Tapi jujur saya sebenarnya meleset dari target saya. Saya menargetkan dapat gelar doktor sebelum usia 30 tahun. Namun karena saat itu suami juga kuliah. Setahun kemudian, saya baru diizinkan oleh suami menyusulnya kuliah. Usia 29 tahun baru mengambil program doktoral.
Bagaimana cara mengatur waktu antara pekerjaan, keluarga, dan kuliah?
Saya itu tidur setiap hari tak pernah lebih dari lima jam. Kalau tugas rumah sudah selesai dan anak saya, Fian sudah tidur jam delapan malam, saya mulai menulis hingga larut malam. Memang butuh perjuangan, karena kalau tidak begitu, tak bakal selesai. Apalagi saya adalah mahasiswi penerima beasiswa, jadi dikejar waktu juga. Alhamdulillah, bisa selesai tepat waktu.
Ibu boleh menceritakan awal mula masuk Spidi ?
Saya membeli rumah di perumahan Fiiziya (red: perumahan dekat Spidi). Saat itu saya mengajar di sebuah sekolah yang terletak di kota Makassar. Jadi agak jauh jaraknya. Saya naik motor setiap hari. Sementara suami kerja di Bone. Kami hidup LDR-an.
Setiap menelepon suami, saya lebih banyak mengeluhnya sama suami soal kerjaan. Suami pun menyarankan untuk resign dari sekolah itu padahal waktu itu status saya sudah menjadi pegawai tetap di sana dan baru saja sudah dibawa ke United Kingdom oleh sekolah.
Di saat bersamaan, ibu Lisa (red: direktur eksekutif spidi) sering mengajak warga Fiiziya ke Spidi. Pernah suatu waktu kami masuk Spidi saat pertunjukan membaca hadis arba'in. Melihat itu saya terkesima sekaligus terenyuh. Setiap saya masuk di sini, nuansanya adem. Saya merasa sekolah ini ada magnetnya bagi saya.
Apa kesan pertama saat bergabung di Spidi?
Â
Teman-teman yang akhlaknya sangat mulia. Di tempat dulu saya merasakan teman sebagai kompetitor hingga harus terus bersaing. Tak jarang malah dimusuhi. Di sini saya merasakan perbedaan dengan tempat dulu 180 derajat. Ibu Muaminah yang luar biasa. Baru datang, saya merasakan rangkulan kekeluargaan dan persaudaraan yang hangat dari teman-teman. Masuk di sini saya yakini merupakan bagian dari hidayah Allah.
Apa suka duka selama menjadi Direktur Pendidikan Spidi?
Sukanya, saya memimpin dengan sistem kekeluargaan. Kan dulu di tempat lain kami melakukan pendekatan kekuasaan. Di sini tidak. Saya contohkan, misalnya saat menegur tim keasramaan, saya menegurnya seperti teman sendiri.
Dukanya juga ada. Misalnya suami saya suka negur, kamu itu sepertinya lebih sibuk daripada presiden (tertawa). Saya jawab ya iyalah, presiden banyak asistennya, sementara saya tidak (tertawa). Artinya lebih banyak waktu saya untuk pekerjaan dibanding keluarga. Tapi ini adalah tantangan buat saya untuk menyeimbangkan waktu buat pekerjaan dengan keluarga.
Dengan usia relatif muda sudah memimpin banyak civitas yang usianya jauh lebih tua. Ada perasaan segan?
Di awal sempat ada. Apalagi saat itu masih banyak guru senior yang masih mengajar di sini. Misalnya saya merasa ada guru senior yang baper. Saya kemudian menginstrospeksi diri untuk mengubah pendekatan saya. Ada beberapa guru yang saya anggap seperti orang tua saya. Misalnya ingin menyuruhnya. Saya menggunakan bahasa minta tolong, minta dibantu. Jadi bukan bahasa instruksi.
Keunggulan Spidi atas sekolah lain apa?
Alhamdulilah, saya sudah keliling Sulawesi Selatan, Jawa, hingga Padang untuk studi banding di banyak sekolah. Spidi punya ruh di pagi hari. Anak-anak bangun jam dua dini hari. Meski berat. Bahkan terkadang bagian keasramaan mengeluh. Saya memaklumi keluhan mereka atas tugas berat ini.Â