Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kembalinya Liga 1 dan Kesehatan Mental Kita

9 November 2020   12:05 Diperbarui: 10 November 2020   08:35 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diadobsi dari stiker.id

Sebagai sebuah tontonan, olahraga profesional secara langsung mengikat para penggemar dan penontonnya dalam kehidupan khusus, mulai perasaan memiliki, berdiskusi, terhubung dengan oranglain, berkomunitas sampai luapan berbagai emosi saat menontonnya.

Nasib bergulirnya kembali kompetisi sepakbola nasional samar-samar mulai terlihat. Otoritas telah menetapkan Februari-Juli 2021 sebagai waktu untuk menyelesaikan kompetsisi yang tertunda akibat pandemi. 

Pro dan kontra tentu saja menjadi bumbu atas dikeluarkannya surat PT. Liga Indonesia Baru (LIB) Nomor 394/LIB-KOM/XI/2020. Banyak pihak menyambut baik keberanian PT. LIB mengembalikan kompetisi, namun sebagin juga memberikan kritik tajam. 

Diantaranya PT. LIB dianggap tidak menyiapkan protokol yang jelas, banyak klub yang tidak siap sampai tudingan bahwa kompetisi digelar untuk memenuhi tuntutan kewajiban pada pihak sponsor liga. 

Tulisan ini tidak hendak memberikan keruwetan pro dan kontra dalam hal kebijakan dan teknis, namun saya akan memberikan perspektif dampak psikologis olahraga sebagai tontonan.

Olahraga, sebagai tontonan

Keputusan LIB menggelar kembali Liga 1 memang belum jelas kaitannya terkait protokol kesehatan, terutama mengenai apakah pertandingan kelak akan memperbolehkan supporter datang langsung ke stadion. 

Jikapun supporter tidak diperbolehkan datang ke tribun, saya yakin semua supporter sepakat bahwa olahraga (dalam hal ini sepakbola) mengikat mereka dalam sebuah emosi khusus, bahkan penting bagi kehidupan. Terlebih penghentian olahraga disebut memberikan dampak besar bagi kesehatan mental atlet yang terlibat di dalamnya.

Semua ahli telah bersepakat bahwa olahraga dapat memberikan keuntungan bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Namun, para ahli masih belum menemukan kesepakatan bahwa olahraga sebagai tontotan dapat memberikan dampak serupa dengan berolahraga secara langsung. 

Meskipun begitu, sebagai sebuah tontonan, olahraga professional secara langsung mengikat para penggemar dan penontonnya dalam kehidupan khusus, mulai perasaan memiliki, berdiskusi, terhubung dengan oranglain, berkomunitas sampai luapan berbagai emosi saat menontonnya.

Merasa kembali normal

Kompetisi olahraga merupakan bagian nyata dalam kehidupan penggemarnya. Menonton secara langsung ataupun hanya melihat cuplikan pertandingan melalui televisi dan internet serta media sosial merupakan salah satu kegembiraan bagi penikmat sepakbola. 

Setelah sekian lama terhenti, kembalinya olahraga sebagai tontonan memberikan semacam perasaan kembali ke keadaan normal. Penggemar akan merasa kehidupan telah kembali seperti sebelum adanya pandemi. Khusus bagi Liga 1, sore hari dan malam hari pada hari-hari pertandingan akan kembali menjadi waktu yang ditunggu nongkrong di depan TV.

Bagi penggemar yang terdampak langsung dengan pandemi, terutama pekerjaannya, menonton kembali pertandingan olahraga bisa jadi akan menjadi cara untuk melarikan diri --- meski hanya sebentar --- dari isolasi, kecemasan, dan stres hidup dalam pandemi. Olahraga akan menjadi semacam penenang sementara dari tekanan kehidupan sosial semasa pandemi.

Secara tidak langsung, menonton olahraga juga memberikan persuasi bahwa olahraga adalah hal yang penting bagi kesehatan kita, etrlebih selama pandemi. Besar kemungkinan ruang-ruang sosial (lapangan bola, futsal atau perkebunan dan persawahan kosong) akan kembali ramai saat sore hari. 

Anak-anak, orang muda sampai dewasa akan kembali ingin meniru aksi-aksi yang mereka dapatkan dalam pertandingan di TV. Teriakan GOOOLLL sungguh melegakan bagi siapapun penggemar sepakbola di dunia ini.

Terikat dan terhubung kembali

Gambar diadobsi dari stiker.id
Gambar diadobsi dari stiker.id
Tak dapat disangkal, kompetisi olahraga professional (termasuk Liga 1) melibatkan penggemarnya kembali pada perasaan terikat. Ikatan perasaan sebagai penggemar salah satu klub, dan merasa terikat dengan penggemar lainnya. Ikatan ini akan melibatkan semacam perasaan terhubung kembali dengan dunia. 

Obrolan santai baik secara langsung maupun melalui medsos akan melibatkan kembali perbincangan sepakbola. Di kantor, di warung kopi, di rumah ataupun secara online akan kembali diwarnai dengan bola. Tentunya melibatkan humor dan perasaan gembira selama kompetisi.

Olahraga secara tidak langsung juga menghubungkan kita pada komunitas tertentu. Aremania, Bonekmania, Jakmania, Bobotoh dan lainnya merupakan ikatan psikologis antar pendukung bola. Kita memiliki identitas sosial yang sama, merasa Biru, Merah, Hijau, Orange dan lain sebagainya. Merasa berada di suatu tempat meskipun berjauhan. 

Orang Padang akan merasa pulang kampong saat menonton Semen Padang. Orang Papua, Surabaya, Jakarta, Makassar dan lainnya yang sedang dalam perantauan selalu merindukan tim asal daerahnya bertanding dan merasakan untuk sesaat mereka tengah berada di kampong halamannya.

Selain itu, mengenakan jersey klub adalah kebanggaan bagi supporter. Terlebih dapat mengenakannya di kota dimana persaudaraan antar supporter terjalin. Anggukan, senyuman, komentar bahkan jamuan antar supporter memberikan perasaan bahagia yang tidak terelakkan. 

Terlepas persaingan antar supporter yang terkadang berdampak kerusuhan, nyatanya ikatan perasan menjadi salah satu pendukung klub memberikan dampak yang bukan hanya bersifat individu, tapi juga dampak sosial ekonomi. Penjualan jersey dan pernak-pernik klub akan kembali bergeliat berbarengan dengan bergeliatnya kompetisi.

Bagaimana dengan kesehatan atlet?

Mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan para atlet harus menjadi inti dari setiap diskusi tentang kembali ke kompetisi olahraga, termasuk Liga 1. Pun juga kesehatan dan keselamatan orang-orang yang membantu berjalannya kompetisi, mulai staf, sampai petugas stadion. 

Selain protokol kesehatan yang ketat, pendampingan secara psikologis kepada semua atlet juga dibutuhkan untuk menghalau perasaan khawatir saat bertanding.

Karena tidak mungkin pertandingan bola tanpa kontak fisik. Itu artinya, kehadiran psikolog dan konselor sangat dibutuhkan dalam era baru kompetisi selepas jeda pandemi. 

Jika hal ini tidak dapat dijamin ileh PT. LIB dengan pasti dan transparan, maka saya rasa kita akan diajak untuk menyantap resiko secara mentah-mentah.

Di tengah semua tantangan, mengembalikan Liga 1 dalam "bentuk yang berbeda" tetap akan menawarkan sebuah  harapan, kelegaan, atau sekadar jalan keluar saat kita bersama-sama terus berusaha menemukan jalan ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun