"Your kid is not weak-willed because he can't get off his phone. Your kid's brain is being engineered to get him to stay on his phone." Ramsay Brown
Tempo hari seorang teman bercerita bahwa anaknya yang masih berusia 6 tahun kecanduan gadget (selanjutnya saya sebut gawai). "Awalnya saya kasih HP biar gak rewel, namun sekarang malah sulit untuk menarik (HP) dari tangannya" begitu keluhannya.
Gawai  dan internet merupakan paket komplit yang menyusahkan kebanyakan orangtua hari ini. Entah terpikirkan langsung maupun tidak, apa yang dirasakan teman saya juga dirasakan banyak orangtua lain, termasuk saya. Malah banyak orangtua yang menyangka anak-anak mereka telah menjadi korban gawai, kecanduan.
Apakah mereka kecanduan gawai?
Terlalu mudah. Begitu mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan klaim dari sebagian orangtua tentang kondisi anak-anak mereka saat menggunakan gawai. Kecanduan (addiction) bukanlah istilah sembarangan.Â
Kata kunci kecanduan adalah kurangnya kontrol seseorang terhadap hal-hal yang berdampak negatif pada dirinya. Pertanyaannya adalah apakah anak-anak kita menyadari bahwa gawai adalah hal yang buruk dan merugikan? Pertanyaan paling ekstemnya adalah apakah kita menyediakan pilihan aktivitas lainnya yang lebih menarik minat mereka?
Jika kedua pertanyaan tersebut tidak mampu kita jawab, maka perilaku mereka berselancar dan lengket dengan gawainya bukanlah perilaku pecandu. Kalau masih tidak percaya, silahkan cek definisi kecanduan dalam ini dan itu. Tuh kan, banyak banget yang harus dipenuhi jika kita mau mengatakan bahwa seseorang kecanduan. Selama kehidupannya secara keseluruhan tidak terganggu dengan gawai, sepertinya anak belum bisa dikatakan kecanduan.Â
Mengapa (anak) kita menyukai gawai?
Jangankan anak-anak, banyak orang dewasa juga kesusahan untuk tidak lekat dengan gawainya kan? Mau gak saya kasih satu pertanyaan lagi, hehe. Begini, kita semua kan mempunyai hobi, jadi, kira-kira apa yang kita sebut dengan hobi dan mengapa kita siap terpaku dengannya untuk waktu yang lama? Kira-kira begitulah gawai menyaru dalam kehidupan anak-anak kita.
Begini biar lebih jelas, kata kuncinya adalah bahwa hobi dan gawai memiliki kesamaan, yaitu menyenangkan. Gawai berhubungan langsung dengan kebutuhan dasar psikologis kita.Â
Secara mendasar, manusia minimal membutuhkan 3 hal, yaitu kompetensi, otonomi dan keterikatan. Itu menurut self determination theory (SDT)-nya Edward Deci dan Richard Ryan.Â
Sejak tahun 1985 teori ini banyak dirujuk dalam psikologi untuk melihat bagaimana manusia terdorong untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya dan membentuk kepribadiannya.
Gampangnya gini, anak merasa memiliki dan terus meningkatkan kompetensinya dengan bermain game, medsos atau apapun yang berasal dari gawainya. Setiap game kan memiliki level, menyelesaikan sebuah level dan mencapai level baru merupkan salah satu hal yang dirasa anak mengembangkan kompetensinya.
Atau jika dia main medsos, seberapa banyak teman yang menyukai atau mengomentari apa yang dia lemparkan sama saja pemenuhan kompetensi baru bagi anak. Begitu juga saat mereka bermain youtube dan semacamnya, banyak hal-hal baru yang mereka ketahui.Â
Permasalahannya, apakah kita memberikan sesuatu yang dirasa anak sebagai sebuah kompetensi baru setiap harinya? Kalau tidak, jangan salahkan anak-anak jika mereka lebih memilih main gawainya.
Kebutuhan kedua yang membuat anak-anak kita terpaku pada layar gawainya adalah perasaan otonom, independen atau mandiri. Game dan medsos memberikan pemain banyak pilihan dan membebaskannya untuk memilih. Ambil contoh dalam game, anak bisa saja memilih untuk menembak, menghindar, merangkai dan banyak lainnya.Â
Begitu juga dalam menggunakan gawainya secara keseluruhan, dia bisa memilih sebuah aplikasi, menginstalnya, menggunakannya dan kemudian mencopotnya (uninstall) sesuai keinginannya. Inilah kebutuhan anak (dan juga manusia pada umumnya), mereka membutuhkan dirinya mendapatkan otonomi dari hari ke hari.
Kebutuhan psikologis pokok ketiga yang membuat anak tidak mau melepaskan gawainya adalah keterikatan. Perasaan terikat dan mengembangkan hubungan dengan sebanyak mungkin manusia lainnya adalah kebutuhan dasar manusia.Â
Gawai dengan internetnya memenuhi kebutuhan anak untuk terikat dengan banyak orang. Anak bisa mengintip profil orang-orang sebelum dia membuka komunikasi dan menciptakan hubungan baru. Kelebihan lainnya adalah pengguna bisa kapanpun juga memutuskan hubungan (hampir) tanpa konsekuensi sosial seperti hubungan sosial dalam kenyataan.
Desain dan tujuan yang berbeda
"Your kid is not weak-willed because he can't get off his phone. Your kid's brain is being engineered to get him to stay on his phone." ujar Ramsay Brown, seperti dikutip oleh Haley Sweetland Edward dalam kolomnya di time.com. Jadi jangan salahkan anak-anak kita. Brown adalah salah satu pendiri Boundless Mind, sebuah perusahaan starup teknologi yang berjuang melawan kecanduan manusia terhadap teknologi.Â
Kutipan di atas kurang lebih berarti bahwa anak-anak bukanlah manusia yang lemah dan tunduk dengan gawainya, melainkan karena gawai dengan teknologinya telah membuat anak-anak kita tunduk tak berdaya terus berada di depannya. Dengan kata lain, gawai dan segala apa yang ada di dalamnya dan apa yang bisa dijangkaunya adalah hal yang telah didesain sedemikian rupa untuk membuat manusia kerasan dan terlena.
Jangankan anak-anak, kita juga susah kan lepas dari gawai? Mungkin juga saat membaca tulisan ini, sotara sekalian mengabaikan komunikasi manusia-manusia di sekitarnya, hehe.Â
Sekarang sudah tambah paham kan, tujuan kita (orangtua) dengan perusahaan teknologi jelas berbeda. Jika kita tidak berharap anak-anak kita bergantung dengan gawainya, mereka malah sebaliknya, karena itulah sumber penghasilan mereka.
Bagaimana menyikapinya?
Ini permasalahan yang boleh dikatakan sulit dan serius, namun juga bisa dikatakan mudah dan santai. Pada dasarnya yang pertama harus kita sepakati adalah bahwa anak --seberapa kecilpun dia---adalah manusia. Selayaknya manusia lainnya, anak membutuhkan hal-hal untuk terus hidup. Okelah kalau kita sudah memberinya asupan gizi yang baik untuk tubuhnya, tapi apakah iya kita sudah memberikan asupan juga untuk jiwanya? Ciee
Penjelasan yang agak panjang di atas sudah dipahami kan? Jadi, sudah tidak terkejut lagi kan dengan anak-anak yang lengket kayak perangko dengan gawainya? Intinya anak dan kita (orang dewasa) memiliki 3 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi, yaitu ingin terus berkembang kompetensinya, ingin memiliki kebebasan menentukan pilihan (mandiri/independen) dan juga ingin tetap terhubung dengan dunia sosial. Nyatanya gawai dengan internet sepertinya mampu memberikan asupan ketiga kebutuhan tersebut.
Coba cek kembali kalimat terakhir yang saya tulis, "sepertinya". Artinya, seolah-olah atau nampak. Kayak iklan kecantikan itu lo bu, "nampak" cerah dan berkilau. Tapi apa iya cerah dan berkilau beneran? Itu artinya pasti ada celah yang bisa kita gunakan untuk menarik kembali anak-anak kita ke dunia yang nyata dan fana ini. Meskipun dunia ini fana bapak atau ibu sekalian, namun dunia internet lebih fana lagi lo hehe.
Okelah kalau begitu. Kata kunci adalah apakah kita menginginkan anak-anak kita tumbuh secara nyata atau abal-abal? Bila kita menginginkan mereka kembali "menginjak bumi" maka ya kita harus tunjukkan bahwa kenyataan ini lebih menarik dari gawainya.Â
Banyak cara yang bisa orangtua lakukan untuk mengurangi intensitas mereka dengan gawai. Ajaklah mereka berkomunikasi dan beraktivitas yang menarik minat mereka. Jangan sedikit-sedikit dikasih HP, nanti jadi bukit loh.Â
Jalan-jalan, mewarna, menggambar berkebun, membuat kerajinan sederhana adalah hal-hal yang membuat mereka mendapatkan hal-hal baru dalam kehidupannya. Tentu masih banyak lagi selain itu.
Memberikan mereka kebebasan adalah tugas kita selanjutnya saat sedang bersama anak-anak. Saya ambil contoh, ketika kita mengajaknya berkebunmisalnya, biarkan mereka berkreasi. Memang sih, seringkali mereka membuat "kekacauan". Tapi memang itulah mereka, gak usah sedikit-sedikit diaatur, karena itulah dunianya.Â
Bila niatnya menanam tanaman dan jadinya banyak tanaman yang rusak, ya itukan hal yang bisa kita ajarkan pada mereka. Bahwa hasil dari pekerjaan mereka seperti itu, namun toh bisa diperbaiki lain waktu kan? Itu satu contoh, banyak contoh lainnya yang anak-anak kita bisa kita libatkan. Bahkan bisa saja kita libatkan mereka dalam aktivitas membersihkan rumah, mulai menyapu, mengepel, membuang sampah dan lainnya.
Kebutuhan terakhir menurut SDT adalah memenuhi kebutuhan anak akan keterikatan. Gak usah muluk-muluk untuk mengikutsertakan mereka perlombaan secara rutin, mulai saja dulu dalam rumah kita. Apakah komunikasi mereka dengan kita (orangtua) telah berjalan sesuai dengan keinginan mereka?Â
Hayo, yang suka main gawai saat anaknya ngajak bicara siapa? Angkat tangan! Ayolah kurangi kekecewaan mereka dengan komunikasi yang hangat. Ajaklah mereka berbicara, tentang aktivitasnya seharian, di sekolah misalnya. Sukur jika bapak-ibu sekalian masih mau bercerita untuk mereka secara rutin.Â
Apa? Gak bisa cerita? Masak sih? Pasti bisa, wong seharian di tempat kerja atau dengan tetangga juga kita nerocos mulu kan. Kalau kesulitan membuat cerita, kan banyak tuh buku cerita, atau kalau masih alasan juga buat beli buku cerita, ya tanya aja almukarom google. Pasti ada tuh jutaan cerita yang dimiliki mbah google.
Eh iya, saran ini bukan tata cara masak p*p mie loh, jadi mungkin efeknya tidak akan bisa langsung kayak menyeduh dan menyajikan mie. Anak kita kan manusia bapak-ibu, bukan ind*mie dan sejenisnya. Lakukan aja bertahap, dengan adonan kasih sayang yang cukup dan konsisten. Semoga saja berhasil.
Masalah anak masih sering terobsesi main gawainya, ya itu wajar. Kasih saja kesempatan, tapi ingat, dampingi mereka. Jadilah partner yang menarik untuk mereka saat bermain gawai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H