Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Rakyat Biasa

Penggemar Anime One Piece

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Refleksi: Akademisi di Persimpangan

20 Oktober 2024   12:30 Diperbarui: 20 Oktober 2024   12:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena yang kian mengkhawatirkan dalam dunia pendidikan tinggi, khususnya di jenjang pascasarjana yang penulis alami, adalah menurunnya standar akademik di tengah tuntutan formalitas. Mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pemikir kritis, justru seringkali terjebak dalam pola-pola instan yang merusak esensi pendidikan itu sendiri. Praktik menyontek saat UTS dan UAS, menulis makalah yang hanya mengikuti tuntutan administratif tanpa upaya mendalam dalam analisis, dan abainya mereka terhadap dialektika intelektual, memperlihatkan adanya krisis yang lebih mendasar: hilangnya integritas akademik.

Realitas ini tidak bisa dinafikan begitu saja. Di satu sisi, tuntutan kurikulum yang padat dan tuntutan profesional di luar kampus sering dijadikan alasan pragmatis oleh mahasiswa untuk memilih jalan pintas. Di sisi lain, budaya akademis yang kurang mendukung dialog dan pencarian kebenaran, membuat banyak mahasiswa merasa bahwa pencapaian nilai jauh lebih penting daripada proses belajar itu sendiri. Hal ini bukan hanya mencoreng nilai keilmuan, tetapi juga membawa konsekuensi yang serius bagi masa depan institusi pendidikan.

Mereka yang hari ini duduk di bangku pascasarjana bukan sekadar mahasiswa biasa. Mereka adalah calon pendidik, calon pemimpin lembaga, dan calon perumus kebijakan di masa depan. Bagaimana mungkin kita dapat mempercayakan dunia pendidikan kepada mereka yang mengabaikan prinsip-prinsip kejujuran akademik? Lebih buruk lagi, ketika mentalitas ini diinternalisasi dan dibawa ke lembaga-lembaga pendidikan, bukan tidak mungkin standar keilmuan bangsa ini akan semakin tergerus. Apa yang kita pertaruhkan bukan hanya kualitas pendidikan, tetapi juga masa depan generasi yang akan mereka bimbing.

Namun demikian, persoalan ini tidak dapat disederhanakan hanya dengan menyalahkan mahasiswa. Sistem pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, harus turut bertanggung jawab. Ketika pendidikan lebih menekankan hasil ketimbang proses, ketika evaluasi hanya sekadar formalitas tanpa memberi ruang untuk diskusi dan kritik, dan ketika akses ke informasi (seperti Google) menjadi pengganti upaya intelektual, krisis ini adalah cerminan dari kesalahan sistemik.

Oleh karena itu, situasi ini menuntut kita untuk melakukan introspeksi mendalam. Pendidikan pascasarjana harus kembali kepada akarnya---yakni, sebagai ruang dialektika di mana pertanyaan lebih penting daripada jawaban instan. Hanya dengan begitu kita bisa memastikan bahwa mereka yang kelak akan memimpin lembaga pendidikan memiliki integritas dan kapasitas yang memadai. Bukan untuk merasa paling benar, tetapi untuk mengingatkan bahwa masa depan bangsa ada di tangan mereka yang hari ini tengah duduk di bangku perkuliahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun