strong>
Pesawat ini semakin jauh terbang, membawaku pulang ke rumah yang sudah lama kutinggalkan. Sudah hampir sepuluh tahun aku merantau ke negeri Sakura, bukan untuk misi atau agenda penting tapi sekedar untuk lari jauh dari kekasih lama yang membuatku hancur. Sebenarnya aku tak ingin pulang, tapi Keiko yang memaksaku untuk kembali ke kota lamaku itu. Keiko, seorang wanita cantik yang aku nikahi sebulan yang lalu. Wanita asli Jepang yang membuatku terpesona, bukan hanya karena kecantikannya tapi lebih karena kebesaran jiwanya dan kesantunan pekertinya, bahkan jauh melebihi gadis-gadis Indonesia yang katanya amat sangat menjunjung tinggi adat santun ketimuran.
Keiko masih terlelap di bahuku. Perjalanan panjang ini membuatnya kecapekan. Memilikinya adalah sebuah kesempurnaan. Ku pandangi wajah ayunya, wajah khas oriental dengan mata sipit dan pipi kemerahan. Rambutnya yang hitam lurus panjang terurai bak bintang iklan shampoo di TV. Dengan kulit putih kekuningan sungguh bagai bidadari yang turun dari kahyangan. Tangan kami tetap berpegang erat sepanjang perjalanan, tak mau dipisahkan. Sesekali kecupan tipis ku hadiahkan di punggung telapak tangannya yang lembut.
---
“Mas, aku ingin berbulan madu ke negaramu.”
“Aku ingin melihat Kota Lama dan Gereja Blenduknya yang kau ceritakan itu. Aku ingin melihat megahnya Borobudur, keramahan Yogyakarta, dan indahnya surga pulau dewata Bali,”rengekanmu di hari kedua pernikahan kita.
Kau rupanya sangat hafal tempat-tempat itu. Ya.. karena sesekali aku memameri kamu akan tempat-tempat indah di negaraku, waktu kita pacaran dulu. Sebenarnya aku sudah tak ingin untuk kembali ke negara dan kota lamaku. Tapi tak kuasa ku menolak pintamu, istri tercintaku. Betapa bahagianya kamu tadi pagi waktu aku hadiahkan sepasang tiket untuk penerbangan ke negeri eksotis Indonesia, tepat di hari ulang tahunmu yang ke-25. Berjingkrak-jingkrak dan terus menciumiku, bagai anak kecil yang dibelikan sepeda baru oleh ayahnya.
---
Pesawat melayang tinggi di atas 6.000 kaki, membawaku melayang pada kenangan di masa silam, saat ku harus meninggalkanmu—Amara. Masih selalu teringat pertengkaran hebat di bulan kedua pertunangan kita. Bukan karena masalah besar, tapi karena sudah teramat besar kemarahanku padamu. Sejak pertunangan kita itu kau selalu saja memantik api amarahku, bukan karena hal-hal yang besar sebenarnya tapi entah kenapa ada-ada saja ulahmu yang membuat aku naik pitam atau cemburu. Hingga akhirnya kemarahanku memuncak ketika aku memergoki kamu berjalan bersama laki-laki lain di bawah temaramnya lampu stasiun Tawang. Oh, betapa hancurnya perasaan laki-laki yang dikhianati oleh wanita yang telah diikatnya lewat cincin pertunangan.
Hari itu aku meninggalkanmu. Di bandara Ahmad Yani, kamu menarik erat tanganku tak mengijinkanku pergi. Air matamu mengucur deras, sederas permintaan maafmu telah menyakitiku. Tapi maaf, aku sudah menutup telinga rapat-rapat atas semua alasanmu.
“Maafkan aku Mas, aku tak bermaksud melukaimu.”
“Maafkan aku yang teramat dalam mencintaimu.”
“Maafkan aku yang salah cara menyayangimu,” tangismu semakin deras di tengah terik panasnya kemarau kota Semarang.
“Tolong, jangan kau pergi Mas..!”
“Dengarkan dulu penjelasanku..”
Semakin kuat saja tekadku untuk meninggalkanmu, tertutup ego yang terlampau besar untuk membuka maafku dan menerimamu kembali.
---
Keiko terbangun mendengar suara pilot dari pengeras suara pesawat. Tiga puluh menit lagi pesawat akan mendarat di bandara Ahmad Yani Semarang. Keiko menyingkap selimut yang menutupi kulit mulusnya.
“Sudah mau sampai ya?” tanyanya dengan wajah lucu.
“Iya, Sayang.. Kota Lama sudah menunggu kita,” kecupan lembut ku daratkan di keningnya.
“Horree.. Keiko sampai Indonesia!” teriaknya mengagetkan beberapa penumpang di samping kami.
Ku sembunyikan kesedihan hatiku harus kembali ke kota ini. Ku tak tega mengurangi secuilpun kegembiraan hati Keiko. Berbulan madu ke tempat yang sudah ia idam-idamkan dari dulu.
---
Pesawat mulai terbang rendah memutari kota Semarang untuk persiapan landing. Sungguh indah kota ini dilihat dari atas. Lautan di sebelah utara membentang luas, sementara daratan di sebelahnya dipenuhi bangunan kecil-kecil dan perbukitan yang membentuk relief mengagumkan. Pesawat mendarat dengan mulus, para penumpang mulai berjalan menuju pintu keluar.
Entah mengapa begitu berat kaki ini melangkah. Ku biarkan Keiko berjalan lebih dulu keluar menuruni tangga pesawat, sambil sesekali mengambil gambar dengan kamera yang di kalungkan di lehernya. Bayangan Amara masih begitu lekat di kepala, sepuluh tahun yang lalu ia melepasku di sini dengan tangisan.
“Ah semoga Amara sudah mendapatkan jodoh terbaiknya,” ku tentramkan hati sambil mengusir wajah Amara dari benak.
Aku masih ingat kata-kata terakhirnya dulu, “Silakan kau pergi mencari bidadarimu, aku di sini juga akan menunggu pangeranku.”
Bandara Ahmad Yani ini masih seperti dulu, lusuh seperti tak ada perawatan dan perubahan sama sekali. Beginikah pintu gerbang kota yang berambisi jadi kota metropolitan ini? Sungguh jauh bedanya dengan bandara tempat kami berangkat tadi. Ah.. betapa malunya aku pada Keiko, karena selalu ku ceritakan keindahan kotaku padanya. Tapi aku bersyukur karena rupanya Keiko tidak merasa terganggu dengan pemandangan di depannya, buktinya ia terus menjepretkan kameranya dari tadi. Mungkin dia heran karena tidak ada tempat seburuk ini di negaranya, hehe..
Aku dorong troli berisi beberapa koper kami menuju salah satu taxi yang sudah siap menunggu. Di sampingku masih ada Keiko yang tak mau lepas dari gandengan. Melewati beberapa deret baris kursi para penunggu di terminal kedatangan. Beberapa dari mereka berdiri berharap cemas ingin segera berjumpa keluarga mereka. Sebagian yang lain menghampiri dan memeluk erat orang yang mereka rindukan datang dari tempat yang jauh.
Tiba-tiba pandanganku tertahan pada seorang gadis yang duduk di kursi pojok belakang. Ya.. Aku masih sangat hafal dengan wajah gadis itu.
“Oh tidak..!! Apakah dia Amara?”
Tapi kenapa dia begitu kurus dan terlihat lebih tua? Namun bekas kecantikannya masih belum hilang. Menunggu siapa dia di sini? keluarganya kah? Atau suaminya kah?
“A..a..Amara?!”
Gadis kurus yang duduk di pojok itu mengangkat wajahnya dan tiba-tiba linangan air mata deras membasahi pipinya.
“Aaa..aa..Alvin….., maafkan aku!”
Oh, ternyata benar ia Amara, mantan tunangan yang aku tinggalkan dulu.
“Mmmm… Mengapa kamu di sini Amara?” tak bisa ku sembunyikan keterkagetanku bertemu Amara di tempat ini.
“Aku menunggumu Alvin, sudah sepuluh tahun aku terus menunggumu.. di sini, di tempat ini setiap hari”
“Apa?!” aku masih tak percaya Amara melakukan itu.
Keiko yang berdiri di sebelahku hanya terbengong karena tidak faham dengan bahasa kita dan kejadian yang di lihatnya.
“Sss.. Siaapa dia Alvin?”
“Oh.. maaf, perkenalkan ini Keiko, istriku.”
Tak sempat Keiko mengajakmu berjabat tangan, tiba-tiba kamu lari menerobos derasnya hujan yang baru datang, diiringi gemuruh guntur yang menggelegar.
---
Di hotel Novotel ini kami sementara menginap untuk beberapa hari kedepan untuk kemudian melanjutkan perjalanan bulan madu kami ke Jogja dan Bali. Keiko masih mandi di kamar mandi, setelah sedikit kehujanan tadi. Ku rebahkan badanku di spring bed hotel, memandang langit-langit. Masih terbayang wajah Amara di bandara tadi.
Oh.. Sungguh tak tega melihat keadaan Amara. Ternyata dia masih mencintaiku, bahkan rela menungguku hingga selama ini. Air mataku tiba-tiba deras mengalir mengingat kejadian demi kejadian bersama Amara. Mengapa aku dulu menutup telinga dari penjelasannya? Mengapa aku tega meninggalkannya dalam kehancuran,.. sendirian?
“Mas nangis ya?” Keiko mengejutkan lamunanku.
“Oh.. Nggak, Mas cuma capek habis perjalanan tadi. Mas mandi dulu ya, habis makan malam nanti kita jalan-jalan ke Kota Lama,” kurebut handuk yang masih melingkari tubuhnya.
“Iih.. Mas nakal!!”
---
Lampu temaram menyelimuti jalanan berpaving di sekitaran Kota Lama, menambah eksotika bangunan kuno di sekitarnya. Kami berjalan berdua menikmati udara kota Semarang yang segar setelah diguyur hujan sore tadi. Wajah bahagia begitu jelas terpanjar di wajah Keiko. Sesekali dia mengabadikan setiap sudut kota yang kami lewati. Tak lupa momen romantis kita juga tak luput dari jepretan kameranya. Para tukang becak seakan iri melihat kemesraan kita.
“Mas boleh nggak Keiko potret mas sendirian? Ini yang terakhir karena baterai kamera Keiko habis. Pokoknya ini yang paling T-O-P deh!”
“Oke,” jawabku spontan.
Aku mengambil sudut terbaik di depan pintu Gereja Blenduk. Keiko berjalan mundur sambil mencari fokus terbaik kameranya.
“Jangan terlalu jauh mundurnya!”, teriakku.
“Biar dapet semua sudutnya mas!”, elakmu.
Tiba-tiba sebuah angkot Daihatsu warna orange melaju kencang menuju arah pasar Johar, menerabas tubuh Keiko sekencang-kencangnya.
“Bruaaaaaaaaagkk…..!!!!!”
---
Air mataku masih basah dari tadi, entah karena duka atau bahagia. Setelah kepergian Keiko seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk mengakhiri kesedihan dengan menikahi Amara. Ijab Qabul baru saja dilaksanakan, diiringi kegembiraan dari wajah Amara dan keluarganya. Akhirnya pengorbanan penantian Amara dijawab oleh Tuhan dengan kebahagiaan.
“Maafkan Amara Mas, Amara janji tidak akan membuat mas Alvin marah lagi. Tujuanku membuat Mas marah atau cemburu dulu hanya untuk menarik perhatian Mas dan menguji seberapa besar keseriusan Mas mempersunting Amara. Tapi ternyata berbuah kesedihan panjang. Tapi Amara ikhlas menerimanya, karena itu semua salah Amara.”
“Bukan kamu yang salah Dik, tapi mas Alvin yang tidak bisa membaca ‘bahasa’ cintamu.”
Temaram lampu kamar dan semerbak wangi melati menjadi saksi berkumpulnya dua hati yang terpisahkan karena ego dan bahasa cinta yang disalahtafsirkan.
[19/3/2013 | 09.46]
*) Maaf penulis belum bisa berbahasa Jepang :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H