Ketiga tingkatan persepsi ini juga paralel dengan pemahaman tentang alam semesta: alam indrawi sebagai dunia fisik yang tampak, alam imaji sebagai ruang batin manusia, dan alam akal sebagai dimensi realitas universal yang melibatkan keterhubungan segala sesuatu.Â
Sebagaimana persepsi, keberadaan manusia di dalam salah satu alam ini mencerminkan tingkat keterikatannya.
 Dalam keterikatan terhadap alam indrawi, manusia mengeksploitasi dunia demi pemenuhan hasratnya. Ketika beralih ke alam imaji, ia mulai bermimpi tentang dunia yang lebih baik. Namun, baru ketika ia mencapai alam akal, manusia mampu memahami posisinya sebagai bagian dari harmoni kosmik yang lebih besar.
Ketika manusia mencapai puncak persepsi akal dan keberadaan di alam akal, ia seolah berdiri di atas ketinggian tertinggi pemahaman. Pada tahap ini, manusia tidak lagi terikat oleh materi atau ilusi, tetapi memperoleh pandangan yang lebih universal tentang realitas. Namun, pencapaian ini, jika tidak diikuti dengan pelepasan atau mentajarrud, dapat membawa manusia pada jebakan baru: menuhankan akalnya sendiri.
Akal, dalam segala keagungannya, adalah alat yang luar biasa untuk memahami realitas. Ia membimbing manusia menuju ilmu pengetahuan, peradaban, dan etika. Namun, ketika manusia mulai mengabsolutkan akalnya, ia berisiko kehilangan arah.Â
Akal, yang sejatinya adalah sarana, berubah menjadi pusat keberadaan. Dalam sejarah pemikiran, fenomena ini tampak pada berkembangnya filsafat materialisme dan sekularisme ekstrem, di mana kebenaran dipersempit hanya dalam batas yang dapat dipahami atau diukur oleh akal manusia.
Di dunia modern, bahaya ini terlihat dalam berbagai dimensi kehidupan. Dominasi logika rasional tanpa mempertimbangkan nilai-nilai spiritual telah melahirkan kehidupan yang kehilangan kedalaman.Â
Teknologi dikembangkan tanpa kendali moral, alam dieksploitasi tanpa rasa tanggung jawab, dan manusia berperilaku seolah-olah ia adalah penguasa tertinggi dari segala sesuatu. Akal yang menuhankan dirinya sendiri menjadi sumber alienasi manusia dari dimensi spiritual dan transendensi.
Inilah pentingnya mentajarrud, pelepasan dari keterikatan pada akal itu sendiri. Pelepasan ini bukan berarti menolak akal, tetapi mengakui keterbatasannya. Akal adalah pintu menuju kebenaran, tetapi bukan kebenaran itu sendiri.Â
Realitas yang hakiki melampaui apa yang dapat diraih oleh rasio. Ia hadir dalam dimensi yang tidak hanya dirasakan oleh indera atau dipahami oleh logika, tetapi disadari melalui pengalaman eksistensial yang lebih mendalam.
Proses mentajarrud membawa manusia pada pemahaman bahwa keberadaan bukanlah tentang menguasai, tetapi menyerahkan diri kepada harmoni semesta. Dalam tradisi spiritual, pelepasan ini sering kali digambarkan sebagai perjalanan kembali kepada Sang Pencipta. Hanya dengan mentajarrud, manusia mampu melampaui ego yang terperangkap dalam keangkuhan rasionalitas.