Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Pengacara - Penulis Essai

Membaca adalah jalan sunyi menuju kebebasan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengungkap Hipokrisi Dinasti dalam Pandangan Thomas Paine

23 Agustus 2024   08:23 Diperbarui: 23 Agustus 2024   08:48 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cl.pinterest.com/nohajalloul8/

Politik dinasti adalah cerminan dari wajah kekuasaan yang korup dan berakar pada feodalisme modern. Ia adalah penjelmaan dari mentalitas oligarki yang tidak pernah benar-benar mati, hanya bertransformasi dalam bentuk yang lebih licik dan menyesatkan. Di balik jargon demokrasi yang megah, politik dinasti menjadi parasit yang menyedot energi rakyat, menanamkan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai norma yang tak tertulis.
Fenomena ini bukan sekadar pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga merupakan pemerkosaan terhadap semangat reformasi yang berupaya mematahkan rantai otoritarianisme Orde Baru. 

Dalam pusaran politik modern, kekuasaan sering kali terlihat seperti permainan catur di mana hanya segelintir pemain yang memegang semua bidak. Namun, di balik layar permainan ini, ada sebuah mesin yang tidak hanya menggerakkan pion-pion di papan, tetapi juga menggulingkan aturan dasar keadilan dan demokrasi. Thomas Paine, seorang filsuf revolusioner yang menyoroti salah satu wujud paling mencolok dari ketidakadilan politik: keluarga dinasti.

Ironisnya, ketika kita mengira telah melangkah maju, politik dinasti menarik kita kembali ke era gelap di mana kekuasaan diwariskan seperti properti keluarga, bukan amanah yang harus dijalankan dengan integritas.
Kondisi ini memperlihatkan betapa congkaknya para elite yang memandang negeri ini sebagai milik pribadi, layaknya kerajaan kecil yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka tidak segan memanfaatkan jejaring kekuasaan untuk mengamankan posisi anak, menantu, atau kerabat dekat, tanpa memedulikan kemampuan atau kapasitas mereka dalam memimpin. Apa yang kita saksikan adalah persekutuan busuk antara kepentingan keluarga dan kekuasaan negara, di mana rakyat hanya menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang licik.

Dalam Common Sense dan karyanya yang lain, Thomas Paine menyerang fondasi dari pemerintahan berbasis warisan sebagai sesuatu yang tidak hanya tidak rasional, tetapi juga bertentangan dengan esensi kemanusiaan yang merdeka dan setara.

Bagi Paine, dinasti adalah kanker yang merusak tubuh politik, sebuah lelucon keji yang menjadikan darah dan keturunan sebagai tiket untuk memerintah, sementara akal sehat, integritas, dan kemampuan dikubur bersama dengan para pemimpin yang pernah benar-benar peduli pada rakyatnya.

Dalam pandangan Paine, keluarga dinasti adalah manifestasi paling vulgar dari kesombongan manusia. Mereka adalah anak-anak manja yang lahir dengan sendok emas di mulut, percaya bahwa mereka berhak memimpin hanya karena kebetulan "lahir". Ini adalah ketidakadilan yang diselimuti oleh kemewahan dan kebodohan. Dengan satire yang tajam, Paine akan menyindir mereka sebagai badut yang bermain di panggung politik, mengenakan mahkota yang mereka warisi, bukan karena mereka layak, tetapi karena mereka dilahirkan dalam kandang yang tepat.

Secara filosofis, Paine melihat keluarga dinasti sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip alami dan rasional. Dalam dunia yang seharusnya dihuni oleh manusia merdeka dan setara, dinasti politik menciptakan hierarki palsu yang menempatkan manusia di bawah kendali sesamanya tanpa alasan yang sah. Ia akan menyamakan politik dinasti dengan perbudakan pikiran, di mana rakyat dijadikan budak oleh para penguasa yang tak tahu apa-apa selain bagaimana mempertahankan kekuasaan yang tidak pernah mereka dapatkan secara layak.

Lebih kasar lagi, Paine mungkin akan menyebut mereka sebagai parasit, yang hidup dari penderitaan rakyat, menyedot darah bangsa untuk mempertahankan kemewahan mereka. Bagi Paine, mereka adalah serigala berbulu domba, yang berpura-pura melayani sementara sebenarnya mereka merencanakan cara untuk terus memperbudak rakyat. Kekuasaan mereka tidak hanya tidak sah, tetapi juga memalukan bagi sebuah bangsa yang mengaku beradab.

Thomas Paine tidak akan segan menghancurkan reputasi keluarga dinasti dengan kata-kata yang keras dan tak terbantahkan: mereka adalah bukti kegagalan moral masyarakat, simbol dari korupsi yang mengakar, dan wajah dari tirani yang terus menyamar sebagai demokrasi. Jika ada satu hal yang perlu dilakukan, menurut Paine, adalah mencabut akar keluarga dinasti ini, membuang mereka ke tempat sampah sejarah, dan membiarkan rakyat yang benar-benar bebas menentukan nasibnya sendiri.

Sementara kita terjebak dalam labirin paradox, di mana darah menjadi mata uang dan keturunan adalah tiket untuk mengendalikan nasib. Apakah kita benar-benar melihat masa depan kita teronggok dalam arsip-arsip kekuasaan yang diwariskan, ataukah kita terperangkap dalam ilusi kemajuan yang sebenarnya hanya sebuah pengulangan tanpa akhir dari kisah yang sama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun