Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hijrah dari Riba

7 September 2021   20:54 Diperbarui: 7 September 2021   20:59 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Niat Hijrahku Dari Utang Riba*

Setelah meninggalkan kota Palu untuk tinggal di kota Makassar, aku ingin menjual rumah yang aku tinggalkan di sana.

Aku berniat menggunakan hasil penjualannya untuk membayar sangkutanku pada bank ribawi.
Aku sudah bertekad untuk tak lagi punya kaitan dengan riba.

Namun rumahku belum laku-laku bahkan setelah lima tahun aku iklankan. Hingga saat aku sudah merasa berada di puncak harapan dan doa pada Allah setelah lima tahun tanpa kejelasan.

Dan keajaiban pun terjadi. Tak berselang lama, ada seseorang menghubungiku lewat telepon. Ternyata ia ingin membeli rumahku. Ia ingin membayarnya tunai. Persis seperti harapanku.

Aku terbang ke Palu bersama calon pembeli itu. Dan melakukan transaksi. Setelah semua selesai, aku pulang lagi ke Makassar.

Butuh beberapa hari untuk mentransfer uangnya karena masalah limit nominal transfer perhari. Sampai kemudian lunas. Setiap ia habis mentransfer, setiap itu pula uangnya langsung aku gunakan untuk membayar utang.

Beberapa hari kemudian setelah transaksi terjadi bencana gempa dan tsunami di Palu. Aku dikabarkan lewat telepon oleh orang yang pernah mengontrak rumah yang telah terjual itu bahwa rumah itu terkena likuifaksi sehingga bergeser dari tempat semula. Jarak pindahnya bahkan sekitar 100 meter. Rumah itu tak bisa lagi digunakan.

Aku sangat bersyukur sekali. Tapi juga khawatir pada orang yang telah membelinya. Aku meneleponnya. Ternyata ia dan keluarganya sehari sebelum bencana pergi meninggalkan kota Palu. Mereka semua selamat. Alhamdulillah.

Tapi tetap saja perasaan tak enak padanya membayangiku. Di saat saya sangat beruntung, bisa dibayangkan betapa tidak beruntungnya ia dengan hancurnya rumah itu. Meski tetap disyukuri keselamatannya beserta keluarga.

Aku menawarkan bantuan padanya. Ia meminta kembali uangnya. Namun aku bilang uangnya telah habis digunakan membayar utangku. Tapi aku siap mengembalikannya dengan dicicil.

Hingga beberapa hari kemudian ia kembali menghubungiku mengatakan padaku bahwa biarlah seperti ini. Uangnya tak usah dikembalikan. Ini sudah menjadi ketentuan Allah. Dan ia sudah sangat bersyukur dengan keselamatannya bersama anak istrinya.

Pelajaran yang bisa aku petik dari sini adalah : ketika Anda sudah merasa di puncak harapan yang bisa saja berganti keputusasaan, Allah pasti akan memberikan jalan keluar.

Pelajaran lainnya adalah : setiap niat baik untuk membayar utang yang dibarengi usaha pasti akan memberikan hasil. Cepat atau lambat.

*Sumber cerita : Pak Kha****, salah seorang pengurus masjid Latifah, perumahan Fiziya Darul Istiqamah. Beliau adalah pelaku cerita nyata tersebut. Beliau ceritakan pada kami selepas isya tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun