mendasar adalah bagaimana mengelola keberagaman tersebut tanpa menciptakan gesekan antara tradisi dan keyakinan yang berbeda.

Sering kali, diskursus tentang multikulturalisme terjebak dalam dua ekstrem. Di satu sisi, ada narasi yang menuntut asimilasi budaya demi tercapainya harmoni sosial, yang pada praktiknya justru mengikis identitas tradisional. Di sisi lain, terdapat pendekatan yang cenderung permisif, di mana semua bentuk tradisi dianggap setara tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip universal seperti hak asasi manusia. Dalam kedua pendekatan ini, multikulturalisme kehilangan maknanya sebagai ruang kolaborasi yang otentik.

Lebih jauh, salah kaprah tentang multikulturalisme kerap kali muncul akibat kegagalan membedakan antara ranah tradisi dan akidah. Tradisi, yang merupakan manifestasi dari kebudayaan manusia, kerap kali disalahartikan sebagai sesuatu yang identik dengan akidah, yang memiliki sifat sakral dan absolut. Akibatnya, upaya untuk mempromosikan multikulturalisme sering kali dicurigai sebagai ancaman terhadap keyakinan keagamaan.

Permasalahan ini menjadi semakin relevan ketika kita menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan konflik politik. Dalam konteks ini, multikulturalisme memiliki potensi besar untuk menjadi platform kolaborasi antar tradisi yang berorientasi pada solusi. Namun, potensi ini hanya dapat diwujudkan jika kita mampu mendefinisikan ulang multikulturalisme sebagai domain praktik yang mengutamakan kerja sama tanpa mengorbankan integritas masing-masing tradisi.

Multikulturalisme, dalam wacananya yang acap kali diperdebatkan, seringkali mengalami penyempitan makna yang berujung pada miskonsepsi tentang hakikat dan tujuannya. Dalam tataran konseptual, multikulturalisme bukanlah sekadar perayaan keberagaman yang superficial, melainkan sebuah arena tempat tradisi-tradisi bertemu, berdialog, dan bekerja sama untuk menyelesaikan tantangan bersama. Melalui pemahaman yang lebih mendalam ini, multikulturalisme dapat diredefinisi sebagai domain kolaborasi yang menjunjung tinggi kekhasan tradisi tanpa melibatkan kompromi terhadap prinsip fundamental masing-masing.

Namun demikian, urgensi untuk menjadikan multikulturalisme sebagai ruang kolaborasi justru terletak pada keberanian untuk membedakan ranah tradisi dari ranah akidah. Tradisi, yang inheren dalam kehidupan manusia, merepresentasikan cara hidup, nilai-nilai kultural, dan praktik sosial yang diwariskan lintas generasi. Di sisi lain, akidah adalah inti keyakinan yang bersifat sakral dan absolut dalam setiap agama. Oleh sebab itu, mencampuradukkan keduanya tidak hanya akan menciptakan ambiguitas makna, tetapi juga berpotensi menimbulkan friksi yang kontraproduktif.

Dalam ranah praktis, multikulturalisme yang otentik mensyaratkan adanya pengakuan terhadap eksistensi tradisi lain tanpa harus menyerap atau mengintegrasikan elemen-elemen yang bertentangan dengan akidah individu. Sebagai contoh, dalam mengatasi persoalan lingkungan, masyarakat dengan tradisi agraris dapat berkolaborasi dengan komunitas urban yang memiliki pendekatan teknologi modern. Kolaborasi ini memungkinkan terjalinnya hubungan mutualistik, di mana masing-masing tradisi berkontribusi sesuai dengan keunggulannya tanpa kehilangan identitasnya.

Di samping itu, multikulturalisme yang berorientasi pada praktik memerlukan kerangka normatif yang jelas dan adil. Kerangka ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga mengakomodasi keberagaman tradisi, namun tetap berpegang pada prinsip universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, penghormatan terhadap tradisi lokal harus diimbangi dengan penegakan hak asasi manusia yang bersifat lintas budaya. Dengan demikian, multikulturalisme dapat berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian konflik yang bukan hanya mencegah dominasi satu tradisi atas yang lain, tetapi juga menciptakan sinergi yang produktif.

Kritik terhadap multikulturalisme sering kali diarahkan pada kegagalannya dalam membedakan inklusi dari asimilasi. Banyak yang beranggapan bahwa multikulturalisme menuntut pelepasan identitas tradisi demi terciptanya homogenitas sosial. Namun, pandangan semacam ini bertentangan dengan esensi multikulturalisme itu sendiri. Sebaliknya, multikulturalisme yang sehat justru menekankan pentingnya menjaga keragaman tradisi sebagai aset kolektif yang memperkaya kehidupan manusia. Dalam konteks ini, praktik multikulturalisme menjadi semacam laboratorium sosial, di mana perbedaan dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.

Dapat dipastikan, multikulturalisme yang berbasis kolaborasi antar tradisi tidak hanya memberikan solusi praktis terhadap masalah-masalah kontemporer, tetapi juga mengukuhkan fondasi etika global yang inklusif. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi, multikulturalisme semacam ini menawarkan harapan baru untuk menciptakan harmoni tanpa harus mengorbankan esensi dari tradisi maupun akidah. Maka, inilah saatnya kita memandang multikulturalisme bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai jalan menuju kehidupan bersama yang lebih bermakna dan bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun