Indonesia berdiri di tengah panggung megah di mana keadilan sosial dan ekonomi tampaknya hanya menjadi dongeng untuk anak-anak sebelum tidur. Di negeri ini, kerja keras dan integritas seakan menjadi barang antik yang hanya bisa ditemukan di lemari museum. Para pemimpin dan pengusaha pintar berlatih seni menjilat yang menjamin kelancaran rezeki mereka, sementara rakyat yang bekerja keras hanya bisa menggigit jari, menyaksikan hasil jerih payah mereka mengalir ke kantong-kantong gelap yang tidak pernah mereka kenal.
Pada tahun 2023, Indonesia mendapatkan skor 34 dari skala 0-100 dalam Corruption Perceptions Index (CPI), menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia masih tinggi dibandingkan rata-rata global yang berada di angka 43. Dengan peringkat 65 terburuk dari total 180 negara yang dinilai, angka ini mencerminkan betapa dalamnya masalah korupsi yang menggerogoti struktur sosial dan ekonomi kita. Tahun ini, skandal besar menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 271 triliun-angka yang lebih mirip dengan taruhan di kasino daripada representasi kerugian yang sebenarnya dialami oleh rakyat.
Ketidakadilan ini berlanjut dengan pola rezeki yang terbalik, di mana keuntungan tidak lagi ditentukan oleh usaha dan prestasi, tetapi oleh kemampuan untuk berhubungan dengan "jaringan" dan "menyogok". Para oknum politik menggunakan taktik menyogok dan manipulasi untuk memastikan mereka tetap berada di puncak piramida ekonomi, sementara rakyat yang tidak memiliki akses ke "jaringan" terpaksa bertahan dengan sisa-sisa rezeki yang ada. Sistem ini bukan hanya masalah ekonomi; ini adalah cerminan dari kegagalan sistem yang lebih besar, di mana struktur yang mestinya melayani rakyat malah melayani kepentingan segelintir orang.
Sistem yang menciderai fitrah manusia ini, di mana kejujuran dan kerja keras tidak dihargai, pada akhirnya akan runtuh. Ekonomi yang tidak adil merusak kepercayaan publik dan menggerogoti fondasi negara dari dalam. Ketidakstabilan sosial yang diakibatkan oleh ketidakadilan ekonomi semakin memperburuk situasi. Ketidakpuasan publik yang meluas, didorong oleh ketidakmampuan sistem untuk memberikan hasil yang adil, berpotensi menciptakan gelombang protes dan kerusuhan.
Sementara itu, negara lain bergerak maju dengan inovasi dan kebijakan yang adil, Indonesia tampaknya terjebak dalam perangkap korupsi yang merusak reputasinya di mata internasional. Investor asing semakin skeptis, dan posisi Indonesia dalam arena global semakin terancam oleh reputasi buruk yang terus memburuk. Ketidakadilan dan korupsi ini berakibat pada penurunan aliran investasi asing dan berkurangnya peluang perdagangan, semakin memperburuk krisis ekonomi yang sudah ada.
Dalam situasi ini, kita hanya bisa menyaksikan ketidakmampuan pemerintah untuk menangani masalah yang ada. Tahun demi tahun, kita duduk terpaku di kursi penonton, menunggu dengan penuh harapan bahwa undang-undang perampasan aset yang sudah lama dinantikan akan diratifikasi dan KPK akan diberi senjata ampuh untuk melawan mafia-mafia kejam. Namun, tampaknya kita lebih seperti penonton di teater komedi kuno, di mana para aktor politik memainkan peran mereka dengan penuh penghayatan-hanya saja, akhir cerita selalu sama: KPK tetap lemah, dan undang-undang perampasan aset tetap tertunda di laci yang sama.
Jika pemerintahan ini adalah sebuah band, mereka pasti bermain di panggung dengan setlist yang hanya terdiri dari satu lagu-"Belum Siap"-dan mereka terus memainkannya dengan energi yang sama, seolah-olah itu adalah hit terbesar mereka. Ketika ada desakan untuk pengesahan undang-undang yang sebenarnya, mereka menyajikan pertunjukan baru dengan judul yang lebih glamor, "Pemeriksaan Prioritas yang Belum Tuntas," lengkap dengan penundaan tanpa akhir dan argumen yang lebih cerdik daripada pelawak paling terkenal.
Kenyataan pahit yang harus dihadapi adalah bahwa koruptor bukan hanya pelanggar hukum, tetapi perwujudan subjek yang paling merusak negara. Ketika kita terjebak dalam sirkus di mana keadilan dan rezeki dibagikan berdasarkan siapa yang paling pandai bermain permainan, bukan berdasarkan usaha dan prestasi, maka kita hanya bisa menunggu kehancuran. Ini adalah panggilan untuk berhenti menunggu perubahan dari atas dan mulai menuntut perbaikan yang mendalam dari bawah. Hanya dengan cara itu, kita bisa berharap untuk meraih masa depan ekonomi yang lebih stabil dan adil.
Untuk menghadapi krisis ini, diperlukan reformasi mendalam yang tidak hanya memperbaiki aspek-aspek superfisial dari sistem tetapi juga mengatasi akar penyebab ketidakadilan. Menegakkan hukum anti-korupsi secara konsisten, mempercepat pengesahan UU Perampasan Aset, memperbaiki mekanisme transparansi, dan membangun kembali kepercayaan publik adalah langkah-langkah yang sangat diperlukan untuk memperbaiki posisi negara di panggung internasional dan mencapai masa depan ekonomi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H