Apa yang harus dilakukan oleh seorang dokter yang peralatan operasinya sangat terbatas untuk secepatnya melakukan operasi cesar pada ibu yang akan melahirkan di Belantara Digoel? Tampaknya tiada lain, melakukan operasi cesar dengan silet! Demikian yang mengemuka dalam film ‘Silet di Belantara Digoel Papua’. Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata dokter yang menantang maut di belantara Digoel Papua sekitar tahun 1990-an.
“Ide awal film ‘Silet di Belantara Digoel Papua’ muncul dari sutradara Ipong (panggilan akrab FX Purnomo) setelah membaca buku berjudul “Papua; Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa” yang didalamnya ada kisah nyata pengalaman seorang dokter di pedalaman Boven Digoel Papua yang mengadakan opearsi cesar dengan menggunakan silet, “ kata dr. John Manangsang kepada Moviegoers di Hotel Mega, Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015).
Lebih lanjut, dokter yang juga menjadi produser film, menerangkan, bahwa pembuatan film tersebut, muncul setelah ada penawaran untuk ikut lomba film pendek yang diadakan oleh Departemen Kesehatan RI. “Dari membaca buku itu dan tawaran untuk ikut lomba film pendek itu menarik dan bisa difilmkan maka diproduksi film ini, “ terang John Manangsang .
Menurut John Manangsang, ia sebagai pelaku sejarah, membeberkan manfaatnya produksi film tersebut yang mengangkat kejadian itu 25 tahun yang lalu untuk hari ini dan masa depan. Pertama, fakta membuktikan dari 25 tahun lalu dengan tahun sekarang, bahwa di Papua angka kematian ibu dan bayi sekarang semakin tinggi dan menduduki rangking nomer satu di Indonesia. Padahal, kalau kita lihat jaman dulu, tenaga dokter spesial ibu dan anak belum banyak di Papua di satu propinsi bisa dihitung dengan jari hanya satu-dua dokter. Sekarang di tiap kabupten ada satu hingga empat dokter. Rumah sakit sekarang ada dimana-mana.
“Memang hampir seperti tidak ada korelasinya, dalam buku itu yang diangkat jadi film ini menceritakan pergumulan dan perjuangan dokter muda yang ditempatkan di puskesmas pedalaman Papua, yang berupaya menyelamatkan dua nyawa, yakni ibu dan bayinya. Pertaruhan yang luar biasa. Bukan hanya hidup mati pada pasiennya, tapi juga hidup mati dokternya karena kondisi hutan dengan tidak ada bius untuk operasi, peralatan terbatas, tidak ada tenaga dokter yang memadai jadi melakukan operasi cesar dengan memakai silet, “ ungkapnya mengenang.
Waktu yang ada memang habis hanya untuk mengumpulkan alat-alat sampai memutuskan untuk operasi sekitar empat jam sehingga resiko tak bisa menyelamatkan ibu maupun bayinya. Resiko, dokternya bisa dianggap mal praktek atau dari berbagai sudut pandang. Masalahnya, bukannya bisa atau tidak, tapi juga berani atau tidak. Karena prakteknya di tengah hutan belatara. Bisa saja berani tapi dokternya baru tamat pendidikan. “Ada pergumulan yang panjang dan kompleks demi kemanusiaan dan menyelamatkan ibu dan anak, kita berburu dengan maut. Karena terlalu lama persiapannya jadi bayinya meninggal, atau bisa dua-duanya. Kita berusaha agar dua-duanya, ibu dan bayi harus terselamatkan. Demikian gambaran dokter jaman dulu dengan dokter jaman sekarang, keadaannya seperti itu, “ paparnya.
Film ini tidak hanya mengangkat kisah dokter, tapi juga mengingatkan kita pada kejadian yang memilukan di Boven Digol yang dulu jadi tempat pejuang-pejuang kita, seperti Bung Sjahrir dan Bung Hatta, yang pernah dibuang di Boven Digol sebagai tahanan politik. Bahkan ada ratusan pahlawan yang dimakam di di Boven Digol. “Papua menjadi tanah bersejarah para pejuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, “ ucap John Manangsang tampak begitu sangat bersemangat dan heroik sekali.
Ketika ditanya mengenai poster film yang memperlihatkan Semar menabuh tifa Papu? Dengan tenang John Manangsang menjawab, bahwa hal ini bisa menjadi bahan perenungan kita untuk evaluasi kenapa sampai sekarang ini orang Papua ingin memerdekaan diri? Selama ini pendekatan yang dilakukan Pemerintah tidak dengan cara jitu. Caranya masih kekerasan yang itu tentu kurang efektif. Padahal, Indonesia untuk mendapatkan papua dilalui dengan perjuangan panjang penuh pertumpahan darah, jiwa raga, tapi begitu sudah mendapatkan kok menyakiti. Ibarat lelaki mempersunting Papua, karena disakiti jadi minta dicerai.”
Poster film produksi PT. FOROMOKO Matoa Indah Film ini ada gambar Semar menubuh tifa Papua, bagaimana bagus tidaknya tentu tergantung yang menabuh, kalau mampu menabuh dengan bagus dan tulus, tentu tifanya akan berbunyi merdu dengan nilai tersendiri. “Ke depan pendekatan Papua lebih cocok tokoh seperti Semar yang datang ke Papua. Semar adalah tokoh yang disegani, rendah hati, pengayom. Jadi pendekatan sosiologi budaya. Tokoh model yang seperti inilah yang cocok, seperti Gus Dur. Jadi Papua tidak merengek ingin merdeka atau minta cerai, “ katanya.
“Orang Papua itu lugu dan baik hati, badan keras tapi hatinya baik hati. Tapi sebaik-baiknya orang yang baik hati kalau diperlakukan tidak baik jadi akan melawan. Kalau ada perhatian dari pemerintah, terutama Departemen Kesehatan RI, mungkin akan banyak ibu yang melahirkan terselamatkan di Papua, “ pungkasnya penuh pengharapan. (Akhmad Sekhu)
[caption caption="Foto: PT. FOROMOKO Matoa Indah Film"][/caption]