Kebebasan dan tanggung jawab adalah salah satu unsur yang penting dalam etika. Pembicaraan tentang hal tersebut menuai banyak pro dan kontra. Salah satu pandangan yang menyerang kebebasan ialah kaum Determinisme yang menyatakan bahwa manusia sebenarnya tidaklah bebas, Ia hanya merasa bebas. Akan tetapi, ada banyak orang yang menepis pandangan demikian.
Argumennya, jika manusia tidak memiliki kebebasan, etika menjadi sesuatu yang tidak ada artinya. Perbuatan baik atau buruk menjadi tidak bernilai sebab manusia tidak bebas dan tidak memiliki tuntutan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Manusia bernapas selalu berkaitan dengan perbuatan dan setiap perbuatan selalu berhubungan dengan peraturan. Pembicaraan tentang perbuatan yang berkaitan dengan peraturan menjadi masuk akal karena manusia memiliki kebebasan untuk melakukan peraturan tersebut atau tidak.(1)
Kebebasan yang dimiliki manusia, membuat manusia berada diantara pilihan. Banyak pilihan yang tidak bersifat moral, misalnya saja setelah selesai mandi pada malam hari ketika mau tidur, banyak orang bingung untuk memilih mau menggunakan baju yang mana. Mungkin ada banyak pilihan baju, akan tetapi, baju apapun yang dipilih oleh seseorang dalam kondisi tersebut tidaklah menentukan nilai moral.
Lalu, bagaimanakah dengan kondisi yang menentukan nilai moral? Misalnya saja, ketika seorang petugas Damkar sedang memadamkan toko emas yang terbakar. Ketika itu hanya petugas saja yang dapat masuk ke lokasi kejadian dan disana ada banyak emas dan tumpukan uang. Petugas Damkar berada dalam pilihan, ia dapat mengambil uang dan emas tersebut untuk dibawa pulang atau mengamankannya, kemudian memberikan kepada pemilik toko emas tersebut. Petugas Damkar berada dalam pilihan. Ia bebas untuk menentukan, apakah akan melakukan perbuatan baik atau buruk? Ada suara yang timbul dalam hatinya.
Jika diambil dan dibawa pulang akan mendapat emas dan uang, tetapi bagaimana jika perbuatannya ada yang mengetahui? Apakah diperbolehkan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya? Di satu sisi, ada kebebasan untuk melakukannya. Di sisi yang lain, harus ada tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Suatu perbuatan hanya dapat dituntut pertanggung jawaban karena memiliki kebebasan. Persis seperti itulah kebebasan dan tanggung jawab. Seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ada kebebasan maka ada juga tanggungjawab.
Penjelasan contoh diatas tentang pilihan seorang Petugas Damkar yang memiliki kebebasan untuk menentukan sikap, secara tidak langsung juga menggambarkan definisi kebebasan. Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika diperhadapkan dengan kata bebas? Kita mungkin akan mendefinisikan kebebasan sebagai sesuatu hak untuk dapat melakukan apapun yang kita kehendaki tanpa ada halangan dari manapun atau tanpa ada paksaan dari orang lain.
Mungkin juga kita dapat mendefinisikan kebebasan sebagai sesuatu hak untuk melakukan apapun tanpa harus terikat dengan peraturan atau tanggungjawab. Bila definisi kebebasan seperti ini, penulis rasa ini bukanlah suatu kebebasan akan tetapi suatu tindakan yang semena-mena karena dapat beresiko tidak memperdulikan peraturan ataupun eksistensi yang lain. Lalu apakah definisi kebebasan itu?
Secara etimologi kebebasan berasal dari kata bebas, dalam bahasa Inggris terdiri dari dua kata, yaitu free dan dom. Arti dari free adalah keaadan yang bebas tanpa ada yang menghalangi. Sementara dom berarti status keadilan. Selain itu, dalam bahasa Inggris, kebebasan juga menggunakan kata liberty yang berasal dari bahasa Yunani liberi. Kata liberi dalam bahasa Yunani mengandung arti orang yang bebas dan anak dalam keluarga.(2) Apabila kita melihat etimologinya maka dapat kita simpulkan bahwa kebebasan kita selalu terbentur dengan kebebasan orang lain. Benturan kebebasan tersebut akhirnya menimbulkan tanggungjawab. Sementara itu, defini kebebasan(3), dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial.
Apakah itu kebebasan sosial? Kebebasan sosial adalah kebebasan yang diperoleh dari orang lain. Orang lain memberikan kita hak untuk dapat menentukan kehendak kita sendiri, dimana kita tidak berada dalam paksaan, tekanan ataupun kewajiban dan larangan. Orang lain tidak membatasi tindakan kita secara sengaja. Misalnya seseorang yang tidak boleh keluar rumah kecuali untuk keperluan yang mendesak pada saat pemerintah memberlakukan masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat pandemi Covid-19. Kebebasan tersebut direnggut dan tindakannya menjadi terbatas. Dari contoh tersebut pula, kita lihat bahwa tindakan seseorang dapat dibatasi oleh orang lain pertama-tama secara jasmani atau fisik.
Selain itu, yang kedua, orang lain dapat pula membatasi kita secara rohani. Melalui apakah rohani kita dapat dibatasi? Bukankah rohani adalah aspek yang tidak dapat dibatasi? Rohani seseorang memang tidak dapat dibatasi secara langsung, akan tetapi, dapat dikurangi melalui tekanan. Ketika fisik seseorang mendapatkan tekanan, maka rohani orang tersebut juga akan terkena dampaknya.
Kemudian, yang ketiga, seseorang dibatasi oleh perintah dan larangan yang wajib dipatuhi. Akan tetapi, walaupun hal tersebut wajib dipatuhi, itu kembali lagi kepada diri kita masing-masing sebab ada konsekuensi yang harus diterima bila tidak menjalankannya. Artinya, pembatasan ini berkaitan erat dengan eksistensi kita.
Kemudian apakah itu kebebasan eksistensial? Kebebasan eksistensial adalah kebebasan yang berkaitan dengan eksistensi kita. Dimana dalam hal ini, kita bebas menentukan tindakan kita, menentukan diri kita sendiri. Manusia dapat menentukan sikapnya, termasuk menentukan akan mengikuti nalurinya atau tidak. Secara fisik – dalam batas kodratinya – manusia bebas untuk melakukan apapun yang dikehendakinya.
Kebebasan fisik ini bersumber dari kebebasan rohani. Apa yang dilakukan secara fisik ditentukan oleh apa yang kita pikirkan, bukan ditentukan oleh insting seperti binatang. Apa itu kebebasan rohani? Kebebasan rohani itu bersumber dari akal budi dan olehnya kita menentukan apa yang harus kita pikirkan, kehendaki, dan bertindak. Kebebasan eksistensial ini tentulah tidak dapat dipisahkan dari kebebasan sosial. Kita dapat membedakannya, akan tetapi, kita tidak dapat memisahkannya.
Selanjutnya, apabila kita bebas, mengapakah kita harus bertanggung jawab? Hal tersebut dikarenakan manusia adalah bagian dari masyarakat, yang juga hidup di tengah masyarakat, serta ia juga menjalin relasi dengan sesama manusia. Kebebasan eksistensial seseorang harus bertemu dengan kebebasan eksistensial yang lain, dimana orang tersebut adalah bagian dari masyarakat (sosial).
Manusia sebagai pribadi diberikan ruang kebebasan eksistensial oleh masyarakat karena adanya kebebasan sosial. Kebebasan yang diberikan tersebut harus dipertanggung jawabkan. Manusia tidak dapat lari dari tanggung jawab karena telah diberikan kebebasan. Hal tersebut tetap berlaku meskipun seseorang mengaku tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya itu ternyata melanggar hukum.
Ada banyak orang memahami bahwa ketika kita memiliki kebebasan, maka kita juga bebas atas tanggung jawab. Hal ini tentunya adalah kekeliruan belaka. Pengertian dari kata tanggung jawab itu sendiri sebenarnya sudah terkandung dalam pengertian kata kebebasan, begitu juga sebaliknya.(4) Saat memiliki kebebasan, saat itu pula harus bertanggung jawab.
Selanjutnya, apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab? Tanggungjawab berarti, seseorang mampu memberikan suatu penjelasan atau jawaban atas apa yang telah dilakukannya, tanpa dapat menghindar. Seseoang harus memberikan penjelasan atau jawaban ketika ia menjadi penyebab terjadinya sesuatu, baik secara langsung maupun tidak langsung. K. Bertens dalam bukunya Etika,(5) menuliskan bahwa tanggungjawab dibedakan menjadi dua, yaitu tanggungjawab retrospektif dan tanggungjawab prospektif.
Apakah itu tanggungjawab retrospektif? Tanggungjawab retrospektif adalah tanggungjawab yang harus diterima saat perbuatan tersebut terjadi. Misalnya orang dalam pengaruh minuman keras sedang mengemudikan kendaraan, kemudian menabrak kendaraan lain dan mengakibatkan kecelakaan beruntun yang menyebabkan kematian. Saat itu juga orang tersebut harus bertanggung jawab.
Lalu, bagaimana dengan tanggungjawab prospektif? Tanggungjawab prospektif adalah tanggungjawab atas perbuatan yang akan dilakukan. Misalnya seseorang akan melakukan pembunuhan berencana, dalam hatinya sudah ada tanggungjawab, namun baru akan dipertanggungjawabkan secara hukum negara ketika ia ketahuan dikemudian hari.
Kemudian, dalam tanggungjawab, siapakah yang harus menerima penjelasan atau jawaban tersebut? Penjelasan atau jawaban tersebut, harus diberikan kepada dirinya sendiri, kepada masyarakat dan Tuhan.(6) Orang yang tidak mau mempertangungjawabkan perbuatannya, dapat dikatakan tidak mengerti arti kebebasan yang sebenarnya. Kebebasan bukanlah suatu hak untuk berbuat semena-mena mengikuti hawa nafsu atau nalurinya.
Jika seseorang berbuat semena-mena mengikuti hawa nafsu dan nalurinya, J. Sudarminta dalam bukunya Etika Umum, mengatakan bahwa orang tersebut mencita-citakan hidup yang tidak lebih dari taraf hewan.(7) Orang yang bersedia bertanggungjawab, sesungguhnya semakin kuat dan bebas.(8) Sesuai etimologinya, arti dari kebebasan yang sejati adalah kebebasan yang didalamnya terkandung makna untuk bertanggungjawab.
Catatan Kaki :
1. Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1987), 21.
2. Diakses dari https://www.etymonline.com/word/freedom, pada tanggal 1 Desember 2021, pukul 08.38 WIB.
3. Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1987), 22 – 32.
4. K. Bertens, Etika (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2013), 73.
5. Ibid, 100-101.
6. Pemberian penjelasan atau tanggung jawab kepada Tuhan, hanya dapat terjadi apabila orang tersebut beragama
atau mempercayai adanya Tuhan.
7. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2013), 59. “Orang yang mencita-citakan untuk memperoleh kebebasan semacam itu (dapat bertindak semena-mena atau lepas dari kewajiban dan tuntutan) dan membiarkan naluri dan nafsunya tidak terkekang, sesungguhnya mencita-citakan suatu penghayatan hidup yang tidak lebih dari taraf hewan.”
8. Ibid, 60.
Daftar Pustaka :
Buku:
Magnis-Suseno, Frans, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1987)
Bertens, Kees, Etika (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2013)
Sudarminta, J, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta:
PT. Kanisius, 2013)
Sumber lain :
https://www.etymonline.com/word/freedom
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H