Predator seksual, melihat kekuasaan yang mereka miliki sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi korbannya.Â
Ketika mereka melakukan serangan seksual, mengintimidasi, dan memaksa korbannya, mereka tahu persis apa yang mereka lakukan.Â
Ada semacam kesenangan yang luar biasa ketika mereka memiliki kendali dan kekuatan yang cukup untuk menaklukkan korbannya.
Pertanyaannya adalah mengapa beberapa orang tergoda menyalahgunakan kekuasaannya untuk merugikan orang lain?Â
Karakteristik tersebut disebut banyak penelitian sangat berhubungan erat dengan sifat narsistik patologis (Mouilso & Calhoun, 2015; Widman & McNulty, 2010).Â
Orang narsis merasa berhak atas apapun yang dia inginkan, sesuatu yang membuat mereka lebih mudah merasionalisasi perilaku agresif dan terkadang illegal.Â
Mereka bahkan mungkin tidak menganggap tindakan mereka sebagai eksploitatif, tetapi lebih sebagai menerima semacam penghargaan yang layak dan pantas mereka terima atas tindakan mereka.
Merasa unik dan berhak atas apapun yang dia inginkan memandu seseorang untuk mematikan empati kepada orang lain. Para predator mungkin tahu konsekuensi tindakannya terhadap korban, namun mereka sengaja mematikan pengetahuan tersebut.Â
Mereka tidak peduli akan dampak bagi korban akan tindakannya. Bahkan dalam banyak kasus, pelaku kejahatan seksual dapat membalik tombol itu (dampak) untuk mengeksploitasi korbannya, hanya untuk merasa bersalah dan malu yang luar biasa setelahnya.
Jangan pula dianggap pelaku kejahatan seksual tidak memiliki pengetahuan tentang moral, benar dan salah.Â
Kita bisa melihat sebagian dari mereka memiliki pengetahuan mumpuni, seperti guru, dosen, oknum penegak hukum, dan pengasuh boarding school.Â