Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dari Pahlawan hingga Jadi Beban

26 Juli 2022   19:44 Diperbarui: 26 Juli 2022   19:45 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

From Hero To Zero
"Kamu itu harusnya ikut sekolah bola saja, bukan kuliah di Lipia..." Ujar seorang guru sekaligus teman kampusku. Saya tak tahu, ia sedang  memuji atau sedang menyindirku.

Saya memang sangat terobsesi pada olahraga sepak bola saat SMP hingga kuliah. Saya juga lumayan piawai memainkannya. Tak bermaksud memuji diri sendiri, saya beberapa kali menjadi topskor turnamen antar kampus atau pun antar forum daerah di kampus.

Saat kuliah dulu, tim di mana saya bermain menjadi langganan juara. Pernah juara dua, tapi lebih sering juara satu.

Saking gilanya terhadap bola, hampir tiap malam Sabtu saya dan teman-teman dari Sulawesi Selatan main futsal di lapangan futsal Monas. Pernah bahkan saat di atas bajaj menuju rumah, adzan shubuh berkumandang di masjid Istiqlal.

Lalu Sabtu main futsal lagi di taman Menteng
Sorenya main di lapangan besar di AKRI. Dan Ahad sore pun main lagi di lapangan besar yang sama.

Setelah menikah, sempat istriku tidak suka dengan kegilaan saya pada sepak bola. Namun akhirnya ia menyerah juga. Membiarkan saya dengan aktifitas sepak bola.

Bagaimana pun kegilaan seseorang terhadap bola, akan hilang juga seiring waktu. Dengan berbagai sebab. Tua adalah sebuah keniscayaan. Cedera. Pekerjaan. Dan sebagainya. Saya pun begitu, tapi saya dikalahkan oleh cedera lutut yang saya derita sejak tahun 2013. Sejak setelah itu, saya tetap aktif bermain bola. Namun tak bisa lagi berlari kencang. Tak bisa lagi solo run melewati dua hingga lima pemain lalu mencetak gol. Dan paling parahnya, cedera lutut sering kali kambuh di tengah permainan.

Hingga puncaknya selama 4-5 tahun terakhir ini di mana berat badan pun tak bisa terkontrol. Main bola hanya bisa sekadar mengumpan bola saja. Jangankan melewati lawan, lari kecil saja sudah membuat mata berkunang-kunang. Kemampuan menurun hingga 95% jika bisa diukur.

Ada polling yang Darul Istiqamah FC buat untuk beberapa kategori pemain. Ada pemain terbaik. Ada gelandang, bek, dan penjaga gawang terbaik. Lalu ada pula pemain paling tak berbahaya. Mau tak mau saya pun harus masuk kategori terakhir. Yang dulunya saya sering diajak bergabung dalam tim, sekarang pura-pura tak dilihat. Yang dulunya sering jadi pahlawan. Sekarang jadi beban tim.

Kegilaan saya terhadap sepak bola harus dibayar mahal. Oleh cedera lutut yang hanya bisa sembuh dengan di atas meja operasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun