Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Saja Dulu, Ilmiah Kemudian

22 September 2017   08:43 Diperbarui: 23 September 2017   05:45 4081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam waktu hampir bersamaan, saya diminta menjadi pemateri acara mahasiswa terkait penulisan ilmiah. Dari berbagai sudut pandang, permintaan tersebut tentu bukan permintaan sederhana. Mengingat kemampuan saya di satu sisi dan beban moral sebagai pemateri di sisi lainnya. Saya bukan tipe pesimistis, hanya saja saya merasa banyak dosen senior yang lebih daripada saya dalam bidang ini, baik dari sisi pengetahuan maupun pengalamaan sebagai penulis (tentu juga peneliti) ilmiah. Selain itu, setahu saya di setiap jurusan pastilah ada matakuliah yang nyrempetke penulisan ilmiah. Pada sisi lain sebagai newbie,saya belum memiliki banyak asam garam terjun ke lapangan untuk melakukan riset. Karena jelas jelas riset merupakan kata kunci untuk sesuatu disebut ilmiah.

Tentang menulis dan masalah pertamanya

Okelah, saya akan memulai pada hal sederhana terkait penulisan ilmiah. Namanya juga penulisan, artinya semuanya harus dimulai dengan menulis. Secara sederhana, setiap manusia di dunia memulai aktivitas ini sejak masuk bangku sekolah. Masalahnya adalah menulis ternyata tidak sesederhana mengetahui bentuk huruf kemudian mengguratkannya. Menulis juga tidak semudah merangkai huruf menjadi sebuah kata dan kalimat. Kebanyakan dari kita akan menemui masalah menulis jika telah berada pada fase melangkah pada kalimat berikutnya. Melanjutkan kalimat, bagi saya adalah fase dimana seseorang menemukan perbedaan menulis "hanya" dalam rangkaian huruf dengan menulis sebagai "buah" ide.

Terlihat sederhana memang, namun perlu diketahui, bukankah sesuatu yang besar dimulai dari yang sederhana? Saya masih ingat betul sewaktu kecil belajar menulis huruf menjadi kata dan kalimat di bangku SD, semisal saya menulis: "Bapak Budi pergi bekerja". Kalimat tersebut adalah kalimat sederhana, waktu itu saya juga sudah paham makna kalimat tersebut secara sederhana pula. Namun tulisan tersebut adalah tulisan tanpa ide, karena selain menyalin perintah guru di kelas, saya juga tidak memiliki rasa ingin tahu dan ide melanjutkannya sebagai sebuah cerita.

Mengapa waktu itu saya tidak berpikir siapakah budi? Kelas berapa dia? Siapa pula bapaknya? Apakah pekerjaannya? Apakah bapaknya berhasil dalam pekerjaannya? Kok ibunya gak disebutkan? Dan mengapa pula si budi disebut-sebut untuk kita tuliskan dalam buku kita? Tentu lebh banyak pertanyaan untuk melanjutkan kalimat tersebut. Namun apakah saya waktu itu melakukannya? Tentu tidak, mengapa? Jawabannya dua, saya belum ingindan tidak juga memiliki idejika saja saya ingin.

Modal dasar menulis

Contoh sederhana di atas semoga membantu kita semua untuk memahami mengapa seseorang menulis. Minimal kita tahu bahwa menulis membutuhkan dua komposisi lainnya selain pengetahuan dasar tentang huruf, yaitu keinginan dan juga keterampilan. Pengetahuan dasar menulis saya yakin semua orang yang membaca tulisan ini memilikinya. Dimana kita mengenal huruf dan masih mampu mengontrol motorik halus kita, dipastikan kita bisa menulis. Namun apakah hal tersebut semata-mata dapat menjadikan kita sebagai penulis? Menurut uraian sebelumnya, kita masih membutuhkan dua modal lainnya.

Dorongan dari dalam diri merupakan pondasi kedua. Kita menyebutnya sebagai keinginan, atau popular disebut motivasi. Sejujurnya saya enggan menuliskan kata terakhir kalimat sebelum ini. Mengingat dia terkadung masyhur sebagai barang dagangan. Layaknya barang dagangan, dia banyak dikemas sedemikian rupa untuk menarik pembeli. Dan kebetulan juga laris manis. Namun apa dikata, seperti kita yang ekstasedengan rasa p*pmie, kita lupa untuk membangkitkan rasa ingin tahu kita bagaimana dia diracik, diproduksi, dan dipasarkan hingga membuat kita terbuai.

Saya teringat tempo hari seorang teman meminta teori motivasi untuk anak-anak didiknya agar lebih rajin belajar. Secara kasat mata, saya menangkap permintaan tersebut sebagai hasil dari banyaknya acara televisi yang memuat secara instan produk yang bernama motivasi. Kita tahu bahwa tidak mungkin ada teori yang mak bedundukdapat dengan gampang diaplikasikan. Teori apapun. La wongteori bukanlah petunjuk masak pada bungkus p*pmie. Teori apapun juga merupakan pandangan general (umum) tentang sesuatu. Dia membutuhkan pendekatan dan juga metodologi untuk menjadi produk yang siap disantap.

Seperti cerita tersebut, motif yang menggerakkan perasaan ingin tahu kita harusnya bukan sesederhana seperti yang diomongkan dalam mimbar. Banyak hal dapat memolesnya sehingga menjadi motivasi, apalagi motivasi untuk menulis. Bisa jadi, kita ingin menulis karena paksaan tugas, karena ingin mendokumentasikan agar kita tetap mengingatnya, karena memang kita ingin lebih dalam mempelajari hal tersebut atau bahkan hanya karena kita membaca sobekan bungkus p*pmie. Kok dia lagi! hehe.

Untuk mengarahkan motif kita menjadi motivasi yang positif seperti menulis, kita membutuhkan pondasi ketiga, yaitu keterampilan. Keterampilan adalah sebuah proses, dia membutuhkan dua faktor pertama dan juga pembiasaan terus menerus. Tidak mungkin seseorang memiliki keterampilan tertentu jika dia tidak mengasahnya secara terus menerus. Ringkasnya, tanpa ide kita tidak akan bisa menulis. Ide tidak akan muncul jika kita tidak memiliki dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan dapat kita peroleh dengan belajar, baik itu membaca, bertanya ataupun mengamati sesuatu. Ide dan dasar pengetahuan tidak akan pernah cukup untuk mengantarkan kita menulis jika kita tidak terus menerus melatihkannya. Intinya, menulis memang bukan perkara yang terjadii sesingkat kita membuat p*pmie. Loh kan lagi! Wong menuliskan proses membuatnya yang mudah aja kita belum tentu bisa toh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun