Bab 3
Terdampar
    Â
Kami terdampar di sebuah lapangan hijau yang dihiasi oleh rerumputan. Saat mataku terbuka aku melihat matahari sedang bersinar ditutupi oleh awan. Kami beruntung bisa selamat dari bencana itu. Sesaat Aril berpikir, tunggu apakah ini artinya kami sudah mati? Aril tidak bisa mempercayai ini. Semua terlalu cepat terjadi. Tiba-tiba tangan kanan Aril serasa memegang sesuatu yang lembut. Saat menoleh dia mendapati bergandengan tangan dengan Dinda. Mukaku bersemu merah. Sejak kapan aku memegangi tangannya. Unyung dia belum sadarkan diri. Kalau dia sudah sadar sebelum aku, pasti aku akan kena tampol sepuluh kali.
Aku membangunkannya berkali-kali. Mengguncang-guncangkan tubuhnya, mencubit lengannya, dan mencubit pipinya yang kenyal, tapi tidak ada respon sama sekali. Akhirnya yang hanya ada dipikiranku adalah menaburinya air garam atau air asin. Aku berjalan mengelilingi lapangan untuk mencari air sedikitpun tidak mengapa asalkan Dinda bisa bangun. Pikirnya. Setelah berkeliling lama sekali sampai-sampai kakinya serasa mau copot, dia kembali ke tempat Dinda tertidur pulas.
Tak bisa dipercaya, ternyata Dinda sudah sadar. Dia terlihat pucat sekali untuk seukuran gadis yang barusan mengalami kecelakaan kincir. Meskipun begitu dia tetap tegar dan bersemangat. Dia melihatku dan diapun mulai tersenyum, seakan dia baik-baik saja. Walaupun keadaannya tidak baik-baik amat. Tapi aku sudah bersyukur dia bisa bangun sendiri. Itu menandakan dia benar-benar sehat, walaupun tidak sepenuhnya sehat.
Dia sedang kurang bersemangat. Dia tampak lesu alih-alih kecewa padaku. Andaikan asaja aku tak mengajaknya kencan, dai tidak perlu mengalami kejadian seperti ini. "Apa kau baik-baik saja," tolol. Mana mungkin dia baik-baik saja. Dia sedang resah, dan aku malah membuatnya semakin runyam.
"Aku baik baik saja, terimakasih sudah menyelamatkanku," dia berusaha untuk tersenyum, tapi senyumannya malah membuatku tambah merosot. Dinda pasti marah padaku. Aku sudah menjauhkannya dari rumah. "Sudahlah, ini bukan salahmu kok. Tenang saja aku tidak akan menamparmu karena telah membuat kita jauh dari rumah." Katanya lemas. "Apa kau yakin tidak apa-apa? Kau terlihat pucat. Akan kucarikan makanan saja." Usulku hendak pergi. Dia mencengkeram tanganku. Wajahnya memelas. "Kumohon jangan pergi," wajahnya yang semakin pucat membuatku tambah khawatir tentang keadaannya yang sesungguhnya.
Dia seperti anak anjing yang akan segera mati karena sudah tidak pernah diberikan makan oleh majikannya. Wajahku melembut. "Baiklah, istirahat saja kalau begitu. Jangan memaksakan diri terlalu keras ya?" dia hanya tersenyum masam. "Akan kucoba untuk istirahat, dan jangan membangunkanku kalau bukan untuk keadaan hidup-mati atau mendesak." Janjinya. "Baiklah, akan kucoba untuk tidak membangunkanmu." Dia menahan tawa. Lalu merentangkan tangannya untuk bisa tidur pulas. Lalu kembali tidur dengan pahaku sebagai bantalnya. Huh, dasar cewek, selalu saja mengganggu cowok. Ketika mendengar dia tidur pulas, aku lega akhirnya dia bisa beristirahat tanpa gangguan. Aku membuai kepalanya. Asal tahu saja, aku hanya ingin mengecek keadaan kepalanya. Barangkali terbentur gara-gara sesuatu.
Sesudah dia terbangun dia menawariku untuk tidur beberpa menit. Dia meyakinkan aku untuk istirahat sebentar saja, tapi aku menolak. Kami sudah disini berjam-jam lalu, dan kami bahkan belum tahu apakah ada tanda-tanda kehidupan. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari orang atau setidaknya tempat untuk beristirahat bila kami kelelahan. Kami menjumpai beberapa orang asli daerah sini. Dan saat kami bertanya dimana ini, orang itu bilang "Kalian pasti bercanda, kita di Reyrost tentunya. Apakah kalian orang asing atau semacamnya?" Tanya orang itu. Dan setelah menimbulkan kecelakaan besar yaitu meruntuhkan kincir raksasa, akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka hanya bercanda. Orang itu hanya melongo tak peercaya bahwa sudah dikerjai oleh dua anak remaja. Orang itu meninggalkan mereka dengan keadaan marah sekaligus kesal yang tak terhingga. Aril berpikir, mana mungkin orang itu marah hanya karena dikerjai oleh dua anak remaja.
Reyrost. Tempat ini sungguh mirip dengan dunianya. Apa maksud orang bertudung hitam itu? Apa maksudnya dengan menjadi 'keturunan'nya. Dia adalah keturunan kakek neneknya tentu saja. Aril menggelengkan kepala tanda menyerah. Kalau-kalau dia berpikir terus menerus adanya kepalanya bocor atau meledak seperti bom atom yang menyerang sebuah negara. Untungnya Dinda menyadarkanku dari kekalutan pikiranku sendiri. "Hei," sambil menggepuk punggungku keras-keras, yang sekaligus membuatku terkena serangan jantung dan melompat sejauh 100 meter.
Dia menatapku, lalu tertawa sekencang-kencangnya. "Lain kali," kataku pelan. "Kalau ingin bicara denganku kau tidak boleh mengagetkanku seperti itu! Apa kau tahu rasanya jantungmu mau copot dan melompat keluar sejauh limabelas meter." Ucapku kesal. Dia murung kembali. "Maaf, aku Cuma ingin memberitahumu." Kupingnya menjadi semerah buah apel. Aku sedikit merasa bersalah karena membentakknya. "Aku juga minta maaf, dan terimakasih sudah menyadarkanku." Gumamku malu. Jujur ini pertama kalinya aku dikejutkan oleh cewek. Tak kusangka rasanya sangat mendebarkan.
Kami memasuki desa yang lebih agak ke selatan dari kota Reyrost. Di desa itu kami berasa seperti kembali ke rumah. Pemandangannya yang menyegarkan mata, pohon-pohon yang rimbun, dan penduduk yang ramah terhadap lingkungan. Di desa itu tidak ada sampah yang berserakan sedikit pun. Pasti si penjaga kebersihan selalu membersihkannya. Kami kembali menelusuri rumah-rumah. Mencari tahu lebih lanjut mengenai kota Reyrost dan sebagainya. Seorang lansia yang hamper sepuh, menyarankan kami untuk mengunjungi perpustakaan kota. Kami agak kaget dan syok, kami tidak mengira adanya perpustakaan di desa sekecil ini.
Kami meminta petunjuk arah untuk ke perpustakaan tersebut, dan kami bersyukur kepada Tuhan karena kebaikan orang tua tersebut. Si kakek memberitahu kami jalan yang harus ditempuh dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai kesana. Kami tidak mengerti bagaimana seorang lansia bisa tahu arah kesana tanpa lupa mendadak. Karena kalian tahulah, orang tua, terkadang agak pelupa. Setelah selesai memberitahu kami arah kesana, kami sangat bertermakasih kepada bantuan kakek.
"Seandainya saja kalian cucuku," ucapnya lesu. "Sayang sekali waktu kalian menipis. Mungkin lain kali kita bisa berbicara beberapa menit. Sambil menyesap secangkir kopi. Pasti seru." Katanya parau. "Berhati-hatilah disana nak. Jangan berbuat ulah." Kakinya gemetaran. Dinda menghampiri sang kakek. Setelah menatap mata kakek Dinda melakukan hal yang sangat mengejutkanku. Dia memeluk sang kakek sangat erat. "Kami akan berhati-hati kek," isaknya sambil menahan air matanya jatuh. "Terimakasih atas segalnya.
Kami akan selalu mengingat kakek." Sang kakek tersenyum simpul. Sampai memperlihatkan giginya yang separuh ompong. "Kau cucu yang baik, teanang tidak usah cemas padaku. Aku akan selalu menanti kalian. Percayalah." Sambil mengelus-elus kepala Dinda. Oke. Aku hamper menangis gara-gara itu. Dinda menjauh dari kakek, dan memutar badannya, lalu pergi menjauh meninggalkanku dengan si kakek. "Jagalah dia sebaik mungkin." "Saya akan berusaha sebaik mungkin." Aku pun meninggalkan kakek dengan senyuman percaya diri. Aku pun menyusul Dinda untuk melindunginya dari bahaya sekaligus menemaninya ke perpustakaan.[] Â Â Â Â
"KAU TAK PERLU MENJADI KUAT UNTUK MELINDUNGI SESEORANG YANG SPESIAL BAGIMU. YANG PERLU KAU LAKUKAN ADALAH MENJADI DIRIMU APA ADANYA DAN BERUSAHA KERAS UNTUK MENDAPAT PENGAKUAN DARINYA. MAKA, JANGAN PERNAH SEKALIPUN KAU PATAH SEMANGAT."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H