Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

TOK SENDOK dan hilangnya jenis pekerjaan

6 Juni 2017   09:08 Diperbarui: 6 Juni 2017   09:08 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, saat kecil saya dan teman-teman di kampung seringkali saling mengejek menggunakan istilah-istilah pekerjaan yang sudah mulai tidak populer saat itu --tok sendokadalah salah satunya. Saat bermain atau saat bertengkar, ejekan seringkali digunakan oleh anak-anak di kampung saya untuk menghibur dan terkadang bersifat agresif. Semisal seorang anak mengejek temennya: ancine koe tukang tok sendok (dasar memang kamu tukang tok sendok) untuk menunjukkan superioritasnya, maka kemungkinan besar anak lain akan membalas daripada koe, tukang pijet gak payu(daripada kamu, tukang pijet gak laku). Hal tersebut semata-mata digunakan anak zaman saya untuk hiburan, maklum zaman itu belum ada tekhnologi seperti sekarang. Meskipun terkadang juga terjadi dueluntuk menyelesaikannya. Namun wajar saja, anak-anak hehe.

Cerita tersebut juga menyimbolkan hal yang lain. Pada zaman itu, sekitar tahun 90-an, beberapa pekerjaan telah berada di ujung hayatnya. Itulah mengapa anak-anak berani menggunakannya untuk bahan ejek-ejekan. Coba bayangkan saja, seorang anak tidak akan mengejek menggunakan profesi kerah putih macam dokter, menteri, guru atau pegawai kantor. Semisal "dasar kamu dokter", kan jadi wagu alias gak enak. Hal tersebut menandakan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas merupakan pekerjaan yang memiliki kompensasi ekonomi tingkat bawah, atau pekerjaan-pekerjaan yang mengisi sisi sekunder masyarakat. Karena "tanda" pada piring dan sendok akan selalu menjadi sisi sekunder dari piring atau sendok-nya sendiri. Kegunaannya juga untuk proteksi atau jaga-jaga agar perangkat tidak tertukar dengan milik tetangga. Jika ada pertanyaan mengapa takut untuk tertukar? Jawabannya adalah banyaknya ritual di Jawa yang memungkinkan perangkat dapur menjadi satu di tempat-tempat umum seperti langgar/musolla, balai desa, padepokan atau lainnya. Acara-acara budaya seperti perayaan hari besar, ritual terkait kehidupan (kelahiran dan kematian), hari jadi desa, hari keramat dan lainnya memungkinkan masyarakat saling bertukar masakan secara massal. Ini mengapa tanda di perangkat dapur menjadi kebutuhan.

Pada zaman dimana piring yang terbuat dari kaca dan sendok dari tembaga merupakan sebuah perangkat dapur yang bisa dibilang "berharga", pekerjaan tok sendok juga bisa dikategorikan sebagai sebuah hal primer bagi kelas sosial sebuah keluarga. Di kampung-kampung pada era 90-an, memanggil tukang tok sendokuntuk mampir ke teras rumah dan mempekerjakannya adalah sebuah hal yang dapat dibanggakan. Keberadaan dan lamanya tukang tok sendok bekerja pada suatu rumah menandakan secara tidak langsung status dan kelas sosial pemilik rumahnya. Iya jelas, pemilik rumah bukan hanya memiliki perangkat dapur macam piring kaca dan sendok alumunium, tetapi juga kuantitas kepemilikannya banyak. Itulah mengapa tukang tok sendok merupakan sebuah pekerjaan yang waktu itu dianggap sebagai sebuah penanda tinggi-rendahnya kelas sosial seseorang.

Beriring waktu, piring yang terbuat dari kaca dan sendok yang terbuat dari tembaga bukanlah hal yang dianggap wahlagi. Setiap rumah memiliki perangkat tersebut. Bukan berarti menjadi hal yang melimpah bagi jasa tok sendok, melimpahnya piring, sendok dan perangkat dapur lain justru menjadi kuburan jenis pekerjaan ini. Jika dilihat dari logika sederhana hal tersebut terkesan paradoks, namun begitulah manusia. Pekerjaan yang ada sebagai dampak kebutuhan agar sebuah barang memiliki tanda dan tidak tertukar justru malah menghembuskan nafas terakhir saat "seharusnya" banyak yang harus dikerjakan. Hal tersebut tak lain karena cara pandang masyarakat telah bergeser, gaya hidup telah berubah. Sebagai sebuah perangkat yang telah dianggap "biasa", piring dan sendok tidak lagi menjadi kekhawatiran berlebih dari pemiliknya saat terdapat kesempatan untuk tertukar.

Selain pandangan bahwa piring dan sendok bukan hal mewah lagi, intensitas masyarakat melakukan ritual massal tidak seperti dulu lagi. Kemajemukan masyarakat sudah meresap sampai pada tataran desa, atau bahkan konsepsi desa dan kota tidak lagi dapat dibedakan dengan tegas jika dilihat dari elemen masyarakatnya.

Belajar dari tok sendok

Sebuah pekerjan akan selalu terikat dengan bentuk masyarakat dan budayanya. Terkadang saya ingin bernostalgia melihat orang berkumpul disalah satu teras rumah tetangga dan melihat seseorang mahir melakukan sebuah pekerjaan diiringi pembicaraan-pembicaraan ibu-ibu khas pedesaan. Gelak tawa mengiringi tukang tok sendok (yang biasanya laki-laki) di kerubungi ibu-ibu desa. Hilangnya tukang tok sendok juga merupakan rantai historis dimana (mungkin) kesejahteraan masyarakat sekarang telah bergeser, gaya hidup telah berubah. Kepemilikan barang dapur bukan lagi sebuah kebanggaan, karena memasak juga mulai dianggap bukan lagi rutinitas (bagi sebagian) rumah tangga yang sibuk dengan karirnya. Kepemilikan barang-barang dapur dalam jumlah banyak jarang kita jumpai dalam model rumah tangga hari ini.

Kita juga dapat belajar, bahwa pekerjaan yang menawarkan jasa bisa saja datang dan pergi silih berganti. Semua bergantung dengan paradigma masyarakat tentang apa yang disebut "kebutuhan" dan apa yang disebut dengan (gaya) "hidup".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun