Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menangislah Sekarang

11 Agustus 2022   19:28 Diperbarui: 15 Agustus 2022   05:58 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampus Spidi (sekolah Putri Darul Istiqamah) sore hari sekitar jam lima ketika saya masuk dengan bersepeda tadi. Memang kebiasaan saya setiap sore adalah bersepeda keliling areal pesantren, lalu masuk ke kampus Spidi, ke Sarhan Stable untuk melihat orang berkuda. Saya senang melihat orang berkuda.

Namun karena sore tadi agak ramai oleh guru laki-laki dan anak-anak Sekolah Alam Darul Istiqamah ( Sadiq Darul Istiqamah ) yang bermain bola di lapangan, saya pun ikut bermain bersama mereka.

Di sisi luar lapangan, sebagian civitas sudah bersiap untuk pulang ke rumah. Beberapa orang tua anak Sadiq juga terlihat datang menjemput anak mereka.

Di sisi timur lapangan, ada sejumlah santri Spidi,  yang sedang latihan baris berbaris untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan negara kita. Mereka anggota paskibra yang rela lebih cepat seminggu balik ke kampus saat teman-teman yang lainnya masih berada di rumah menghabiskan masa back home day.

Selepas main bola, saya mengayuh sepeda ke arah selatan kampus, ke Sarhan Stable. Dalam perjalanan, saya melihat beberapa santri baru sedang menangis di gazebo. Saya tahu tangisan mereka sebabnya adalah rindu pada keluarga yang sudah hampir seminggu tak membersamai mereka sejak masuk kampus hari Ahad kemarin.

Tapi sebagai bentuk perhatian, saya turun dari sepeda dan menanyai mereka. Siapa pun dalam kondisi seperti itu pasti suka untuk diperhatikan.

"Rindu, Pak." Jawab seorang santri saat saya tanya mengapa mereka menangis. Ia sesenggukan. Menahan tangis saat berbicara. Teman-temannya mengiyakan dengan anggukan kepala. Mereka nampaknya belum mengenaliku.

Yang pernah saya dengar (koreksi jika salah), psikologinya, orang yang sedang menghadapi rindu adalah dibiarkan menangis jika saja tangisannya tak berlebihan. Obatnya memang seperti itu. Menangis itu bukan berarti tak sabar. Jadi tak perlu dinasihati dengan kata "sabar...sabar..."

"Iya, Nak. Menangis saja. Lepaskan semua. Tapi yakin seminggu dua minggu sudah bisa normal kembali. Kakak kelas kalian juga begitu dulu. Bahkan saya juga pernah nyantri seperti kalian. Juga merasakan hal yang sama." Ujarku kepada mereka meyakinkan mereka.

Meski (katanya) kadar kekuatan pria dengan wanita berbeda dalam menahan rindu, namun tetap tangisan juga berhak dilakukan oleh laki-laki saat rindu.

Saya teringat saat baru masuk pesantren kelas satu Tsanawiyah saat itu, saya menangis di tengah malam sendirian. Saya malu menangis dilihat orang, jadi tengah malam waktu yang saya pilih untuk menangis. Entah kenapa, rasanya plong sehabis menangis. Rindu tak berkurang, tapi sedih berkurang. Lupa berapa lama dalam kondisi seperti itu, namun akhirnya saat libur pulang kampung saya malah betah tinggal di pesantren.  

Di Spidi, banyak cerita santri yang menangis tak main-main. Ada yang bahkan merajuk tak mau makan. Ada pula yang mau kabur. Macam-macam ekspresi mereka dalam membahasakan rindu. Lalu lihatlah apa yang mereka rasakan di awal akhirnya berubah menjadi cinta dengan segala hal yang terkait dengan spidi setelah berlalunya waktu. Lebih banyak malah yang tamat SMA di Spidi. Enam tahun di spidi, padahal di awal mau kabur.

Mengutip ceramah da'i kondang, ustadz Abdul Somad di masjid Jami pesantren Darul Istiqamah beberapa tahun silam "lebih baik menangis sekarang, daripada menangisnya nanti karena menyesal."

Menangislah sekarang wahai orang tua!!! Daripada kelak nanti kalian dibuat tangis oleh penyesalan yang tak berujung melihat anak-anak mengajinya tak beres, tak shalat, akhlaknya tak baik, pacaran, merokok, dan lain sebagainya.

Ketahuilah tiga-enam tahun di pesantren artinya anak-anak Anda bisa lepas dari "keburukan" handphone. Lepas dari pergaulan negatif di luar sana. Lepas dari mengendarai motor di jalan yang berbahaya. Dan segala macam hal yang bisa saja membuat anak-anak dan orang tua menangis menyesal kelak.

Tiga-enam tahun di pesantren, artinya selama itu anak-anak dalam pendidikan dan pembentukan akhlak mulia. Diajari dan disiplinkan untuk melaksanakan shalat berjamaah, shalat lail, dan shalat sunnah lainnya. Mereka tiga enam tahun dianggap  dalam jihad fii sabilillah. Tiga enam tahun mereka disiplin berdoa dan mendoakan orang tua. Tiga-enam tahun dalam pelatihan kemandirian dan kematangan menyambut usia remaja dan dewasa.

Menagislah sekarang, Anak-Anak  karena kesedihan!!
Dan pegang kata-kataku ini "kalian dan orang tua kalian akan menangis kelak karena bahagia atas kesuksesan kalian menghafal Al-Qur'an."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun