Dalam perdebatan umum, ungkapan "belajar dari kegagalan" telah menjadi semacam mantra yang diulang-ulang, seakan-akan kegagalan adalah tiket emas menuju kesuksesan. Meskipun tampak bijak dan mendalam, narasi ini menyembunyikan sebuah kebodohan yang mengkhawatirkan: ia meromantisasi kegagalan seolah-olah itu adalah bagian tak terpisahkan dari proses. Padahal, di Indonesia, dengan tantangan sosial-ekonomi yang super kompleks dan ruang kesempatan yang sempit, mengandalkan kegagalan sebagai sumber pembelajaran adalah sebuah kemewahan yang tidak semua orang mampu nikmati. Yang kita butuhkan adalah pendekatan yang lebih cerdas, di mana analisis dan imajinasi berfungsi sebagai senjata utama dalam pengambilan keputusan-bukan sekadar merujuk pada pengalaman gagal yang pahit.
Mengandalkan kegagalan sebagai guru utama menunjukkan betapa lemahnya kita dalam perencanaan dan seberapa kaburnya visi kita. Di masyarakat yang membutuhkan efisiensi dalam setiap langkah, kegagalan bukanlah peluang belajar, melainkan kerugian yang harus ditanggung. Setiap individu, terutama mereka yang terjebak dalam keterbatasan kesempatan, harus mampu menciptakan visi yang jelas sebelum melangkah. Imajinasi bukan sekadar alat spekulatif, tetapi peta yang membantu kita menavigasi ketidakpastian dan mencapai tujuan dengan lebih terarah.
Di sinilah analisis berperan penting. Analisis yang tajam bukan hanya melihat apa yang ada, tetapi juga apa yang mungkin ada-menganalisis kemungkinan yang belum terwujud. Imajinasi melengkapi analisis dengan memberi bentuk pada skenario-skenario tersebut. Dengan memproyeksikan berbagai kemungkinan, kita bisa mengubah kegagalan menjadi sketsa teoretis yang jauh dari pengalaman nyata. Orang bijak tak perlu melompat ke jurang untuk tahu seberapa dalamnya; cukup amati dari jauh dan analisa bahaya yang mengintai.
Dalam konteks ini, belajar dari kegagalan terlihat seperti pilihan yang malas. Alih-alih memanfaatkan kemampuan untuk menganalisis dan berimajinasi, kita justru menunggu kegagalan datang menyerang dengan "pelajarannya." Ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Indonesia, dengan segala tantangan yang ada, tidak bisa terus-menerus menunggu kegagalan untuk mengoreksi dirinya. Dalam politik, ekonomi, hingga kebijakan sosial, setiap langkah yang salah adalah kemunduran yang signifikan. Jika keputusan hanya diambil untuk diuji oleh kegagalan, maka kita telah menyia-nyiakan kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan lebih produktif.
Para penganut filosofi "belajar dari kegagalan" sering kali mengabaikan satu fakta penting: waktu. Setiap kali kita gagal, waktu berharga itu lenyap begitu saja, tidak akan kembali. Dalam situasi di mana setiap kesempatan sangat berharga, waktu adalah sumber daya yang tidak dapat dibeli kembali. Oleh karena itu, berpikir ke depan, menganalisis setiap tindakan, dan mengimajinasikan semua kemungkinan harus menjadi prioritas utama.
Di masyarakat yang dipenuhi dengan keterbatasan, kesalahan bukanlah barang mewah yang bisa kita simpan dalam lemari. Kita harus menghentikan glorifikasi kegagalan sebagai jalan menuju kesuksesan. Kegagalan memang bisa memberi pelajaran, tetapi pelajaran terbaik adalah yang kita dapatkan sebelum kita terjun ke dalam jurang tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H