Saat menunggu anak pulang sekolah di gerbang sekolah, saya mendengar sekelompok ibu-ibu tengah asyik membicarakan perilaku anak yang disebut mereka sebagai anak yang ngelamak. "Kemarin pas marah itu mamanya dipukul pakai sendal di depan kita-kita loh bu", begitu kata salah satu ibu-ibu menguatkan argumen bahwa anak tersebut susah diatur.
Sebagai anugerah, semua anak harus kita yakini sebagai sesuatu yang terbaik untuk setiap keluarga. Nyatanya, banyak sekali orangtua yang mengeluhkan perilaku anak-anak mereka, mulai dari susah diatur, sampai melawan orangtua.Â
Bahkan banyak di antara mereka yang terjebak pada kondisi frustasi dan pasrah bongkokan (menyerahkan begitu saja anak-anak mereka) pada pihak sekolah.Â
Ketika kondisi tersebut terjadi, tidak jarang pihak sekolah juga kelabakan mencari solusi. Jika dibiarkan, mereka takut perilaku tersebut mempengaruhi siswa yang lain, tapi jika diberi tindakan, orangtua tidak bisa lagi dijadikan mitra.
Tentang kesehatan dan kecakapan emosional
Sama seperti manusia lainnya, saya rasa setiap anak ingin merasa baik. Persis seperti kita (manusia dewasa) anak-anak juga merasakan bahwa mengontrol diri sendiri bukanlah urusan yang mudah.
Jika kita yang dewasa saja masih sering mendapatkan diri kita dalam kesalahan ketika mengekspresikan emosi, apalagi para manusia kecil yang ada di rumah kita.
Orangtua bisa saja memilihkan sekolah terbaik buat anak-anak mereka, namun apakah itu merupakan jaminan jika mereka tidak diperlakukan sebagai "manusia" saat di rumah?Â
Berhentilah menempatkan sekolah (pastinya guru-guru di sana) sebagai dewa penyelamat anak-anak kita. Mereka tidak akan mampu mengembangkan potensi dan kepribadian anak-anak kita secara optimal tanpa ada kerja sama yang produktif dengan orangtua.
"It is our responsibility to learn to become emotionally intelligent. These are skills, they're not easy, nature didn't give them to us---we have to learn them" begitu ahli psikologi, Paul Ekman berkata tentang kecakapan dan kecerdasan emosi.Â
Selain sebagai tugas setiap manusia, kecerdasan emosional disebut Ekman sebagai kecakapan/keterampilan. Tidak ada satupun keterampilan yang tidak bisa dipelajari. Itulah kata kuncinya.Â
Jika kita bersepakat dengan itu, artinya kita wajib menjadikan pengasuhan sebagai taman belajar bagi anak-anak kita untuk mendapatkan kecakapan tersebut.
Menilik laman casel.org, kemampuan sosial-emosional nyatanya dapat diajarkan dengan mengidentifikasi lima kompetensi dasarnya. Mulai dari bagaimana mengajarkan anak untuk dapat mengidentifikasikan emosinya, lalu mengaturnya. Bahwa marah, senang, sedih, terkejut, takut dan nikmat itu memang ada dan dimiliki semua manusia.Â
Masalahnya adalah apakah anak kita tahu bahwa mereka sedang marah (identifikasi)? Apa yang harus mereka laukan ketika marah (kontrol)? Jadi, alih-alih balik memarahi mereka saat mereka melampiaskan kemarahannya, harusnya kita justru membimbing mereka untuk mengidentifikasi kemarahan tersebut.
Apakah mengidentifikasi dan mengontrol saja cukup, menilik laman casel.org, masih terdapat tiga kecakapan lagi yang harus dikuasai anak menuju kesehatan sosial-emosional.Â
Langkah ketiga adalah kemampuan memahami lingkungan sosial. Ajarkan anak-anak sejak dini untuk memahami etika dan norma sosial, tujuannya adalah mengenali sumber daya dan dukungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pemahaman tentang konteks lingkungan sosial sangatlah penting bagi kontrol emosi.Â
Mengekspresikan emosi adalah wajib, namun mengganggu orang di sekitarnya itu adalah masalah. Tengok saja bagaimana kelakuan pemuda yang merusak sepeda motor saat ditilang. Bukan saja gagal mengontrol emosi yang berakibat buruk pada dirinya, kelakuan tersebut malah menimbulkan dampak sosial yang merugikan.
Pemahaman akan lingkungan sosial sangat berguna untuk kecekapan keempat yang bisa kita ajarkan pada anak untuk perkembangan emosinya, yaitu kecakapan membangun hubungan dengan orang lain.Â
Kemampuan keempat ini meliputi bagaimana anak mampu berkomunikasi dengan jelas, mendengarkan dengan baik, bekerja sama dengan orang lain, melawan tekanan sosial yang tidak pantas, menegosiasikan konflik secara konstruktif, dan mencari dan menawarkan bantuan ketika dibutuhkan.
Empat kecakapan tersebut di atas merupakan pondasi bagi kecakapan terakhir yang menentukan kesehatan dan kecakapan emosional anak sepanjang hidupnya, yaitu kemampuan untuk mengampil keputusan yang bertanggung jawab.Â
Jika setiap detik kita dihadapkan dengan berbagai macam pilihan, maka kemampuan kita untuk memilah dan memilihnya adalah kunci kehidupan.Â
Identifikasi dan kontrol diri dibutuhkan untuk membimbing anak mengendalikan dorongan internalnya, sedangkan kesadaran sosial dan kemampuan menjalin hubungan digunakan untuk mengontrol tekanan sosial.Â
Kesehatan dan kecakapan emosi adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia yang berhasil adalah manusia yang mampu menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal. Tingkat keberhasilannya adalah mengambil keputusan yang konstruktif dan tidak merugikan dirinya (internal) dan juga lingkungan sekitarnya (eksternal).
Bagaimana caranya?
Jika melihat kasus di atas, seorang anak tanpa ragu memukul ibunya di depan umum, saya tidak hendak ikut mengadili anak tersebut sebagai anak nakal atau bahkan terburu-buru melabeli orangtuanya sebagai orangtua yang tidak cakap. Saya lebih suka menerka dengan pertanyaan, mengapa seorang anak berani melakukan tindakan tersebut?
Terdapat banyak kemungkinan, mulai dari urutan kelahiran dan kemungkinan sebagai anak tunggal, atau terdapat dua pengasuhan berbeda (juga diasuh oleh kakek-neneknya), sampai pada kurangnya pemahaman orangtua tentang emosi anak dan bagaimana mengelolanya. Saya lebih suka menerka yang terakhir sebagai kemungkinan utamanya. Terus apa yang harus dilakukan jika anak sedang marah?
Perlu diketahui, bahwa marah adalah satu di antara beberapa (ada yang mengakatakan 6 ada yang 8) emosi dasar manusia. Jadi jika kita hanya berkonsentrasi pada satu jenis emosi saja, maka kecakapan anak menguasai dirinya tidak akan sebaik jika jika mengenalkan kesemuanya pada mereka, terlebih membiasakan dengan berbagai cara mengontrolnya.
Ajaklah anak-anak untuk berbicara saat mereka tenang tentang emosi-emosi yang telah mereka ekspresikan setiap harinya. Misalnya pertanyaan "Mas tau gak kenapa tadi mas memukul bunda?" Biarkan mereka menjawab dan menjelaskan.
Saat mereka menjelaskan apa yang mereka alami, kita telah masuk pada sesi kedua, yaitu memberikan pemahaman tentang jenis emosi dan apa yang mereka rasakan saat emosi tersebut muncul. Pastikan anak-anak memahami dan menginternalisasikan obrolan tersebut dengan kembali mengulangi pertanyaan "Jadi kalau mas lagi sedih, itu seperti apa?"
Pemahaman tentang jenis emosi tersebut penting untuk antisipasi awal bagaimana anak-anak dapat mengendalikan emosinya. Berikan latihan strategi ketika mereka kembali berhadapan dengan emosi-emosi tersebut. Misalnya menarik nafas dalam-dalam saat mereka mulai merasakan kemarahan. Menahan beberapa detik sebelum bertindak, mencari objek (benda) untuk ekspresi kemarahan atau teknik yang lainnya.
Kita juga bisa menggunakan teknologi seperti video youtube atau film yang mengajarkan anak-anak untuk mengekspresikan emosinya secara konstruktif, tentu dukungan dan dampingan orangtua adalah hal utama.
Yang perlu diingat
Cara-cara yang saya paparkan bukanlah petunjuk praktis menyajikan makanan instan, jadi jangan berharap dapat dipraktekkan dengan sekali jalan. Dampingi anak-anak kita setiap hari, minimal kita ada untuk mereka menjelang mereka tidur, untuk sekedar bercerita. Kenapa? Ya karena anak kita bukan makanan instan, mereka adalah juga manusia, sama seperti kita :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H