"Lalu apa kita diam saja? Pasrah, tidur tidak bermimpi. Aku ingin bermimpi, pak. Mimpi apa saja. Tidur tidak bermimpi kurang nyaman. Ibarat tanaman tidak berbunga dan berbuah? Kasihan juga anak-anak kita. Tidak pernah lagi merasakan mimpi. Mimpi basah pun sudah disantap para iblis itu?" kata istriku.
       Aku diam saja. (Benar juga kata istriku, kami harus berbuat. Kami harus memiliki mimpi!).
      "Kita harus meninggalkan kota ini Pak. Meskipun ini kota kelahiran kita,'' suara istriku lagi.
      "Maksudmu kita harus pindah dari kota kita ini untuk mendapatkan mimpi, agar mimpi tidak dimakan iblis?"
      "Iya. Tidak ada salahnya kita mencoba tinggal di kota B, Pak. Bukankah di kota B tidak ada penambangan batu bara?"
      Aku diam. (Apa salahnya dicoba. Bukankah iblis-iblis pemakan mimpi itu muncul dari lubang-lubang bekas galian tambang batu bara. Sedangkan di kota B tidak ada tambang batu bara).
      "Atau bilapun tidak ingin pindah rumah ke kota B, paling tidak seminggu sekali kita menginap ke kota B, Pak," suara istriku lagi.
      "Baiklah,'' kataku. "Kita harus mencobanya. Hari Sabtu kita menginap semalam di B. Memang sudah lama juga kita tidak jalan-jalan ke kota B. Aku juga tidak ingin setiap tidur tidak ada mimpi apa-apa".Â
Diskusi aku dan istriku berakhir, dengan keputusan hari Sabtu, kami sekeluarga akan mencari mimpi ke B. Bila pun di kota B, mimpi sebagai bunga tidur tidak juga kami dapatkan, maka kami akan mencarinya di kota C.
                                   Â
                                    ***