Mohon tunggu...
Ahmad Akhtar
Ahmad Akhtar Mohon Tunggu... Penulis - writing.

sedang berkuliah

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Batas

11 November 2023   07:04 Diperbarui: 11 November 2023   07:09 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semacam kisah patah hati lainnya, seperti Matahari dengan rembulan yang hanya bisa saling menatap dari jauhnya, terhalang temu karena garis bujur yang enggan mempertemukan mereka. Sama dengan kami, Candra (Bulan) dan Syamsie (Matahari) oh jangan lupakan Lintang juga, pertemanan denggan satu pria dua perempuan sudah wajar bukan?

Kelas
"aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada."

Handwrite Mural puisi Sapardi yang indah terpampang di tembok paling belakang di kelas. Seseorang berdiri menghadapnya, senyum tipis tertoreh dengan posisi tangan di pinggang. Seragam putih abu kusut miliknya tertumpahi cat krem, warna yang sama dengan mural.  

"Hoi Sun, ada yang nyari tuh!" teman sekelasnya menepuk pundaknya, rambut lusuhnya terlihat sedih, hitam-abu terkena debu. Yap, dia Syamsie, murid kelas 1 SMA, IPA pintar di mata pelajaran Kimia bodoh di Sastra. Hanya ada satu yang dia suka, puisi. Menurutnya, sajak-sajak populer yang di buat oleh penulis puisi Indonesia sangat indah.

Dengan tubuh yang terlihat jangkung, tinggi hanya sekitar 161 cm nya termasuk murid laki-laki paling pendek di kelas. Dia menoreh kan kepalanya, melihat sahabat nya, Lintang; rambut terurai sebahu, wajah judes dengan make up menor nya, di mata Syamsie seperti tante-tante kembali sekolah. Sepatu hitam  polosnya yang begitu lusuh belum seperti belum dicuci.  
Tinggi mereka terbanding terbalik, Lintang lebih tinggi 3 cm dibanding dirinya. Syams mengangkat kepalanya, sapaan khas mereka bertiga ketika malas menyapa. Terlihat jelas maksud Lin membawa buku Kimia, pasti nyontek. Walau mereka beda kelas, guru mereka sama. Bu Nadia, guru yang disiplin mengenai tugas dan kebersihan. Syams yakin beliau terkena OCD sejak awal, tapi siapa dirinya berani berkomentar? Daripada kena semprot.

Syams mendengus, "ambil sendiri, aku sibuk. Minta ajarin Caca sepulang sekolah, daripada main PS mulu mennding belajar buat UAS minggu depan. Nilaimu jongkok seperti itu, tinggal kelas yang ada." setelah mengucapkan kata-kata kejam itu dia kembali memandangi mural tembok bertuliskan sajak-sajak itu kembali.

Kelas Candra

Kebanyakan orang yang membaca nama ini, akan menganggap Candra adalah siswa laki-laki berwajah sangar seperti preman pasar. Namun sebaliknya, nama sangar itu di patahkan dengan wajah perempuan dengan rambut menjuntai kebelakang, pony tail adalah senjatanya. Sekali dia memakai gaya rambut itu, murid-murid laki-laki iman nya akan tergoyah.
Dengan tinggi 162 cm, warna kulit putih salju, senyuman bak bidadari keseleo, paras yang rupawan, siapa laki-laki di sekolah yang tidak tertarik dengannya. Candra Ardinanta, menolak sekian banyak murid laki-laki hanya untuk menunggu seseorang yang tidak akan menyatakan cintanya. Sungguh bodoh, pikirnya. Tapi itulah faktanya, dia rela menunggu selama apapun itu demi karakter fiksinya nyata.

Lintang, dengan kacamata belajarnya sedang duduk di depannya, terkulai lemas karena Kimia. Bu Diana memberinya tugas tambahan karena ketahuan meniru jawaban Syams, murid kelas unggulan di sebelah kelasnya. Sungguh malang nasibnya harus di hajar dengan mata pelajaran yang dia benci dari lahir.
Candra menghembuskan nafas panjang, "Kenapa ga minta Syam ngajarin? Aku ga bisa ngajarin orang tau," mereka saling beradu pandang. Lintang mengangkat kepalanya dari meja, "ya gatau, pake nanyea dia nyuruh ke elo"

ISTIRAHAT

Kami jarang berkumpul bersama di jam-jam istirahat, karena kami punya kesibukan masing-masing dan circle jauh beda. Syam dengan klub bola nya sedang memakai lapangan hari ini. Lintang mengerjakan tugas Kimia di pinggir lapangan, tempat suporter bola mereka. Kebanyakan perempuan bermodal suara kencang sekaligus cempreng disana. Meneriaki (menyemangati) ketua tim bola, Arlan. Salah satu murid populer yang di tolak Candra minggu lalu. Sedangkan candra duduk di seberang lapangan. Duduk sendiri dengan camilan di tangannya.  
   Skor terakhir terlihat di papan skor, kelas 3 berhasil memasukkan bola 3 kali sedangkan kelas 2 memasukkan bola ke gawang 2 kali. Pertandingan yang cukup sengit apalagi penguasaan bola dari kedua tim yang begitu sengit, sempat terpikir oleh Caca akan seri.
Syams menghampirinya dari sisi lapangan, keringat mengucur dari tubuhnya, tangannya seperti terkena minyak. "Ei ca! Pulang bareng yom, sama Lin?" teriaknya. Sambil tersungut-sungut candra memalingkan pandangannya. Telinganya seolah panas dan memerah. Mereka bertiga kembali ke kelas masing-masing dengan senyum tipis yang timbul. Apakah batasan ini akan bertahan? Senyuman diantara kami bertiga akan terkenang, tertulis, mengangkasa, membumi selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun