Kentut Orang Arab dan Bahasa Ammiyahnya
 (Dua hal yang tak saya pahami)
*Sebuah Pengalaman Unik Bersama Orang Asing
Kemarin di grup WA, ada kiriman foto-foto kenangan satu windu silam. Ingatan saya langsung terlempar ke masa itu.
Pagi itu saya dapat tugas dari kantor untuk mendampingi tamu asal Saudi Arabia meresmikan masjidnya di Jeneponto.
Saya menjemputnya di bandara. Mereka bertiga. Saat berbicara dengan mereka, saya langsung menebak sepertinya akan ada sedikit masalah komunikasi.
Mereka tak terbiasa bahasa Arab Fushah (resmi). Sementara saya tak bisa bahasa 'Ammiyah (dialek sehari-hari orang Arab). Meski saya belajar bahasa Arab belasan tahun baik di pesantren hingga kuliah di kampus Arab, tapi tak pernah belajar bahasa 'Ammiyah. Dosen pun melarang kami belajar 'Ammiyah.
Ketika menyetir mobil, agar suasana tak garing, saya mencoba mengobrol dengan donatur yang duduk di samping saya. Saya menanyai asal kotanya.
"Hadza kitabun." Katanya dengan nada mengeja. Ia tak menjawab, malah meledek saya yang bicara terlalu formal.
Seperti membaca buku "ini Budi. Ini bapak Budi," dalam bahasa Indonesia. Saya pun tersenyum kecut. Akhirnya terpikir mengerjain balik. Saya menginjak gas mobil kencang. Ia kaget. Tangannya tiba-tiba menggenggam pegangan di atas jendela dengan erat.
Bau semerbak tercium. Aroma kentut ini bahkan asing di hidung saya. Saya sempat berpikir, bahkan bau kentutnya pun saya tak paham aromanya. Ini jenis gas metana sisa coto untakah?
Saya membuka jendela untuk mengeluarkan baunya. Curangnya, bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali ia menyemprotkan angin tak sedapnya, dalam hening pula. Anda bisa bayangkan itu.
Mungkin respon alami perut saja. Atau mungkin reaksi ketakutan. Orang Arab memang lebih gila kalau bawa mobil. Tapi dalam kondisi jalan sempit dan ramai kendaraan seperti ini, mereka tentu tak terbiasa.
Dalam acara peresmian masjidnya, donatur diberikan kesempatan menyampaikan sambutan. Jujur, hampir semua katanya tak saya pahami. Pikir saya, pasti seperti ucapan donatur-donatur lainnya saat kasih sambutan seperti ini. Terima kasih, harapan, dan semacamnya. Saya pun terjemahkan versi pemahaman saya pada hadirin yang manggut-manggut.
Selepas peresmian, pengurus mengundang kami ke rumahnya untuk makan jamuan syukuran peresmian. Tamu tak dapat menghadiri, sebab pesawat mereka ke Bali take off jam empat sore.
Saya beberapa kali meminta maaf pada pengurus itu dan menjelaskan kondisi tamu, sebab ia seperti memelas pada kami agar datang ke rumahnya.
Saya memacu mobil pulang jauh lebih kencang dibanding saat datang.
"Anta majnun, "Donatur berteriak. Entah ia memuji atau marah. Tapi saya tak peduli sebab jatah makan enak di rumah pengurus hilang. Eh bukan dong. Mau kejar jadwal penerbangannya ke Bali. Sementara kami masih berada di Bangkala jam satu siang.
Alhamdulillah, kami tak telat. Mereka bisa terbang. Kekesalan saya karena lapar agak terobati setelah donatur memasukkan sejumlah uang merah di kantong baju saya.
Ipar saya yang juga ikut acara peresmian dengan mobil lain sudah datang. Ia membawa satu kardus berisi seafood seperti udang besar, ikan, cumi, dan sebagainya. Kiriman dari pengurus yang katanya buat saya. Saya semakin bersyukur. Kami serumah bisa makan puas. Alhamdulillah.
Sejak saat itu saya mulai belajar bahasa Ammiyah. Tapi soal kentut, tak perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H