Kita tidak diberikan waktu dan ruang untuk melihat dari kacamata ruang lain, melihat dengan perasaan orang lain (in feeling). Saat itulah kita terjebak dalam egosentrisme, alih-alih menilai pemikiran dan perasaan orang lain, kita "hanya" memahami dan melakukan berdasarkan sudut pandang diri sendiri.
Tidak usah berharap empati
Pengambilan perspektif disebut merupakan salah satu dari dua atribut kognitif (pikiran) empati, selain fantasi. Selain atribut kognitif empati memiliki dua atribut lain dari aspek emosi, yaitu emphatic concern dan personal disress. Namun saya tidak hendak membahasnya dalam tulisan ini, bukan kuliah kok haha. Sederhananya begini, bagaimana bisa kita merasakan apa yang dirasakan korban gempa NTB, jika memikirkan rasanya saja tidak.Â
Melihat guyonan tersebut menyebar, saya mencoba mengingatkan dalam beberapa grup. Anehnya beberapa diantaranya dengan enteng menjawab "kenapa mas? Serius amat jadi orang?" Coba, betapa tipisnya empati kita pada saudara sebangsa ini. Sayapun menimpalinya dengan jawaban "Coba cari teman atau siapa gitu yang orang NTB dan terlebih yang tinggal disana saat ini, dan kirim pesan tersebut :)"
Ruang internet, media sosial dan kecepatan jempol sepertinya adalah perpaduan sempurna penggerus empati kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H