Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Kecemasan Orang Tua: Akademik atau Sosial Emosional?

7 Agustus 2017   14:35 Diperbarui: 8 Agustus 2017   22:59 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Titik keluhannya selalu bermuara pada tidak selarasnya nilai yang tertera dalam ijazah dengan kemampuan dan performasi mereka dalam dunia kerja. Mereka sering menyebut orang-orang tersebut tidak berkarakter. Sedikit saya sudah singgung di atas, bahwa karakter seseorang sangat berkaitan dengan perwujudan emosinya dalam berbagai seting lingkungan. 

Jika tugas-tugas akademik tiap hari membuat sebagian orangtua terjangkiti stress ringan, mengapa tugas-tugas sosioemosional (yang seharusnya diselesaikan anak) tidak berefek yang sama pada orangtua? Inilah letak masalahnya. Kita seringkali tidak menempatkan perkembangan kognitif (akademik) sejajar dengan perkembangan emosional (setting sosial). 

Orangtua lebih senang melihat nilai rapor anaknya mendapaatkan rangking daripada mengamati proses emosional ketika anaknya menyelesaikan konflik dengan teman sebayanya. Kebanyakan orangtua juga lebih memilih bertanya pada guru kelas mengenai pencaipaian akademik anak-anaknya daripada adaptasi anak dalam lingkungan sekolah.

Terkait kegunaannya, saya akan rujukkan pada berbagai hasil penelitian. SEL merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk mereduksi/mengurangi faktor-faktor resiko dan meningkatkan faktor-faktor protektif yang mendorong mekanisme seseorang untuk selalu menyesuaikan diri secara positif dengan lingkungan (Benson, 2006; Guerra & Bradshaw, 2008). Dengan meminimalisir resiko dan meningkatkan menakisme proteksi, seseorang bukan hanya mampu merespon sesuatu dengan adaptif, tapi juga mampu memanfaatkan peluang di lingkungannya. 

Keterangan tersebut saya rasa dapat menjawab mengapa terkadang seseorang yang terlihat biasa-biasa saja (dalam hal akademik) namun malah jauh lebih sukses saat menginjak dewasa. Karena kacamata atau ukuran prestasi salama ini dalam masyarakat kita terfokus pada ukuran akademik saja, sehingga perkembangan kecakapan sosioemosional anak jarang digunakan sebagai ukuran.

Boleh dikatakan bahwa dimensi sosioemosional adalah dimensi sunyi yang terabaikan. Jadi menjadi sebuah kewajaran jika banyak orangtua (terlebih guru) kaget dengan pencapaian seseorang yang dulunya dianggap biasa-biasa saja atau bahkan nakal. Tahu kenapa? Karena prediksi mereka hanya mengandalkan aspek akademis (kognitif) semata.

Sumber bacaan:

Benson, P. L. (2006). All kids are our kids: What communi-ties must do to raise caring and responsible children and adolescents(2nd ed). San Francisco: Jossey-Bass.

Elias, M. J., Zins, J. E., Weissberg, R. P., Frey, K. S., Greenberg, M. T., Haynes, N. M., Kessler, R., Schwab-Stone, M. E., & Shriver, T. P. (1997). Promoting social and emotional learning: Guidelines for educators. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development.

Guerra, N. G., & Bradshaw, C. P. (2008). Linking the prevention of problem behaviors and positive youth development: Core competencies for positive youth development and risk prevention. In N. G. Guerra & C. P. Bradshaw (Eds.), Core competencies to prevent problem behaviors and promote positive youth development, 122,1-17.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun