Mohon tunggu...
Akilah Dharmayasa
Akilah Dharmayasa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa PBSID Universitas Negeri Malang

Tipikal mahasiswa Sastra Indonesia yang dunianya menulis dan membaca. Penikmat karya seni apapun bentuknya. Sedang berupaya mendalami dunia jurnalisme dan segala printilannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekokritik Sastra dalam Puisi "Membaca Tanda-tanda" Karya Taufik Ismail dan Lirik Lagu "Berita Kepada Kawan" Karya Abiet G. Ade

10 November 2023   14:26 Diperbarui: 18 November 2023   15:51 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Conservation Institute. iStockPhotos/alacatr

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kajian terhadap karya sastra  dan kebudayaan untuk diperluas dengan mengembangkan teori-teori multi-disipler. Salah satu  teori yang muncul adalah teori ekokritik. Teori ecocriticism dapat diklasifikasikan dalam teori multidisiplin, di mana ecocriticism memadukan antara kajian ekologi dan kajian sastra. Sastra  sebagai inspirasi erat kaitannya dengan alam, sedangkan alam membutuhkan sastra sebagai  sarana pelestarian.  

Istilah ecocriticism pertama kali muncul dalam esai Literature and Ecology: An  Experiment in Ecocriticism, yang ditulis oleh William Rueckert pada tahun 1978. Kajian  sastra dengan pendekatan ini banyak digunakan, terutama di Amerika sejak awal tahun 1990- an (Garrad, 2004). Garrad (2004) mengungkapkan bahwa ekokritik merupakan kajian hubungan antara manusia dan nonmanusia, sejarah manusia dan budaya yang terkait dengan  analisis kritis manusia dan lingkungannya (ecocriticisme entailes 'the study of the relationshiep  of the human and the nonhuman, throughout human cultural history and enthailing critical  analysis of the terms "human" itself). Ekokritik dapat didefinisikan sebagai penelitian terhadap  hubungan antara literatur dan lingkungan.  

Tokoh penting yang sekaligus dinobatkan sebagai pelopor dari teori ini adalah Cheryll  Glotfelty dengan esai nya yang berjudul, The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary  Ecology (1996). Pengembangan pendekatan ekologi sastra dan kemunculan teori ini berawal dengan ambisi Glotfelty untuk menemukan hubungan antara karya sastra dengan lingkungan  sekitar. Glotfelty memiliki ketertarikan pada bidang ekologi namun di sisi lain juga ingin  mempertahankan identitas-nya sebagai seorang ahli dalam bidang sastra. Tujuan utama  Cheryll. 

Eko-kritikus memberikan perhatian lebih pada keterikatan antara lingkungan dan  sastra, termasuk perihatinan dalam ekologi yang disebabkan oleh hubungan yang tidak stabil  antara kehidupan sosial dengan alam. Karya sastra tidak terpisahkan dengan alam dan  lingkungan serta berbagai permasalahannya. Estetika sastra dibangin melalui kontribusi  fenomena alam dan lingkungan yang menjadi masalah kompleks saat ini. Studi sastra ekologis  ini mempertanyakan bagaimana karya sastra dapat mewakili alam atau lingkungan melalui  nilai-nilainya. Hal ini mengispirasi untuk membuat karya-karya yang bertujuan untuk  mengangkat permasalah alam atau lingkungan. 

Puisi "Membaca Tanda-Tanda" karya Taufiq Ismail merupakan salah satu penerapan  ekologi sastra. Taufik Ismail adalah tokoh sastrawan Angkatan '66 yang dikenal luas sebagai  penyair kelahiran Bukittinggi pada 25 Juni 1935. Dalam puisi Membaca Tanda-Tanda, Taufik  Ismail mengangkat tema puisi tentang kerusakan alam yang termasuk dalam bahasan isu-isu  ekologi.

Membaca Tanda-Tanda menggambarkan eksploitasi lingkungan yang mengakibatkan  kerusakan alam. Puisi ini menampilkan krisis ekologi di Indonesia, seperti pencemaran udara,  hutan gundul, dan efek rumah kaca. Dalam puisi ini Taufik Ismail mengajak pembaca untuk  membaca gejala alam yang terjadi dan peka terhadap perubahan alam yang semakin  memprihatinkan. Alam yang dulunya indah dan nyaman sekarang rusak akibat tangan manusia.  Taufik menyampaikan rasa rindunya pada lingkungan yang harmonis dan mempertanyakan  apakah kitab isa membaca gejala perubahan alam yang memberikan peringatan untuk menjaga  lingkungan lewat bencana-bencana. 

Dalam puisi ini, pencipta menyindir manusia yang lalai menjaga alam dan juga  menunjukkan kesedihannya melihat alam mulai kehilangan keindahan. Puisi ini menggunakan  pemilihan kata yang tepat, misalnya kata 'kehilangan' dipilih untuk menggambarkan  keindahan alam yang mulai hilang. Pencipta juga menggunakan kata-kata yang berhubungan  dengan alam seperti udara, danau, burung, hutan, gunung, dan sebagainya. Selain kata-kata  yang menunjukkan tema alam, pencipta juga menggambarkan bencana lewat kata-kata seperti  longsor, banjir, gempa, dan sebagainya. Taufik Ismail menggunakan bahasa-bahasa sederhana  yang mudah dipahami sehingga pembaca lebih cepat menyerap pesannya. 

Membaca Tanda-Tanda juga menggunakan citraan atau imaji, misalnya pada baris  /Kita saksikan udara abu-abu warnanya/ merupakan citra penglihatan; /Burung-burung kecil  tak lagi berkicau pagi hari/ menimbulkan citra pendengaran; serta /Ada sesuatu yang rasanya  mulai lepas dari tangan/ dan meluncur lewat sela-sela jari kita/ yang mengandung citra  perabaan. Digunakan juga beberapa gaya Bahasa untuk menambah estetika karya ini. Misalnya  dalam kutipan /Banjir air mata/ menunjukkan gaya Bahasa yang melebih-lebihkan atau  hiperbola. Meskipun pola rima pada puisi in tidak teratur, tetapi ada rima luar yang terdapat  antar baris. 

Secara detail puisi itu menyimpan makna bahwa bencana alam muncul karena kelalaian  tangan manusia yang lama kelamaan muncul, mulai dari polusi udara dan pemanasan global yang mengakibatkan kematian hewan dan tumbuhan sehingga alam kita menjadi gersang.  Disusul juga amukan lain dari alam berupa gunung meletus, longsor, dan banjir yang akhirnyya  membuat manusia menangis karena keganasannya. Tetapi dengan gejala yang begitu  banyaknya, apakah manusia bisa memahami bahwa semua bencana itu tidak terjadi tiba-tiba? Taufik Ismail menekankan bahwa seharusnya kita membaca tanda yang telah diberikan Tuhan  dengan menjaga alam karena jika tidak, manusia hanya bisa menyesal, meratapi dosa, dan  merindukan alam yang asri, aman, dan nyaman. 

Puisi ini dibuat karena keresahan pencipta akan kelalaian manusia dan menggambarkan  bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan. Apabila manusia merusak alam,  maka alam akan kehilangan keharmonisannya. Dan jika alam rusak, maka akan terjadi  bencana-bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Abiet G. Ade  yang juga membawakan tema yang sama dalam lagunya yang berjudul Berita Kepada Kawan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun