Pertandingan minggu (12/5/2019) mungkin akan menjadi penanda baru supremasi Guardiola. Ya, hanya dia. Manager yang menyadari tiap detil taktiknya. Ia menyadari filosofi taktik tidak akan cukup pada sepak bola modern. Pep ingin melindungi warisan taktiknya. Ia menyadari perlindungan terbaik hanya lewat tropi. Back to back Liga Inggris sudah. Manchester City selangkah lagi menuju ambisi utamanya, menguasai Eropa. Tapi, ada satu pengecualian atas cerita dominasi City dalam dua musim terakhir.
Para pemain City tidak mendapatkan penghargaan individual. Tahun lalu Mohamed Salah mendapatkannya. Rekan setimnya, Virgil van Dirk kembali membawa penghargaan tersebut ke Anfield. Meskipun, Sterling memenangkan penghargaan pemain versi Asosiasi Penulis Bola, namun itu bukanlah penghargaan mayor. Ini aneh. Namun, bisa menjadi hal yang tidak aneh jika kita melihat dari filosofi sepak bola.
City bermain sebagai sebuah kekuatan tim. Tidak ada yang lebih menonjol. Tidak ada figure menonjol. Tidak ada ketakutan ketika sang dominan cedera. Sedangkan Liverpool mungkin tidak seperti itu. Insiden Sergio Ramos melegitimasi ketergantungan The Kop dengan Salah. Tahun ini, absennya van Dirk selalu merepotkan Klopp.
Manchester City adalah klub yang dibangun dengan cara yang berbeda. Kemenangannya bukan disebabkan oleh seseorang di lapangan, melainkan oleh orang yang ditempatkan taktik disana. Tidak peduli berapa banyak pemain berkualitas nan mahal yang dimiliki. Tidak peduli apa yang mereka capai, mereka akan selalu dalam bayangan sosok besar. Lelaki bernama Josep Guardiola Sala.