Mohon tunggu...
Acis S Syafi
Acis S Syafi Mohon Tunggu... -

OTW to the light

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terminal Harapan

11 Mei 2012   01:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bis antarkota ini terus berlari, menerobos derasnya hujan meninggalkan kotamu. Dari balik jendela rintik hujan riang menari Shuffle, menertawakan diriku. Hentakan rintiknya bagai berondongan peluru meneror hati yang telah tercekam. Kutinggalkan segala kenangan di kota itu, juga dirimu. Tubuhku pasrah berebah di sofa bis Nuswantara yang tak lagi empuk seperti ketika berangkat. Terkoyak tubuh ini digoyang hentakan badan bis yang tak stabil lajunya. Aku sudah rindu hangatnya rumah, aku rindu belaian ibu, bukan lagi pelukmu.

Salahkah aku jika mengemis sayangmu? Salahkah aku jika mengetuk pintu kasihmu yang dulu telah kau bukakan untukku? Permintaanku cukup sederhana, jangan dulu tambahkan titik pada kalimat yang telah kau buat. Ku ingin melanjutkannya, merangkainya menjadi cerita indah hingga senja tiba. Setiap malam ku hanya berharap bisa jadi penerang gelapmu, penghangat dinginmu, atau teman sepimu, tak lebih dari itu. Setiap pagi menyapa ku hanya ingin menghadirkan secangkir kopi hangat kesukaanmu lalu menikmati senyummu sekali lagi, sebelum kau berangkat mencari penghidupan. Ku hanya memintamu dengan permohonan sederhana, jangan tambahkan titik di cerita yang baru saja kita tulis.

Kini kau tak lagi kuat mengangkatku di kala lemah, menjadi sandaran saat ku tertunduk, mengusap air mataku di kala jatuh. Di mana keperkasaan yang kau tunjukkan dulu? Di mana kekuatanmu yang setegar batu? Kini kau telah rapuh,lunglai tersungkur karna kungkungan pengaruh. Kau kini bagaikan wayang yang dipermainkan bukan oleh dalang, tapi oleh teriakan penonton. Kau hanya membebek dan tak tahu arti suara yang kau keluarkan dari celotehanmu. Apakah kau telah amnesia atau terenggut alzheimer hingga kau tanyakan lagi...

“Memangnya kamu siapa?”

Perlukah ku jawab pertanyaan itu, bukankah hanya menguras tenagaku? Aku seperti orang asing yang mencari suaka di keluarga kerajaan tak beristana.

“Kamu tak perlu tahu siapa aku, karena seluruh identitas kehidupanku sudah kau bakar di halaman rumahmu.”

“Tak perlu lagi kau menulis titik di kertas yang sudah kau bakar!”

Deras hujan tak mampu lagi mendinginkan hati yang sudah terbakar hangus. Laju bis semakin kencang sekencang alunan lagu Sheila on 7 yang diputar dari telefon genggam seseorang yang duduk di kursi belakang.

“Aku pulang tanpa dendam,.. kuterima kekalahanku…”

Syair lagu itu mengisi seluruh ruangan bus yang lengang ditinggalkan keriuhan penumpang yang terlelap di tengah dinginnya hujan.Ya, aku pulang tapi bukan karena kalah perang tapi karena sudah saatnya menjemput kemenangan bersama hati yang lain. Masih ada kebahagiaan yang tersisa di tengah derasnya hujan dan air mata.

Aku bahagia karena tak harus lagi menjawab pertanyaan tanpa kunci jawaban, “Memangnya kamu siapa?”

Selembar tissue lembut tersodor di hadapan. “Silakan!”, terdengar suara santun penuh wibawa.

Seorang pemuda berbaju putih mengisi kursi kosong di sebelah yang baru saja ditinggalkan pemiliknya. Tanpa banyak keluarkan kata, tapi aura keshalihan terpancar dari wajahnya yang teduh.

“Semoga Mbak baik-baik saja”

Perhatiannya menembak tepat di titik jantungku. Perhatian dan pengertian yang sama sekali tak pernah ku dapatkan.

Bis melaju perlahan di depan traffic light terminal Telomoyo. Di terminal inilah kita berpisah dan dari terminal ini kita melanjutkan perjalanan menuju Terminal Harapan. Malam-malamku kini tak lagi gelap karena terangmu, tubuhku tak lagi dingin dengan hadirnya hangatmu. Pagiku tak lagi sendiri karena ada kamu yang menemaniku menikmati secangkir kopi. Di sini di Terminal Harapan, bersamamu, pria berbaju putih.

[Teruntuk teman yang dihancurkan pertanyaan]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun