Disamping pengakuan kegagalan itu, teriakan coach Markus dan coach Gilang, "Sejarah. Sejarah. Lokal Pride" dianggap tidak pantas oleh kebanyakan penggiat sepakbola tanah air. Karena pada gelaran sebelumnya, yakni piala AFF U-16 tahun 2018 saat dilatih coach Fakhri Husaini, garuda muda sudah mencicipi gelar juara, yang mana saat itu tidak ada produk naturalisasi di dalamnya.Â
Timnas U-16 juga dinilai terlalu busung dada selepas mendapat banyak pujian karena berhasil juara AFF kemarin. Tentu hal ini sangat disayangkan oleh para pecinta sepakbola tanah air. Pujian dan sanjungan adalah sebuah apresiasi dengan harapan agar bisa menjadi lebih baik dan termotivasi di masa depan, bukan meremehkan lawan dan terhanyut dalam pujian.Â
Kasus ini juga menjadi pelajaran penting bagi kita semua, jangan gampang memuji penampilan tim jika tim tersebut belum benar-benar juara. Baiknya kita belajar dari sejarah, sejak dulu mental kita gampang goyang jika dipuji.Â
Buktinya, Belanda berhasil menggunakan metode "devide at impera" untuk menghancurkan kesatuan Nusantara. Dipuji lalu terbang dan diadu akhirnya tumbang.Â
Begitulah hukum alam bekerja. Ketika sudah terlalu tinggi dan tidak menyesuaikan diri hingga akhirnya lupa diri maka hasilnya akan jatuh sendiri. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Semoga di masa depan timnas U-16 kembali berjaya. Jangan patah semangat dan jangan sombong. Jayalah Indonesiaku !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H