“Sudah ada 700 pedagang resmi Pasar Merjosari yang bersedia dipindah ke Pasar Dinoyo sedangkan 600 sisanya yang merupakan PKL tanpa lapak masih menolak," begitu kata Kepala Dinas Perdagangan Wahyu Setianto yang saya kutip dari Republika (6/4/2017). Lengkapnya lihat http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/04/06/onzc59383-pemindahan-pedagang-pasar-merjosari-malang-berakhir-ricuh. Detik juga mengutip pernyataan yang serupa, bahwa terdapat dua jenis pedagang dan menjadi dua jenis kelompok juga https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3466936/pembongkaran-pasar-merjosari-diwarnai-perlawanan-dari-pedagang.
Tidak menutup kemungkinan kejadian serupa juga telah terjadi dan akan terjadi ketika ada kebijakan relokasi atau revitalisasi pasar tradisional. Selain alasan yang sudah saya uraikan di atas, keberadaan pedagang-pedagang baru pasar memang tidak akan mungkin bisa diprediksi. Bertambahnya konsumen, bertambahnya produk, kebangkrutan dan juga jumlah usia produktif merupakan alasan mengapa jumlah pedagang pasar tradisional mustahil untuk diprediksi. Lagian siapa juga yang bisa mengontrol alur rezeki dari Tuhan, hehe. Itulah mengapa menjadi penting bagi pemerintah untuk mengkaji lebih dalam apabila harus mengeluarkan kebijakan revitalisasi pasar.
Taruhlah, saat pindah dari pasar Dinoyo data pedagang semisal berjumlah 800 orang. Harusnya pembangunan pasar Dinoyo juga mengantisipasi dengan memprediksi jumlah ledakan pedagang ketika bangunan pasar baru berdiri. Prediksi bisa dilakukan dengan studi bersama yang menganalisis data jumlah penduduk, pendatang dan animo pasar. Bisa jadi jumlah lokasi yang harus disiapkan membengkak dua kali lipat. Meskipun hal tersebut belum tentu cukup, minimal hal tersebut dapat mengurangi potensi konflik.
Masalah rupiah dan perlawanan pedagang
Jumlah rupiah adalah masalah paling rumit yang mengiringi pemindahan pasar. Pedagang, dengan adanya revitalisasi mau ataupun tidak diminta untuk menyetorkan sejumlah uang untuk kompensasi biaya sewa lapak baru dan lainnya. Bagi pedagang kelas menengah-atas, hal tersebut mungkin tidak akan menjadi masalah, tapi hal tersebut tentu berbeda bagi pedagang dadakan dan tidak “resmi”. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang manusiawi, kebijakan yang mengakomodir kebutuhan dan kekuatan pedagang.
Bila seperti yang sudah saya uraikan, jumlah pedagang dadakan seimbang atau lebih banyak dari pedagang resmi, maka penolakan dan perlawanan pasti akan mereka lakukan. Karena tidak ada satu manusiapun yang rela nafas kehidupannya direnggut.
Akibatnya, meskipun pengumuman pasar Merjosari resmi ditutup per tanggal 14 mei 2017, nyatanya para pedagang “tanpa” lapak melakukan perlawanan dengan tetap berjualan di tempat yang dulunya area parkir utama pasar, sebelah utara pasar penampungan Merjosari. Sesuai dengan asumsi saya di atas, bahwa salah satu ciri utama pasar tradisional adalah mereka, maka anda dapat menyaksikan bahwa pasar “perlawanan” di Merjosari lebih ramai pembeli daripada pasar resmi yang mulai buka di Dinoyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H