Mohon tunggu...
abdul kadir
abdul kadir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sumpah Pemuda Bukan Sumpah Persatean

29 Oktober 2016   09:50 Diperbarui: 29 Oktober 2016   10:31 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oktober. 88 tahun lalu, para pemuda negeri ini, ber-sumpah. Dalam kalimat-kalimat pendek yang menghentak. Membangunkan kesadaran nalar persatuan.

Soal persatuan, M Hatta dan Syahrir, memberi catatan tebal. Persatuan, bukanlah persatean. Sate jadi satu deret karena ditusuk paksa. Sedang persatuan, tertata dalam satu barisan, kompak karena kesadaran yang dilandasi pengetahuan. Pemahaman atas visi. Bukan emosi sesaat.

Karenanya, kedua tokoh pergerakan pemuda tersebut, bersikukuh untuk menyatukan seluruh unsur bangsa Indonesia yang dibutuhkan bukan sekadar pidato-pidato yang menggelora yang membakar emosi. Namun juga harus disertai dengan diskusi-diskusi mendalam yang dingin dengan pertimbangan-pertimbangan rasional yang bertumpu pada semangat ilmu pengetahuan, dan pengehargaan atas keberagaman.

Konflik adalah natural, akan selalu ada, tak bisa dihilangkan dalam kehidupan berbangsa. Menjaga persatuan bukanlah menghindari atau menghilangkannya. Yang harus dilakukan adalah mengelolanya. Konflik yang terkelola, bisa jadi menyehatkan. Dan konflik yang sehat, selalu menghindari penggunaan kekerasan.  

Dengan konflik yang terkelola dan sehat, tiap anak bangsa kian faham dengan perbedaan, dan kian dewasa dalam menyikapinya.Setiap persoalan dalam konflik dapat dibicarakan terbuka, bersama dicari pemecahan dan kesepakatannya.

Bila ada yang harus dihindari, dalam menjaga persatuan adalah intrik, karena intrik duduk perkara persoalan tidak pernah gamblang, menyandarkan pada desas-desus. Bangsa yang kuat, dapat mengubah konflik menjadi sehat dan jauh-jauh menghindari intrik.

Perbedaan itu sunnatullah. Segala hal yang ditujukan untuk membuat penyeragaman mutlak, tanpa memberikan ruang terhadap perbedaan, jelas bertentangan dengan semangat alam yang menghargai keragaman.  Karenanya, dalam perbedaan, juga terkandung rahmat Allah. Dalam salah satu hadist, ada dikatakan, ikhtilafu ummati rahmah; perbedaan pada umatku adalah anugerah.

Salah satu ayat Al-Quran surat Al-Hujrat, juga menegaskan “Sungguh telah kami ciptakan kalian dengan beragam suku dan puak, agarlah saling mengenali”. Untuk saling mengenali, maka perlu saling memahami. Dan untuk memahami, selain butuh kebesaran hati, semangat persaudaraan juga mutlak memiliki pengetahuan.

Sumpah pemuda adalah sumpah penghormatan atas keragaman yang rela, penuh kesadaran lebur jadi satu jua. Satu bangsa.

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Sungguh, naskah Sumpah yang menggetarkan, cerminan jiwa pemuda yang penuh ghiroh, semangat juang. Dirapalkan, 88 tahun lalu, dan karenanya kita terus terjaga dalam satu bangsa. Namun seiring rentang waktu yang kian panjang, energi gelora Sumpah Pemuda bisa saja mengalami penurunan kadar rekatnya.

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) baru-baru ini merilis hasil jajak pendapatnya pada 464 responden di 12 kota besar di Indonesia. Hasilnya, hanya 17,9 persen yang hafal naskah Sumpah Pemuda.

Ada hubungannya atau tidak, rendahnya pemuda kekinian yang hapal Sumpah Pemuda, berbanding sejajar dengan kecenderungan naiknya sikap individualisme kaum muda. Lemhanas mencatat 65% responden, pemuda kini, kian jauh dari aktivitas sosial di tengah masyarakat. Cenderung apatis terhadap kehidupan sosial dan politik.

Zaman berubah. Kaum muda kini hidup di era digital, dengan mudah saling terhubung melalui jaringan internet. Lebih akrab dengan media sosial.

Situasi berubah, kondisi berubah, strategi dan taktik selayaknya juga diubah, tapi tujuan, harus tetap. Menjaga kesatuan dan mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Hari ini, 28 Oktober 2016, berjarak rentang 88 tahun lalu, saatnya kumandangkan kembali semangat pemuda Indonesia. Optimisme kaum pemuda, harus terus dijaga. Skill ditingkatkan. Sambil terus menjaga akal sehat, semangat persatuan, bukan persatean.

Pemuda, teruslah bangkit, jangan pernah lelah mencintai Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun