Mohon tunggu...
Akip Firmanshah
Akip Firmanshah Mohon Tunggu... -

Korupsi, kepalsuan, kebodohan .. Berantas semua!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Saya Batal Memilih Prabowo?

8 Juli 2014   02:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:06 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adayang berbeda di Pilpres tahun ini. Rakyat hanya punya dua pilihan capres. Di satu sisi saya senang sekali karena hal ini menghemat anggaran pemerintah (walau pun belum tentu juga dana tersebut kembali ke rakyat). Di lain sisi, pilihan hanya terbatas. Kalau tidak Jokowi ya Prabowo. Atau tidak memilih alias golput. Dan seperti biasa, saya tidak suka dengan pilihan golput.

Tidak ada gading yang tak retak. Demikian juga dengan dua calon presiden yang kita miliki. Tapi dari dua gading yang tersedia, saya dan rakyat lain, harus memilih yang jenis dan volume retaknya paling sedikit. Dan apakah retaknya membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Dalam setiap pilpres, saya memang tidak mencari yang sempurna.

Pertama tama sebuah catatan. Bila pilpres diadakan 2-3 tahun lalu, saya yakin sekali akan memilih Prabowo sebagai presiden NKRI berikutnya. Pada saat itu tidak ada sosok lain yang memikat. Walau memiliki masa lalu kelam, Prabowo mampu menciptakan citra sebagai tokoh yang layak menjadi pemimpin bangsa. Apalagi pada saat itu, saya (dan rakyat lain) sedang gemas pada gaya kepemimpinan SBY yang cenderung lembek, lambat, dan tidak berwibawa.

Selain citra milter yang sering kali dianggap tegas dan berani, beberapa kebijakan Prabowo membuat saya dan publik menaruh hormat. Berbeda dengan partai lain, Gerindra tampak tidak tamak dengan godaan kekuasaan di dua periode SBY. Setidaknya hal ini yang tercitrakan di benak saya. Walau tidak setegas PDIP yang beroposisi, Gerindra masih mempunyai martabat dengan tidak menjilat SBY untuk mendapatkan posisi menteri, misalnya. Langkah strategis berikutnya yang membuat saya makin kagum adalah pada saat mendukung Jokowi dan Ahok menjadi pimpinan DKI. Ditambah tidak ada lagi calon lain yang sepadan, makin yakinlah saya bahwa saya harus mendukung dan memilih Prabowo.

Memasuki pileg, pilihan saya terbelah antara PDIP dan Gerindra. Dua-duanya saya sukai karena pilihan kebijakan mereka di jaman SBY. Rasa hormat saya pada Gerindra dan Prabowo masih sangat tinggi.

Nah, setelah hasil pileg mulai dipublikasikan dan Jokowi sudah pasti menjadi capres dari PDIP, sifat-sifat ‘asli’ Prabowo mulai terkuak. Orang bilang, sifat asli seseorang akan terlihat pada saat sulit, marah, dan stress. Begitu pula tampaknya dengan Prabowo.

Citra Prabowo yang sebelumnya tampak tenang, menjaga wibawa, dan “bijak” segera berubah. Ledekan dan sindiran kasar pada Jokowi mulai terang-terangan diperlihatkan Prabowo. Walau saya mengerti betapa kesalnya Prabowo pada PDIP dan Jokowi, tapi sikapnya yang meledek dan nyinyir pada Jokowi membuat Prabowo tampak emosional dan kekanakkanakan.Hilang simpati saya (Jilid 1).

Memasuki masa pencarian jodoh koalisi, makin tampak sifat asli Prabowo. Berbeda dengan Jokowi yang sangat teguh berprinsip bahwa kursi menteri hanya untuk calon yang mempunyai kemampuan dan pengalaman, Prabowo membagi-bagi kursi menteri sebagai imbalan bagi yang mau bergabung dan mendukung Prabowo. Dengan cara ini, partai-partai yang berorientasi mencari kedudukan akan tertarik berkumpul. Dan karena pihak Jokowi melakukan hal sebaliknya, partai-partai dengan mudah terbelah dua. Yang menyukai iming-iming kursi menteri dan kekuasaan lari ke Prabowo. Yang mengerti bahwa kursi menteri hanya untuk yang berkemampuan teknis, akan bergabung ke Jokowi.

Seperti semut merubung gula, partai-partai dan para tokoh bergabung pada Prabowo. Partai seperti PKS terang-terangan mengatakan (terutama melalui Fahrihamzah) bahwa omong kosong kalau partai bergabung tanpa komitmen untuk berbagi kekuasaan. Maksudnya, yang dilakukan Prabowo dan PKS sudah benar. PKS mau berkoalisi karena dijanjikan pembagian kursi menteri. Hilang simpati saya(Jilid 2)

Setelah koalisi mulai mengkristal, hati saya ciut melihat partai dan orang-orang di sekeliling Prabowo. Orang-orang inilah yang dijanjikan kekuasaan oleh Prabowo. Dan walau pun misalkan saya masih menaruh harapan pada Prabowo, saya sudah tidak dapat lagi berharap pada koalisi yang dibentuk Prabowo.

Yang pertama PKS. Partai ini sudah berbeda jauh dengan awal partai ini berdiri dengan nama Partai Keadilan. Agar tulisan tidak menyimpang terlalu jauh, cukup saya katakan bahwa saya tidak ingin para petinggi PKS mengisi kabinet lagi seperti di era SBY. Saya tidak ingin menteri seperti Tifatul Sembiring menduduki jabatan sepenting kominfo. Tidak ingin menteri pertanian yang terserempet kasus korupsi daging sapi yang diatur oleh ketua partainya sendiri. Yang tidak peduli rakyat jadi sengsara karena harga daging sapi menjadi sangat mahal. Cukup dengan PKS dengan semua tingkah para petingginya.

Yang kedua, ARB alias Ical. Selama Ical berpolitik dan menjadi menteridi jaman SBY, tidak ada hal-hal baik yang dilakukan untuk rakyat. SBY yang begitu santun dan lemah gemulai, bahkan pernah memecat Ical dari kabinet. Sebegitu mengganggunya Ical saat itu. Banyak kasus negatif seputar aksi-aksi Ical dan grup Bakrie di dunia bisnis. Sekedar contoh, Bakrie Life yang tidak membayar kewajiban pada para nasabahnya sampai sekarang, kasus Lapindo yang terkatung-katung dan malah dibantu pemerintah, kasus heboh Bumi plc dengan Rothchild, dan masih banyak contoh lain lagi.

Yang berikutnya, Eggi Sujana. Tokoh ini lebih mirip preman daripada pengacara. Beliau ini adalah anggota kunci tim sukses Prabowo. Saya masih ingat ketika Eggi Sujana mengancam membuat kerusuhan pada saat Aceng Fikrie akan dilengserkan. Pernyataan-pernyataan yang mengancam rakyat Garut sama sekali tidak menampakkan tokoh publik yang pantas mendapat jabatan. Apa jadinya kalau Eggi Sujana jadi menteri nantinya?

Tokoh lain adalah Suryadarma Ali. SDA adalah tokoh awal yang mendukung Prabowo. Dengan segala macam keributan di PPP pasca aksi SDA yang tampak seperti melacurkan diri pada saat puja puji Prabowo di acara Gerindra, akhirnya Prabowo dapat ‘meyakinkan’ para petinggi lain untuk berkoalisi. SDA sendiri tokoh kontroversial, yang entah kenapa dipilih SBY sebagai menteri agama. Ditangkapnya SDA oleh KPK akhirnya membuktikan kecurigaan banyak orang akan adanya pat gulipat di balik kemelut pengelolaan administrasi naik haji.

Tapi, yang benar-benar membuat saya menahan nafas, adalah saling dukung antara Prabowo dari FPI (Front Pembela Islam). Apa yang ada diharapkan Prabowo dari FPI? Dengan bergabungnya FPI, Prabowo seperti mendeklarasikan koalisinya sebagai garda depan untuk tokoh-tokoh yang “membaurkan” agama dan politik/kekuasaan – atau dengan kata lain, menyalahgunakan agama untuk mendapat dukungan serta sekaligus menekan pihak lain yang berseberangan.

Coba bayangkan jika sebagian atau seluruh orang-orang ini mendapatkan kekuasaan di negeri kita: Aburizal Bakrie, para petinggi PKS seperti Fahrihamzah, para petinggi FPI seperti Habib Riziek, Eggi Sujana, Ngabalin.Hilang simpati saya (Jilid 3).

Di masa awal kampanya, Prabowo ‘turun tangan’ sendiri menghujat Jokowi. Belakangan Prabowo bersikap lain. Di depan publik, Prabowo tidak melakukan hujatan lagi, malahan berusaha tampak positif dan ‘menghargai’ Jokowi. Sebuah strategi yang baik. Sayangnya, hal ini sepertinya tidak dilakukan dengan tulus. Timses Gerindra dan turunannya dengan masif melakukan segala macam kampanye buruk pada Jokowi – dari yang sekedar ngeledek, negatif, hitam, hitam legam, sampai propaganda fitnah. Tentu saja semua ini dilakukan di bawah tanah. Dan tidak pernah diakui.

Kampanye hitam yang menyerang Jokowi tidaklah mungkin dilakukan tanpa desain dan struktur. Isi tabloid fitnah Obor Rakyat, misalnya, terlalu mirip dan konsisten dengan isi kampanye tim Prabowo serta fitnah-fitnah di media sosial sehingga sukar diterima akal sehat, kalau mengatakan mereka berjalan sendiri-sendiri. Belum lagi masalah pendanaan untuk mencetak dan melakukan distribusi ke ribuan tempat di Indonesia. Kampanye-kampanye fitnah dilakukan dengan masif, dasyat, dan intens. Ibaratnya, serangan fitnah dilakukan dari darat, laut, dan udara. Hilang simpati saya (Jilid 4).

Ibaratnya tim sepakbola, saya merasa tim capres no.1 ini tidak melakukan pertandingan dengan sportif. Segala macam cara dilakukan untuk meraih kemenangan. Kalau perlu takling keras dan kasar. Melakukan diving agar tim lawan disemprit wasit. Melakukan protes pada wasit walau tim lawan tidak sedang bersalah. Semua cara dihalalkan dan dikerahkan untuk mencapai kedudukan. Sedihnya, wasit pemilu tidak melakukan tindakan apa apa. Tim capres no. 2 babak belur dihantam segala macam fitnah. Dan cara-cara kasar ini, sedihnya, mengancam integrasi NKRI, karena banyak fitnah dan kampanye dilakukan dengan menyalahgunakan sentimen agama.

Itu yang saya rasakan mengenai Prabowo dan koalisinya saat ini. Saya sadar pemuja Prabowo jelas tidak sependapat. Tapi itu adalah pendapat pribadi saya. Silakan menghujat balik saya. Atau mencari kesalahan-kesalahan Jokowi. Tapi pilihan saya di 9 Juli nanti sudah pasti bukan Prabowo. Wassalam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun