The Guardian of Constitution adalah julukan lain yang diberikan negara kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam rangka menjaga eksistensi dan esensialitas konstitusi di Indonesia.Â
Telah beroperasi selama lebih kurang 20 (dua puluh tahun), Mahkamah Konstitusi adalah jawaban tentang seberapa pentingnya perlindungan konstitusi dalam menopang kehidupan bernegara dan berbangsa. Pun halnya rintangan dan tantangan yang ditemui dalam setiap disharmonisasi turut menjadi bunga rampai yang ikut serta dalam membangun ketangguhan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.Â
Sebagai salah satu lembaga yudikatif bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak hanya berperan sebagai pelindung konstitusi, namun juga berperan aktif dalam memastikan keamanan dan ketertiban penyelenggaraan negara sebagaimana yang diamanatkan oleh Konstitusi Negara. Lembaga yang dibentuk pada 13 Agustus 2003 ini juga diberikan kewenangan untuk memutus pertanggungjawaban DPR atau Presiden dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara, melakukan pemutusan sengketa pemilu dan pembubaran partai politik jika kita merujuk kepada pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dua puluh tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi ini sudah mencapai puncak kemenangan?
Konsep pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan terobosan modern terhadap sistem pembentukan lembaga pemerintah pada abad ke-20.Â
Setelah dilakukan perubahan ketiga UUD 1945, sembari menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung sebagai pihak yang melaksanakan tugas sementara Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui perumusan yang cukup panjang, akhirnya DPR bersama Presiden mencapai kesepakatan untuk membentuk UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.Â
Hal ini menjadi pertimbangan utama mengingat Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi konstitusionalitas dalam berdemokrasi.Â
Setelah melalui perjalanan panjang dan terjal yang tidak mudah selama dua puluh tahun, Mahkamah Konstitusi tentu menghadapi segudang tantangan dan rintangan yang berkaitan dengan pelanggaran dan pencideraan ketentuan konstitusi. Tercatat oleh databoks, sejak Pemilu tahun 2004 sampai tahun 2019, Mahkamah Konstitusi telah menangani ribuan kasus, yakni sejumlah 2.173 kasus.Â
Jika dirata-ratakan, maka pertahunnya terdapat sekitar 14,5% kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Disamping itu, sepanjang tahun 2021, Mahkamah Konstitusi telah menangani 277 perkara yang terdiri dari 121 perkara Pengujian Undang-Undang (PUU), 3 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), dan 153 perkara Persilisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP KADA).Â
Hal ini mengindikasikan seberapa besar peran dan keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam memastikan perlindungan konstitusi di negara kita hingga saat ini. Bahkan sampai saat ini, Mahkamah Konstitusi masih terus berusaha untuk meningkatkan performa dan kinerja untuk melaksanakan amanat konstitusi dengan lebih baik.
Publik pun tak henti-hentinya menggaungkan harapan dan cita terhadap upaya terwujudnya stabilitas dalam kehidupan bernegara dan berkonstitusi. Harapan publik saat ini tidak hanya terbatas kepada upaya untuk mengatasi serta menanggulangi, namun juga kepada upaya preventif atau pencegahan.Â
Mengingat terjadi begitu banyak kasus pelanggaran dan pencideraan konstitusi yang terjadi dari hari ke hari, saat ini publik tidak lagi menaruh perhatian besar pada efektivitas penanggulangan perkara, namun lebih kepada strategi pembaharuan Mahkamah Konstitusi dalam memberi jaminan pencegahan agar perkara-perkara pelanggaran terhadap konstitusi dapat ter-reduksi di masa depan. Tentu saja ini adalah tantangan baru yang harus ditanggapi oleh Mahkamah Konstitusi karena menjawab aspirasi rakyat juga merupakan bagian dari kehendak konstitusi kita yang demokratis.Â
Selama dua puluh tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi, rakyat telah melihat dan membersamai setiap upaya Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu, publik berharap Mahkamah Konstitusi tetap mampu konsisten pada kinerja yang telah ada, sekaligus memastikan penurunan tren jumlah perkara yang ditangani. Hal ini wajar bila kita mengingat sepak terjang Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif bersama Mahkamah Agung dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pemberian jaminan ruang aman bagi setiap orang yang ingin mengajukan gugatan juga menjadi isu lain yang harus ditangani Mahkamah Konstitusi sekaligus cita rakyat dalam upaya peningkatan performa Mahkamah Konstitusi di masa mendatang. Sebagai pelaksana konstitusi, rakyat memiliki kebebasan untuk mengajukan keberatan atau gugatan untuk memperkarakan sesuatu yang dirasa bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.Â
Sehingga, Mahkamah Konstitusi harus memastikan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk taat dan patuh kepada ketentuan konstitusi. Karena esensialitas dari konstitusi kita adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat, maka dari itu Mahkamah Konstitusi harus mampu menyediakan ruang aman bagi rakyat dalam berekspresi dan beraspirasi.
Oleh karena itu, apabila pertanyaannya apakah Mahkamah Konstitusi sudah mencapai puncak kemenangan di usia yang ke-20 ini, jawabannya bisa jadi belum. Masih banyak hal yang harus menjadi prioritas utama Mahkamah Konstitusi dalam memastikan pencapaian amanat dan cita konstitusi serta akomodisasi aspirasi rakyat dalam sebuah mekanisme kerja yang jelas, transparan, dan akuntabel.Â
Diharapkan, sampai pada tahun-tahun berikutnya, Mahkamah Konstitusi tetap menjadi sebuah lembaga kehakiman independen yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih baik. Sebagai badan yudikatif negara, hendaknya Mahkamah Konstitusi mampu menjadi lembaga kehakiman yang berhasil dalam menegakkan keadilan dan hukum di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H