Mohon tunggu...
Srikandi Unyu
Srikandi Unyu Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

tetep anteping budi lan\r\nkencenging karep iku wohing\r\nkaweruh

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tak Ber[nafsu] Tuk Berjudul...

19 April 2012   13:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah cinta yang membuatku
merasa sanggup memanggil
hujan. Suatu ketika aku akan
menulis;
Akulah kepedihan
yang tumbuh dari kerasnya
hati dan halusnya cinta
Akulah sungai kecil yang
merayap sunyi dengan ingatan
laut yang begitu biru.
Aku terbuang sebab
perpisahan tanpa pertemuan
Aku hancur pecah dan terluka
sebelum menjadi ranum
menjadi matang
Adakah kepahitan yang lebih
pahit dari ini?
Adakah tumbang yang lebih
mengerikan ketimbang
ingatan-ingatan akan dirimu?
Begitu seterusnya. Kau sudah
seluruhnya bagiku, betapa
ketergagapanku yang begini
tidak membuatku sanggup
menamaimu sebagai apa.
Dalam pikirku tentu saja ini
kegilaan yang paling gila.
Serentan inikah diriku, hingga
jatuh dengan cara yang sangat
sederhana atau justru
dirimulah yang terlalu indah.
Hanya aku kadang bertanya-
tanya sampai kapan kita akan
terus seperti ini. Sungguhkah
hanya ini yang boleh kita
alami? Selalu hanya kisah dan
seterusnya hanya akan menjadi
sekadar kisah. Yah, kamu pasti
tersenyum. Betapa beginilah
bila yang debu memuja yang
suci. Menyadari betapa aku
sungguh manusia biasa yang
begitu ingin menatapmu. Ingin
menyentuhmu, sesekali ingin
memangku manjamu.
Aku akan merayumu jika
bersama. Kadang aku memang
kesepian, saat menyadari
tubuhku. Lalu hati menjadi
begitu pilu, tapi sungguh itu
tidak pernah membuatku
kehilangan pikiran yang bersih.
Meski aku tahu tak ada satu
manusia yang menjadi saksiku.
Namun sungguh, hanya dirimu
seorang, yang mampu menutup
lubang di dadaku. Mengisi
kosong di jiwaku.
Jauh sebelum kau menguji
cintaku, aku telah mengujinya
berulangkali. Beginilah rasa
manisnya anggur. Di batas
kepedihan yang paling hilang,
derak patah dahan yang tak
lagi mampu ditanda suara, aku
pasrah padamu.
Betapa indahnya terbuang
tanpa aduh dalam pecahmu
yang paling jauh. Semuanya.
Betapa dalam kefanaan yang
begini aku ingin tetap kau
cintai.
Entah siapa aku, jika aku
sungguh-sungguh kehilangan
dirimu, meski aku juga tidak
akan tahu siapa diriku jika
bersama dirimu…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun