Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Kecemasan Orang Tua: Akademik atau Sosial Emosional?

7 Agustus 2017   14:35 Diperbarui: 8 Agustus 2017   22:59 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin istri saya bercerita tentang betapa seriusnya ibu-ibu teman taman kanak-kanak (PAUD) anak kami mempersiapkan anak-anak mereka untuk dapat membaca, menulis dan berhitung. Terlebih tentang kemampuan membaca. Saya Tanya kenapa sudah pada ribet gitu? "Ya kan setelah ini anak-anak mau masuk sekolah dasar (SD)". 

Segitunya ya? Jawab saya ringan. Cerita berlanjut tentang betapa repotnya mereka menyiapkan berbagai trik untuk merayu anak-anak mereka agar mau dan serius saat diajari membaca di rumah. Beberapa bahkan telah mencari informasi tempat-tempat les privat yang "ideal". Iya, ideal itu yang membuat anak-anak mereka ceria dan tidak tertekan saat mengikutinya.

Paradigma pengasuhan

Cerita di atas merupakan sebuah paradoks. Saya katakana begitu karena pada satu sisi, ibu-ibu muda sekarang telah aware tentang kesejahteraan psikologis anak-anak mereka (mungkin ini buah dari berbagai seminar parenting yang lagi masiv). Mereka sangat care tentang bagaimana anak-anak mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristik anak. Mereka menghindari berbagai macam hal yang dapat membuat anak-anak merasa tertekan dan merasa tidak nyaman. Pada sisi ini sara rasa cara berpikir ibu-ibu sepertinya tidak terlihat menemukan masalah.

Mari kita lihat pada sisi lainnya. Saya kok melihat bahwa fokus parenting terhadap anak-anak sangat berpatok pada persoalan akademik semata. Saya melihat semacam ada kecemasan tentang keberhasilan anak-anak mereka pada jenjang sekolah dan kemampuan akademik. (mungkin) Kecemasan tersebut dipantik dari informasi-informasi yang kurang seimbang tentang apa dan bagaimana keberhasilan anak harus dilihat atau diukur. 

Seperti kecemasan tidak diterima di sekolah favorit, kecemasan akan tertinggal dari teman lainnya dan yang paling nyata adalah kecemasan akan tidak tercapainya ekspektasi (keinginan/obsesi) orangtua terhadap anak-anak mereka. Kebanyakan orangtua memang nyatanya menginginkan anak-anak mereka "terlihat" pintar dengan mampu calistung sejak dini.

Padahal, terdapat hal lain yang jauh lebih penting dan akan berperan pada masa depan anak, seperti kapasitas sosial-emosional (SE) anak. Hal inilah yang terus digodok pemerintah lewat kementerian pendidikan dan (sepertinya) masih belum menemukan titik temu yang disepakati bersama. Heboh terkait full-day school adalah salah satu dari sekian perdepatan tentang bagaimana sekolah mampu menyentuh, memoles dan memperkuat pondasi emosi anak, bukan hanya pondasi akademik (kognitif) saja. Pemerintah dan kita kebanyakan menyebutnya dengan pendidikan karakter.

Sedikit keterangan di atas telah memperlihatkan pada kita fenomena hari ini. Saya menyebutnya sebagai ketimpangan paradigma pengasuhan. Pengasuhan yang hanya berfokus pada masalah penguasaan dan prestasi akademik semata, dengan hanya sedikit usaha untuk menyeimbangkannya dengan kapasitas SE.

Sosioemosional dan keterlibatan anak dalam pembelajaran

Pertanyaan penting dari fenomena di atas adalah apakah yang sebenarnya membantu anak kita (manusia) terlibat dalam pembelajaran? Pertanyaan ini penting sebagai usaha kita menyeimbangkan paradigma pengasuhan. Kata kuncinya adalah keterlibatan dalam pembelajaran. Cara berpikirnya sederhana, modal utama sesorang yang berhasil (nantinya) adalah kemauan dan kemampuan untuk terus belajar. 

Tugas utama jika kita menginginkan anak kita berhasil (nantinya) adalah bukan mengajarkan sejak dini kemampuan calistung, tapi menggenapi pondasi untuk mau terlibat terus menerus dalam pembelajaran. Pondasi penting tersebut ada pada kemampuan SE anak-anak kita.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun