Siswi cantik ini baru saja pulang dari Jakarta saat kami temui untuk ngobrol.Â
"Iya, mau buat visa ke Prancis bulan depan, " Jawabnya tersenyum malu-malu ketika ditanya mengapa ia ke Jakarta.Â
Mari kita berkenalan dengan siswi Andi Kayla Khadijah Ibrahim. Siswi kelas VIII Sekolah Puteri Darul Istiqamah (SPIDI) yang berasal dari kota kelahiran presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie, Pare-Pare.Â
Anda mungkin penasaran sama alasan mengapa gadis remaja dengan segala kemewahan hidupnya di rumah yang bak istana ini, memilih "membatasi" dirinya dalam kehidupan pesantren yang dianggap sebagai penjara suci oleh banyak orang. Maka mari  terus baca!Â
Kayla adalah gadis yang tumbuh dalam hidup yang serba ada. Ia dimanja. Setiap tahun, liburannya ke luar negeri. Inggris, Jepang, Turki, Arab Saudi, Dubai, Singapura, dan sederet negara besar lainnya telah ia pijaki.Â
"Karena saya suka warna pink. Kan SPIDI identik dengan pink, " Seloroh gadis berusia berusia 13 tahun ini saat ditanya mengapa memilih SPIDI.Â
"Awalnya orang tua mau mondokkan saya di sebuah pesantren di Pangkep, hanya saja di sana tergabung santri putra dan putri dalam satu areal kampus. Pertemuan santri putra dan putri terlalu intens. Jadi orang tua batal masukkan saya. Ketemulah SPIDI. Fasilitas dan kualitasnya setara, tapi di sini hanya khusus putri," tambahnya.Â
Anak pasangan ayah dokter bedah dan ibu dokter kandungan ini tak mau diganggu oleh hal-hal di luar pendidikan seperti pacaran. Ia tak mau belajar di sekolah umum, salah satunya karena alasan itu, jadi ia memilih pondok eksklusif untuk putri. Bukannya menganggap imannya lemah, tapi menghindarinya semaksimal mungkin dengan masuk SPIDI tentu tak salah.Â
Sejak lahir hingga tamat SD, hidupnya serba ada. Ditanya apakah pesantren membatasi kehidupannya. Ia punya jawaban yang sangat bijak untuk usianya.Â
"Makanya orangtua memilihkan saya pesantren yang fasilitasnya yang lengkap. Jadi saya tak begitu merasa kesulitan. Asrama, masjid, dan ruang kelas ber-AC. Ada kolam renang, sarana berkuda, dan danaunya. Makanannya juga enak tiap hari, belum lagi lingkungan kampus yang asri dan natural, nyaris tak begitu beda dengan kehidupan di rumah. Jadi semuanya bikin nyaman" ujar gadis penyuka mie samyang ini.Â
Gadis berkaca mata ini malah merasa secara sosial, kehidupan pesantren jauh lebih kompleks. Ia dapat bertemu dan bersahabat dengan teman-teman yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, dengan latar belakang budaya berbeda. Ternyata hal itu menyenangkan.Â
Perihal dirinya yang sering liburan ke luar negeri. Apakah keberadaannya di SPIDI membatasi itu. Ia mengaku tak ada masalah dengan itu. Sekolah malah ada program overseas, kunjungan ke beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Turki, Jepang, Korea Selatan, dan program studi dan ibadah di Mekkah dan Madinah.Â
"Insya Allah, bulan depan saya dan orang tua mau ke Paris, sekolah izinkan saya. Begitu pula teman yang juga mau ke luar negeri atau umrah, semua dikasih izin. Tapi dengan syarat, kami tetap harus mengikuti pembelajaran via online supaya tak ketinggalan pelajaran. Jadi so far, alhamdulillah, tak ada masalah dengan hal itu, " Kata gadis berkaca mata ini.Â
Dirinya juga menampik istilah penjara suci bagi pesantren, sebab penjara selalu berkonotasi negatif meski digandengkan dengan kata suci. Ia menganggap batasan-batasan dalam pesantren merupakan hal yang normal dan positif. Sebab lazimnya memang kehidupan harus dibatasi agar tak menimbulkan dampak negatif ke depannya. Jadi dirinya tak masalah dengan batasan-batasan di pesantren.Â
"Selengkap-lengkapnya fasilitas dan seberapa pun besarnya toleransi pesantren, tetap saja tak dapat dipungkiri ada kalanya tak sama enaknya dengan kehidupan di rumah yang serba ada. Kita harus kuat dan sabar menerima keterbatasan itu. Juga aturan pesantren yang mengikat," Ujar putri pasangan dokter Andi Ibrahim dan dokter Andi Risma ini.Â
"Terkadang ada yang kurang, tak ada ini dan itu. Kami tak boleh keluar kampus, tak boleh begadang, tak boleh main HP, tak boleh pacaran, tak boleh banyak bermain. Belum lagi kami harus bangun jam dua pagi untuk shalat tahajud, shalat berjamaah, tilawah, belajar hingga sore hari, dan banyak keharusan lainnya yang mesti kami jalani. Yang dibatasi sebenarnya hanyalah hawa nafsu dan keinginan-keinginan yang pada dasarnya tak dibutuhkan. Sementara prestasi dan kreativitas dibuka seluas-luasnya, " Tambahnya.Â
Anak penyuka mapel IPS ini meyakini bahwa dengan melalui penderitaan selama belajar enam tahun akan membawa kebahagiaan selama 60 tahun. Dengan membatasi diri dari menyenangkan hawa nafsu demi meraih ilmu di masa muda, akan meluaskan masa tua yang cerah.Â
"Saya selalu ingat nasihat Direktur Eksekutif SPIDI, beliau mengatakan bahwa ketika kami belajar, beribadah, dan berdoa di pesantren, pekerjaan orang tua kami menjadi lancar. Hidup diberkahi. Dan rezeki bisa lancar. Bisa saja bapak lancar dalam proses membedah pasiennya dan mama tak sulit membantu proses persalinan pasiennya karena doa-doa saya dalam sujud di sepertiga malam, "katanya lirih.Â
Nah, ini dia alasan terbesarnya mondok. Adalah impiannya yang mulia untuk orang tuanya.Â
"Saat SD, saya pernah mendengar ceramah bahwa penghafal Al-Qur'an bisa memberi mahkota buat orang tua di akhirat. Sejak saat itu saya pun bercita-cita memakaikan kedua orang tua saya mahkota syurga dengan menghafal dan mengamalkan Al-Qur'an. Dan cara yang efektif untuk menghafal ada mondok di pesantren," ujarnya terbata-bata. Ia terisak.Â
Itulah yang terus memotivasinya untuk menghafal Al-Qur'an. Sekarang hafalannya sudah sampai 18 juz setelah 1.5 tahun di SPIDI.Â
Orang tuanya pun bangga pada dirinya sejak mondok. Ia dianggap sudah bisa mandiri. Sopan dan berbakti. Dan bisa diatur. Sesuatu yang sangat ia syukuri dapat membuat orang tuanya bangga padanya.Â
********
Kita bisa belajar dari Kayla yang rela melepas gelimang hidup serba ada di rumah demi menuntut ilmu dan menghafal Al-Quran di pesantren.Â
Untuk anak seperti Kayla, yang rela mendobrak zona nyamannya demi masa depan dan membanggakan orang tua, maka sangat layak bagi kita untuk berdiri bertepuk tangan sebagai bentuk respek dan penghormatan kepadanya.Â
Seperti yang Kayla katakan, orang tuanya tetap memilih pesantren yang memiliki fasilitas yang memadai untuk sang buah hati. Demi pendidikan dan kenyamanan hidup anak. Ilmu diwariskan dalam ruang dan fasilitas yang buat nyaman.Â
Jadi, berdasarkan pengakuan Kayla, ternyata mondok di SPIDI menyenangkan. Tak membatasi. Mondok terasa nyaman dengan adanya fasilitas yang memadai dan kualitas pendidikan saling mendukung. Pelajaran agama, ilmu umum, dan life skillnya diajarkan. Bahasa Arab dapat, bahasa Inggris juga dapat. Ia dapat menghafal Al-Qur'an, dapat pula menghafal rumus pitagoras. Smart dan shalihah. Dengan begitu perjalanan menuju masa depan cerah dunia akhirat - insya Allah - berada di jalur yang tepat.Â
Penasaran merasakan pendidikan nyaman di pesantren seperti Kayla? Ayo mondok di SPIDI!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H