[caption id="attachment_270103" align="aligncenter" width="432" caption="Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) (foto: KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)"][/caption]
Pesona lelaki bagi seorang perempuan ternyata tidak pernah sama di sepanjang masa. Ada suatu masa para wanita menyukai cowok berperai “alim”, di lain waktu menggemari cowok “slonong boy”, lain waktu menyukai cowok pintar, di lain waktu menggandrungi cowok “metal” dan lain sebagainya. Anehnya terkadang menjadi kebanggaan, bahkan menjadi semboyan dalam pergaulan remaja.
Pernah ada suatu kala (entah kapan? Sepertinya belum begitu lama berlalu) para gadis-gadis amat terpikat pada cowok cool (dingin? Es batu kali). Dan tentu saja, para cewek ini pun punya semboyan: gue banget gitu lho. Cowok cool itu ia sebut sebagai pria idaman yang didefinisikan dengan kalimat pujaan kurang lebih sebagai berikut: “Sopan santunmu menyejukan kalbu, tutur sapamu, hai semanis madu”
Nah apa jadinya jikalau Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sang Wakil Gubernur DKI yang dikenal karena “garangnya” itu, harus memperankan diri sebagai sosok pria yang lemah lembut, bersopan santun, bertutur sapa “semanis madu”. Apa jadinya ya? Apa lantas jadi “pria idaman”. Idaman gadis sepanjang jaman. Nggak mungkin lah. Dan kalau dimintakan komentar kepada salah seorang pemain grup lawak Srimulat, mereka akan menjawab: “Ini hil yang mustahal”.
Orang tua jaman dahulu pernah berujar (jawa): “nek watuk kuwi ono tambane, nek watak kuwi ora ono tambane” (kalau batuk ada obatnya, kalau watak tak ada obatnya). Bukankah watak Ahok, sudah begitu adanya, lugas. Orang bisa menyebutnya keras, kasar atau bisa juga temperamental. Tampilan yang muncul pada diri Ahok, itu bukan suatu hal yang tiba-tiba. Tetapi ditempa oleh waktu dan keadaan. Tidak semua orang bisa menjadi keras, kasar ataupun temperamental. Itu tidak mudah, karena selain membutuhkan keberanian, mentalitas yang tangguh juga yang tak kalah penting adalah kemampuan mengelola perasaan. Kalau kemampuan terakhir itu tidak dimiliki, mudah terseret oleh suasana sentimentil, sendu dan melankolis yang pada akhirnya menghalalkan dispensasi dan permakluman.
Untuk itu mengapa Ahok harus merubah gaya. Bukankah gaya Ahok sudah sesuai untuk saat ini. Dan sepertinya ia terlahir pada waktu yang tepat untuk jamanya, jaman kini. Di tengah banalitas sosial yang dipenuhi oleh perilaku “ndablek” yang masif dan mendarahdaging, diperlukan sosok pendobrak yang tangguh, tegas, lugas dan memiliki stamina yang tidak pernah lelah mengawal “pendobrakannya” itu. Kecaman kepadanya untuk memperbaiki gaya bicaranya adalah retorika belaka, karena bukan soal itu sesungguhnya tetapi soal dispensasi dan permakluman.
Dan apabila Ahok bermain-main dengan dispensasi dan permakluman maka dia sudah melucuti kompetensi personal yang menjadi kekuatan dirinya. Dan membiarkan dirinya terlilit pada lingkaran permakluman demi permakluman dan sulit melepaskan diri. Dalam pepatah jawa disebutkan: “Dikei Ati Ngrogoh Rempelo” (tuntutan dispensasi dan permakluman semakin meningkat). Dan harapan untuk menata Jakarta menjadi lebih baik, bisa hanya sekedar mimpi. Karena absennya kepemimpinan yang kuat, tegas dan tangguh. Untuk mencari sosok seperti Ahok ataupun Jokowi, yang bisa tampil dengan karakternya sekarang ini, dalam iklim perpolitikan yang ada sekarang ini, masih terasa bagaikan mimpi. Untuk itu, tampil lah Ahok apa adanya, tak perlu jadi “pria idaman”. Apalagi, idaman gadis sepanjang jaman......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H