Mohon tunggu...
Akhmat Rodikhin
Akhmat Rodikhin Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa IAIN Pekalongan

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Critical Thinking di Era Revolusi Industri 4.0 Menurut Pandangan Filsafat

15 Juli 2021   11:50 Diperbarui: 15 Juli 2021   12:12 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat adalah sebuah ilmu pengetahuan dimana logika, metode, dan sistem digunakan untuk mengkaji masalah umum sampai mendasar mengenai berbagai upaya jenis persoalan.

Salah satu upaya yang dapat di lakukan adalah dengan meningkatkan kualitas yang berfokus pada pengembangan keterampilan dan kemampuan berfikir kritis (critical thingking).
Berfikir kritis dapat di kembangkan melalui pembelajaran agar terbiasa menghadapi tantangan dan memecahkan masalah dengan menganalisis pemikiranmya sendiri.
Filsafat dalam membangun critical thinking di era revolusi industri 4.0 sangat berperan penting dalam pengembangan keilmuan teknik industri. Revolusi industri 4.0 merupakan perkembangan pada abad 21 di dunia yang di tandai dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi segi kehidupan termasuk proses pembelajaran .
Kolaborasi ini sangat penting untuk meningkatkanbsumber daya manusia pada abad ke 21 kehidupan upaya salah satunya dengan cara mengembanngkan keterampilan yang berfokus pada pendidikan kemampuan berfikir kritis. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan yang terbentuk menjadi pribadi yang tangguh, mampu bertindak secara kritis, cermat, efektif dan efisien.
Di era saat ini, kita dituntut untuk berubah. Semua orang khususnya mahasiswa/mahasiswi dituntut mempunyai karakter, kerja keras, dan kompetensi. Salah satu kompetensinya yaitu berpikir kritis. Berpikir kritis, kreatif, dan juga mempunyai kemampuan komunikasi dan kolaborasi. Kita sebagai mahasiswa/mahasiswi dituntut selalu berpikir kritis baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Dalam filsafat kita diminta untuk berpikir secara mendasar dan juga berpikir secara sistematik.
Dalam masyarakat, kritis diartikan suka mencari kesalahan orang lain atau suka mendebat, padahal pandangan ini sangat keliru. Kritis tidak bermakna kita selalu mencari kesalahan-kesalahan orang lain, mengajak orang berdebat. Kritis disini bermakna berpikir secara teliti, cermat dan seksama. Filsafat mempunyai sumbangan penting dalam mengasah berpikir kritis, bukan hanya filsafat tetapi ilmu-ilmu yang lain juga.
Oleh karena itu, filsafat dan disiplin ilmu yang lain bekerja sama dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Namun tidak semua ilmu filsafat yang kita pelajari itu membantu kita untuk memahami dunia ini. Secara umum, filsafat memang dianggap mampu mengambil peranan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, dan karena itu sangat berguna untuk tarbiyah. Tapi, kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak aliran filsafat tetapi tidak semuanya betul-betul berfaedah. Mengapa? Karena sebagian corak filsafat yang berkembang dewasa ini sudah keluar dari khittahnya, yakni sebagai sarana bagi pencari kebijaksanaan dan pecinta kebenaran.

Praktik filsafat modern mainstream itu tidak membawa kita kepada cinta kebijaksanaan melainkan benci kebijaksanaan. Sebagai contoh, ada orang yang mengatakan "tidak ada kebenaran, kebenaran hanya ilusi" atau "tidak ada realitas dunia kecuali dalam benak manusia". Jika ada skandal dalam filsafat, maka skandal terbesar dalam filsafat adalah yang keluar dari khittahnya. Nah, pemikiran yang semacam ini sangat tidak membantu kita memahami dunia. Corak pemikiran ini disebut irealisme, yaitu filsafat yang menolak adanya realitas diluar diri manusia dan jika ada skandal dalam filsafat, maka skandal terbesarnya adalah keluar dari khittahnya itu atau keluar dari pencarian atau makna pencarian kebijaksanaan utuk meraih kebenaran. Mari kita keluar dari "misosophia" semacam itu, dan kembali pada "philosophia" yakni ikhtiyar untuk mencari kebijaksanaan dan meraih kebenaran. Hasil iktiyar epistemik ini bisa keliru, karena orang itu juga dituntut untuk punya "intellectual humility."
Dunia ini real, dunia ini nyata tidak sebagaimana yang disampaikan oleh sebagian filusuf yang mengatakan dunia ini tidak ada yang ada hanya pikiran kita tentang dunia. Orang-orang tersebut biasanya disebut dengan kaum sufis. Kaum sufis adalah kaum yang pandai berbicara untuk mencari uang, untuk mencari jabatan, sehingga yang dicari bukanlah kebenaran melainkan jabatan atau uang. Dunia ini real contohnya saja virus corona, virus ini real. Kenapa bisa disebut real? Karena virus tersebut dapat diindera atau memiliki efek. Kita bisa menyebut sesesuatu sebagai real karena (1) bisa diindera, dan/atau (2) punya efek. Yang punya efek tidak selalu bisa diindera. Misalnya cinta, cinta tidak bisa diindera/dilihat tetapi memiliki efek saat kita merasa mencintai. Misal adalah Tuhan, Tuhan tidak bisa diindera namun bisa dirasakan efeknya. Dunia ini merupakan efek dari keberadaan Tuhan. Jadi, arti penting artinya kita menyadari keberadaan kita di dunia ini saat berpikir. Kita mesti punya kepekaan. Karena itu bagian dari dunia ini dan menghadapi dunia ini, saat berpikir juga harus benar-benar memperhitungkan realitas dunia ini. Dunia ini real dan kita tidak bisa menyangkalnya.

Berpikir di dunia ini berarti kita menyadari bahwa pikiran kita (a) akan dikonfrontasikan dengan realitas, atau diuji di hadapan realitas, dan (b) akan punya efek-efek atau dampak-dampak seajuh sang pemikir dan orang-orang yang lain juga mempercayainya dan membimbing tindakan mereka di dunia. Inilah mengapa berpikir juga menuntut suatu tanggung jawab. Maka dari itu kita harus berhati-hati ketika menyampaikan pemikiran kita terhadap orang lain, karena bisa jadi orang itu percaya dengan pemikiran kita. Untuk berpikir di dunia dan tentang dunia ini, kita bisa belajar dari praktik para imuwan atau saintis sebagaimana yang direnungkan oleh para filsuf, khususnya filsuf sains.

Para filsuf berpikir di dunia ini, dan sebetulnya juga berpikir tentang dunia ini. Hal ini yang sama dilakukan oleh para ilmuwan. Para ilmuwan ketika melakukan penelitian semata-mata hanya untuk memahami dunia, buka untuk mencari kebijaksaan. Sedangkan filusuf memahami dunia itu untuk mencari kebijaksaan. Filusuf bisa dibagi menjadi 2 yaitu filusuf modern murni dan filusuf modern klasik artinya dia mengkombinasikan antara filsafat modern dengan filsafat klasik. Menurut renungan para filusuf ada dua corak ilmuwan dan dua corak filusuf. Pertama, ilmuwan yang semata-mata menyelidiki dunia ini untuk memahaminya. Kedua, ilmuwan yang menyelidiki dan memahami dunia ini untuk mencari kebijaksanaan.

Terdapat filsafat yang keliru dan sains yang keliru. Lawan dari kedua hal tersebut ialah filsafat sejati dan sains sejati. Mengapa kita harus mampu untuk berpikir kritis melalui sains? Karena dalam praktek berpikir kritis itu ada dalam sains dan juga ada dalam filsafat. Sains sebenarnya adalah kelanjutan dari praktek hidup kita sehari-hari. Misal, jika kita terjun dari lantai empat dari suatu gedung maka kita akan meluncur kebawah dan menghantam bumi. Hal ini juga dibenarkan oleh sains. Sains mustahil ada jika tidak ada mansia yang menyelidiki dan sains mustahil ada jika tidak ada dunia yang diselidiki sebagaimana hidup kita sehari-hari. Apa sebetulnya realitas yang diselidiki oleh sains? Sangat penting bagi kita untuk memahami realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun