Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Rakyat Biasa

Penggemar Anime One Piece

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketergesa-gesaan Akademik dan Dampaknya terhadap Pemetaan Peradaban

17 November 2024   20:55 Diperbarui: 18 November 2024   00:22 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketergesa-gesaan akademik adalah luka laten di tubuh peradaban kita, sebuah paradoks yang menggantung di antara kemewahan pengetahuan dan kesempitan waktu. Dalam ruang-ruang akademik, di mana kita mengklaim berlari mengejar kebenaran, ironisnya, kita kerap terjebak dalam langkah-langkah terburu yang mengorbankan kedalaman untuk kecepatan. Sebuah substansi dipahami, atau lebih tepatnya, diklaim dipahami, dalam sekilas tatapan yang dangkal. Lalu, tanpa malu, substansi itu dijadikan fondasi untuk memetakan peradaban, seolah-olah kebenaran tunggal dapat diringkus dalam presentasi yang terburu-buru.

Masalahnya, substansi yang disempitkan ini sering kali dilemparkan ke ruang aksiologi, tempat nilai dan tujuan kehidupan ditimbang. Di sana, yang terjadi bukanlah pengayaan diskursus, melainkan kontradiksi yang membingungkan. Apa yang dimulai sebagai pemahaman setengah matang kini menjelma menjadi konflik nilai yang berdampak luas. Ironisnya, ruang aksiologi-tempat kita mencari jawaban tentang apa yang baik, benar, dan indah-malah berubah menjadi arena di mana kebingungan akademik merajalela, membebani masyarakat dengan nilai-nilai yang cacat sejak kelahirannya.

Namun, apa pilihan kita? Untuk kembali memperdebatkan substansi itu, untuk membedahnya dalam dialektika yang memakan waktu, adalah kemewahan yang hampir tidak dimiliki siapa pun di tengah derasnya tuntutan akademik modern. Institusi kita telah menjadi mesin waktu; setiap menit memiliki harga, setiap jam adalah investasi yang tidak boleh sia-sia. Dan dalam kondisi ini, peradaban kita disandera oleh kedangkalan. Dialektika, senjata tajam untuk membongkar kompleksitas, menjadi artefak yang dirindukan tetapi jarang digunakan, seolah-olah ia terlalu berat untuk diangkat di tengah kecepatan zaman.

Yang lebih mengerikan adalah bagaimana ini semua berakar dalam kebiasaan kita: menyederhanakan yang kompleks, memetakan yang tidak terpetakan, dan memburu solusi instan untuk masalah yang membutuhkan keabadian untuk dipahami. Ketergesaan ini bukan hanya kesalahan metodologi, tetapi sebuah penyakit epistemik yang menggerogoti akar intelektual kita. Dan dengan setiap substansi yang salah dimaknai, kita sedang mengukir peta peradaban yang semakin jauh dari kenyataan, semakin terjebak dalam labirin kebingungan dan kontradiksi.

Kita hidup dalam bayang-bayang pertanyaan besar: apakah peradaban kita akan hancur oleh kedangkalan yang kita ciptakan sendiri? Kita berdiri di tepi jurang, memandang ke dalam kegelapan yang kita bangun dengan tangan kita sendiri. Jika ini terus dibiarkan, maka bukan hanya ruang aksiologi yang akan runtuh, tetapi seluruh bangunan peradaban kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun