Taman ini diitari oleh pegunungan batu gamping yang menjadi bahan baku marmer yang katanya diekspor ke Italia. Areal persawahan di sisi atas dan sungai berbatu di sisi bawah. Entah yang mana puncak gunung Bulusaraung, tapi katanya kami berada di kaki gunung tersebut.
Untuk masuk ke taman, kami harus melintasi jembatan gantung yang telah dicat warna-warni yang sebenarnya kontras dengan pemandangan alam. Namun, dapat dimaklumi karena itu untuk kebutuhan daya tarik wisata.
Kami tiba di sore hari, jadi terik panas tak begitu menyengat. Lagi pula ada gazebo di mana-mana untuk bernaung jika sedang panas. Fasilitas lain seperti villa, mushalla, kafe, kolam renang, dan spot foto juga tersedia.
Ada yang unik di sini. Beberapa petunjuk jalan menggunakan aksara Hangul (Korea). Ada pula latar berfoto bergambar bangunan khas Korea. Terlihat beberapa pengunjung menggunakan pakaian tradisional Korea. Tapi mereka berhijab, matanya tak sipit, dan kulitnya kuning langsat.
Saya menyapa mereka dengan bahasa Korea "Annyeong Haseyo". Mereka hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Rupanya mereka orang-orang lokal yang menyewa hanbok (pakaian tradisional Korea) yang disediakan pihak Zulu Park semata untuk berfoto.
Begitu melihat kolam renang, anak-anak langsung ingin berenang. Sementara saya mengajak istriku untuk makan di kafe sebab dari tadi perutku minta diisi.
Makanan yang saya pesan harganya cukup bersahabat, tapi rasanya tak memuaskan. Untung suasana kafe membuat saya merasa tak rugi mengeluarkan duit.
Menjelang jam lima sore, anak-anak sudah berhenti mandi-mandi. Kami naik ke balkon yang ada lantai tiga bangunan utama. Balkonnya lumayan luas. Lantainya beralas rumput sintetik. Juga  ada "bean bag" untuk duduk selonjoran atau bahkan berbaring.
Untuk pengunjung yang gemar mengambil gambar, ini spot paling didambakan. Tapi bagi saya pribadi, saya lebih menikmatinya sebagai tempat bersantai mengagumi keindahan alam pegunungan, persawahan, dan infrastruktur taman yang aestetik. Dan menikmati terpaan lembut angin sepoi-sepoi sambil menyeruput secangkir teh panas.
Saya teringat dengan orang-orang Arab yang biasa saya antar ke tempat wisata seperti ini. Betapa girangnya mereka jika melihat pemandangan ini. Terbayang mereka akan mengeluarkan izbah (peralatan masak), menjerang air, membuat cai (teh) atau qahwah (kopi Arab), menikmati cemilan, lalu mendendangkan nasyid Arab dan bercengkrama ria.