Ditemani secangkir kopi hitam tanpa gula di pagi hari yang riuh dengan suara anak-anak, aku membaca kembali buku "7 Keajaiban Rezeki" karya Ippho Santosa. Beliau membahas tentang perbedaan orang yang mengedepankan otak kiri dan otak kanan dalam kehidupannya. Beliau menceritakan bagaimana perbedaan seorang yang dominan otak kiri dan dominan otak kanan dalam menjalankan salah satu sunnah rasul yaitu pernikahan. Ya, itulah menikah cara kiri dan menikah cara kanan.
Seorang yang dominan otak kiri akan memiliki banyak pertimbangan dalam melaksanakan pernikahan dan punya tahapan-tahapan yang harus dilalui. Sementara seorang yang dominam otak kanan tidak perlu banyak pertimbangan. Langsung action saja.
Ippho menceritakan bagaimana pernikahannya dengan seorang wanita yang menjadi istrinya saat ini, Astrid. Ketika itu Astrid merupakan karyawan baru di perusahaan tempat Ippho bekerja. Ketika selesai sholat, Ippho melihat Astrid kala itu sedang berdoa dan Ippho langsung meyakini kalau dia ini wanita sholehah yang pantas dijadikan Istri.
Tanpa harus menunggu waktu lama, Ippho langsung mengutarakan niatnya dan akan berkunjung ke rumah orangtuanya untuk melamarnya. Astrid tidak langsung menerima Ippho, dia menyampaikan jika sudah punya calon suami. Mendengar jawaban Astrid, Ippho tidak patah semangat. Beliau menyampaikan jika calon kamu serius, tanyakan kapan dia akan melamarmu.
Singkat cerita, calon Astrid tidak bisa memberikan kepastian dan banyak pertimbangan. Astrid pun menerima lamaran Ippho dan melangsungkan pernikahan dalam waktu singkat. Demikianlah kisah menikah cara kanan Ippho dan Astrid dalam bukunya.
Ku seruput kopi pahitku sesekali serta melahap pisang goreng buatan istri tercinta. Ya, pisang goreng adalah salah satu makanan favoritku. Seketika pikiranku melanglang buana ke masa lalu, lebih 7 tahun silam. Jika pak Ippho melamar Bu Astrid setelah melihatnya pertama kali, aku melihat pertama kali istriku di hari lamaran. Maka kalau dalam hal menikah ini, aku lebih otak kanan dibanding pakar otak kanan, Ippho Right.
Petualangan Mencari Jodoh
Ketika itu, aku sebenarnya belum betul-betul ingin menikah. Aku masih ingin menikmati kehidupan baru setelah selesai kuliah dan langsung bekerja. Bahkan ijazah kuliahku pun belum kuambil dan langsung bergabung di sebuah perusahaan. Â Namun, permintaan orang tua untuk segera mencari calon pendamping agar bisa "nikah kembar" dengan kakak di tahun tersebut.
Perasaanku bercampur aduk antara senang dan bingung. Senang karena aku akan segera memiliki pendamping hidup yang akan menemani hari-hariku di kala senang dan sedih. Bingung karena aku belum memiliki calon yang akan menjadi pendamping hidup. Maklum, selain untuk menjaga prinsip untuk tidak pacaran sebelum menikah, aku juga seorang yang pendiam dan pemalu.
Orang tua memberikan waktu untuk mencari jodoh pun tidak lama, hanya sekitar tiga bulan. Lewat dari tenggat waktu tersebut, pernikahan bersamaan dengan kakak aku tidak akan terwujud dan aku harus menunggu beberapa tahun lagi jika ingin menikah.