Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tertibkan Para Pengemis

2 Maret 2022   18:36 Diperbarui: 2 Maret 2022   18:42 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya teringat dulu saat pergi ke kampus pagi-pagi. Sebelum adanya busway. Naik Kopaja dari Kramat Raya Menuju Cikini, dari Cikini nyambung Kopaja lagi Warung Buncit, kampus Lipia.

Nyaris setiap naik Kopaja dari Cikini menuju kampus, selalu ada seorang anak muda pengamen yang selalu naik di lampu merah perempatan Taman Menteng.

Ia mengenakan baju seragam sekolah. Baju STM. Ujung bajunya disetel masuk ke dalam celana. Bajunya putih, celananya abu-abu.

Namanya Andri. Begitu ia menyebut namanya saat memperkenalkan diri sebelum mengamen. Katanya ia mengamen untuk membiayai sekolahnya.

Ia tidak bernyanyi. Hanya meniup seruling. Tapi irama serulingnya biasa saja. Tak istimewa.
Mungkin itu alasannya saya jarang melihat ada penumpang yang memberinya uang. Beda dengan pengamen yang suaranya bagus, banyak penumpang yang memberinya uang.

Saya selalu bertanya-tanya dalam hati orang ini sekolahnya di mana. Kapan masuknya. Bisa dibilang saya curiga. Karena pulang kampus di siang hari, Andri juga masih sering saya jumpai di Kopaja.

Suatu hari saya telat ke kampus. Mungkin sekitar jam sembilan pagi baru di Menteng. Ternyata Andri naik di kopaja yang saya tumpangi. Mengamen.

Lah, ini sudah jam sembilan. Ia masih mengamen. Terus kapan sekolahnya?

Ada banyak fenomena di mana pengamen atau pengemis mencari uang dengan cara meminta belas kasihan orang lain yang dikemas tipuan kecil yang umumnya kita semua sudah tahu itu kebohongan. Bukan hanya Andri dengan baju seragam sekolahnya.

Contohnya misalnya ibu-ibu menggendong bayi/anak kecil sambil mengamen di lampu merah. Atau pun malah mengemis. Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan anak yang digendong itu adalah anak sewaan, bukan anak mereka.

Mereka ingin menggunakan anak kecil tersebut sebagai alat untuk melipatgandakan rasa kasihan orang lain agar dengan rasa kasihan mendorong untuk memberi.

Belum lagi yang pura-pura cacat. Tangan buntung. Atau kaki yang pincang atau buntung. Saya pernah melihat video pengemis pria yang jalannya tiba-tiba pincang saat tiba di "tempat kerjanya" padahal sebelum tiba di sana ia jalan baik-baik saja.

Atau dalam video seorang pengemis yang duduk di atas papan roda dipaksa berdiri oleh sekumpulan warga. Ternyata ia bisa berdiri, tidak pincang sama sekali.

Di video lain saya pernah melihat seorang pengemis yang diambil videonya diam-diam saat naik ke atas motor jemputan. Ia bisa berdiri dengan kedua kakinya saat naik motor padahal sebelumnya ia duduk di atas papan roda khusus buat pengemis yang berkaki buntung.

Memberi uang kepada pengamen atau kepada pengemis tak ada hentinya diperdebatkan. Banyak yang mendukung, tak sedikit yang melarang.

Mereka yang melarang beralasan bahwa memberi uang kepada pengemis atau pengamen sama saja dengan merawat mereka.

Coba saja di dunia ini semua orang bersepakat tak memberi kepada pengemis sebulan saja, maka jalan raya akan bebas pengemis. Karena pengamen atau pengemis siapa pun tak akan mungkin bertahan dua tiga hari di jalan dengan hasil nihil.

Coba bayangkan, di jalan-jalan kota besar menjamur pengamen dan pengemis. Kehadiran mereka sangat mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Tak jarang bahkan ada oknum pengamis merusak kendaraan jika tak diberi misalnya dengan cara menggores dengan paku.

Sementara yang mendukung beralasan berbuat baik tak perlu tahu kondisi orang lain karena itu adalah berlebihan. Lagian masih lebih baik meminta daripada menjambret, mencopet, atau melakukan tindak kejahatan lainnya.

Jika mereka tak mendapatkan penghasilan lewat mengemis atau mengamen, mereka bisa terpaksa melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi seperti menjambret, mencopet, memalak, atau aksi kriminal lainnya demi sesuap nasi.

Pernah suatu sore melelahkan sepulang belanja di Tanah Abang. Saya naik Kopaja menuju arah Jakarta Selatan. Di tengah jalan yang macet naiklah segerombolan pria yang dari tampilannya mengerikan. Bertato, memakai anting, dan pakaiannya lusuh dan kotor. Satu orang di antara mereka berbicara dengan suara tinggi.
"Mohon maaf, bapak ibu semua. Mungkin bagi Anda semua uang seribu dua ribu tak begitu berarti, namun bagi kami itu artinya makan."

Sementara yang lain menyebar ke penjuru Kopaja, berdiri dekat penumpang. Apa yang mereka lakukan? Mereka menyileti tangan mereka di depan wajah penumpang. Membuat beberapa penumpang wanita berteriak ketakutan sambil menutup mata dengan tangan.

Mau tak mau, para wanita itu memberi para pengamen itu uang. Saya pikir mereka pasti sangat takut.

Saya didatangi oleh seseorang dari mereka. Ia menengadahkan tangannya di depanku. Tapi tak ku beri. Ia menatapku tajam mengintimidasi. Tapi tak ku gubris. Hatiku ciut juga. sempat berpikir jangan-jangan ia melakukan hal buruk padaku. Namun saya berusaha melawan pikiranku. Tak boleh kalah oleh intimidasi. Ternyata memang tidak diapa-apakan. Alhamdulillah.

Tak hanya saya, semua penumpang yang memberi diperlakukan sama denganku. Jujur, cara yang mereka lakukan jauh lebih efektif dibanding cara Andri atau pengamen lainnya. Bayangkan, saya melihat lebih dari separuh penumpang memberi mereka uang.

Entah, mengapa orang-orang seperti mereka bisa melakukan aksi intimidasi di tengah keramaian. Di mana kehadiran para aparat? Apakah mereka tak tahu? Tidak adakah yang melaporkannya?

Konon katanya, pengamen atau pengemis di sebuah daerah tak boleh melakukan pekerjaan mereka kecuali atas ijin preman penguasa daerah. Ada semacam uang pajak sebagai kompensasi  dari ijin itu.

Bahkan katanya, para pengemis anak-anak di jalan  punya bos. Merekalah yang mengatur hasil kemis anak-anak kecil itu. Bayangkan, siapa yang Anda berikan uang?

Saya termasuk di antara mereka yang mendukung gerakan tak memberi uang pada pengemis. Mereka rasanya sudah harus ditertibkan oleh pemerintah.

Bukan iri sama penghasilan mereka yang konon katanya sebulan melebihi gaji pegawai BUMN atau PNS. Bayangkan jika dalam satu bus bisa dapat rata-rata 3.000-5.000 rupiah. Kali 50 bus perhari? Kali perbulan?

Atau 2.000 rupiah pertiap lampu merah. Berapa kali lampu merah dalam sehari? Kali sebulan? Berapa penghasilan mereka? Tak usah dihitung, yang jelas lebih besar daripada gaji Anda sebagai pegawai atau karyawan biasa.

Konon katanya sebuah daerah di Jawa Barat yang mana nyaris seluruh penduduknya adalah pengemis di Jakarta. Hebatnya, rumah-rumah mereka di sana bagus-bagus.

Kembali pada soalan pengamen atau pengemis yang harusnya ditertibkan oleh pemerintah. Entah bagaimana caranya. Tindakan preventif, represif, pembinaan, atau yang lainnya. Yang jelas saya tak sabar untuk tidak melihat mereka di jalan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun