Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Habitus: Kemiskinan dan Dilema Demografi

27 Agustus 2024   02:49 Diperbarui: 27 Agustus 2024   03:11 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pierre Bourdieu, melalui teorinya tentang habitus, memberikan kita lensa yang tajam untuk memahami bagaimana kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga masalah mentalitas yang merasuki setiap aspek kehidupan individu yang mengalaminya. Habitus ini adalah hasil dari kondisi sosial yang dialami seseorang, sebuah struktur yang membentuk cara berpikir, bertindak, dan merasakan, yang kemudian memperkuat dan melanggengkan realitas sosial tersebut.

Ketika kita berbicara tentang kemiskinan, kita berbicara tentang lebih dari sekadar kurangnya sumber daya. Kita berbicara tentang cara berpikir yang terkondisi oleh keterbatasan, tentang pola tindakan yang lahir dari keputusasaan, dan tentang visi masa depan yang sering kali dibayangi oleh ketidakberdayaan. Inilah yang Bourdieu sebut sebagai habitus x "kemiskinan"-pola mental yang menjerat generasi demi generasi dalam siklus yang tak kunjung putus.

Di sisi lain, bonus demografi yang digadang-gadang sebagai peluang besar bagi bangsa ini justru dapat menjadi bumerang jika generasi muda yang tumbuh dalam habitus kemiskinan ini tidak diangkat dari cengkeraman mentalitas tersebut. Jika mentalitas miskin ini tidak diubah, maka populasi produktif yang seharusnya menjadi kekuatan pendorong pembangunan, hanya akan menambah beban sosial dan ekonomi bangsa.

Kondisi ini tidak hanya mencerminkan kesenjangan sosial, tetapi juga menjadi ancaman. Di sinilah letak kecemasan besar terhadap bonus demografi. Tanpa perubahan radikal, gelombang generasi muda ini akan tenggelam dalam lingkaran setan kemiskinan yang diwariskan, melanggengkan ketimpangan, dan memperburuk krisis sosial.

Pemerintah tidak bisa lagi hanya berperan sebagai pengamat pasif. Negara harus mengambil inisiatif tegas untuk membongkar habitus kemiskinan ini. Langkah-langkah parsial tidak akan cukup; diperlukan revolusi kebijakan yang mengutamakan pembebasan mental dan ekonomi rakyat. Prioritas anggaran harus diarahkan pada pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan-bukan sekadar tambal sulam, tetapi investasi jangka panjang untuk memutus rantai kebodohan dan ketergantungan.

jika habitus adalah hasil dari struktur sosial yang ada, maka mengubah struktur tersebut adalah satu-satunya jalan untuk mengubah habitus. Pemerintah harus menjadi lokomotif perubahan, bukan hanya dalam membangun infrastruktur fisik, tetapi juga dalam merombak infrastruktur mental dan sosial bangsa. Tanpa langkah ini, kecemasan terhadap bonus demografi akan menjadi kenyataan pahit-generasi yang semestinya menjadi aset justru berubah menjadi beban yang tak tertanggungkan. Dan pada akhirnya, kita akan menyaksikan bagaimana ketidakmampuan untuk bertindak hari ini menjadi kutukan yang diwariskan kepada generasi esok.

Pada akhirnya kita berada di ambang pilihan, membiarkan habitus kemiskinan terus mencengkeram generasi muda, atau memutus rantai ini dengan tindakan nyata. Bonus demografi bukanlah sekadar statistik; ini adalah ujian bagi kebijakan negara. Pemerintah harus berhenti menjadi penonton dan mulai bergerak dengan keberanian politik yang nyata.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin memberikan dasar hukum untuk ini, namun penerapannya harus lebih dari sekadar formalitas. Realokasikan anggaran negara dengan fokus pada pendidikan vokasional, pemberdayaan ekonomi lokal, dan akses yang setara terhadap layanan kesehatan. Jangan biarkan habitus kemiskinan menjadi warisan yang kita berikan kepada anak-anak kita.

jika kita tidak memprioritaskan investasi pada pengembangan mentalitas produktif dan pemberdayaan, kita sedang membiarkan negara ini tenggelam dalam lautan ketidakmampuan. Setiap rupiah yang diinvestasikan dalam pembebasan dari habitus kemiskinan adalah investasi dalam masa depan bangsa. Jangan tunggu sampai bonus demografi menjadi bencana yang tak terhindarkan.

Di tengah janji-janji politik yang menggema, satu pertanyaan mendesak tersisa: Apakah kita akan terus membiarkan nasib bangsa ini ditentukan oleh mentalitas yang terkekang oleh kemiskinan, atau apakah kita siap untuk meruntuhkan tembok yang kita sendiri bangun? Langkah pertama selalu yang paling berat, tetapi siapa yang akan berani memulai?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun