Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Relokasi Pasar Tradisional Selalu Bermasalah?

17 Mei 2017   09:54 Diperbarui: 17 Mei 2017   11:24 3731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah saatnya kita jujur tentang konsepsi tradisional dan modern. Jika kita melihat dari perspektif bahwa itu adalah sebuah urutan arus zaman, terang saja seolah-olah yang tradisional dianggap sudah tertinggal dan dipaksakan untuk berubah menjadi modern. Coba kita lihat tradisional-modern dari perspektif lain yang tidak harus membuat keduanya berhadapan bagai rival. Misalnya kita lihat dari perspektif budaya, bahwa pasar tradisional memiliki "budaya pasar" yang berbeda dengan pasar modern. Bahwa di pasar tradisional kita akan menemukan budaya komunikasi yang lebih dinamis antara pembeli dan pedagang melalui budaya tawar menawar. Kita juga bisa menemukan kohesivitas yang kuat antara pedagang satu dengan pedagang yang lain, belum lagi kita bisa menemukan aneka produk serba terjangkau yang mengajak kita bernostalgia dengan nuansa tempo dulu. Jenis pasar dikategorikan tradisional juga tidak lepas dari keberadaan pedagang dadakan atau pedagang yang tidak memiliki lapak “resmi” yang seolah menjajakan segala macam komoditas —ini yang kemudian menjadi salah satu problematika yang rumit saat pasar akan dipindah. Hal tersebut jelas berbeda dengan budaya pasar modern yang lebih mengedepankan gaya komunikasi terbuka dan tegas, artinya kita sulit menemukan produk yang bisa kita tawar seperti di pasar tradisional. Aneka produk pasar modern juga mengutamakan kualitas (terutama pengemasannya) disertai dengan pelayanan yang penuh dengan standar operasional profesionalitas. 

Jika kita mampu melihat pasar tradisional dan modern dari perspektif yang lebih ramah, kita tidak akan tergesa-gesa membandingkan dan menilainya. Karena budaya sejatinya adalah nilai yang disepakati dan dianut bersama, artinya ini hanya masalah selera dan tawaran yang berbeda. Lagi-lagi konsumen yang akan memilih kemana mereka akan membeli barang untuk keperluan kesehariannya. Bagi sebagian orang (termasuk keluarga saya) maslaah berbelanja di pasar modern atau tradisional bukan hanya soal barang, biaya dan layanan, tapi juga soal waktu dan (terkadang) keinginan. Semisal, saat pagi hari senggang kami tentu akan lebih enjoy jika berbelanja di pasar tradisional, bertemu, menyapa dan melihat aneka produk yang terkadang hanya ada pagi itu. Berbeda jika waktu siang atau sore hari, kami lebih “ingin” ke pasar modern dibandingkan ke pasar tradisional. Karena saya merasakan nuansa yang berbeda dari keduanya, dan keduanya memiliki waktu yang berbeda juga untuk dinikmati.

Pasar tradisional sebagai indikator kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

Dalam berbagai hal, pasar tradisional dan pedagang kaki limanya terlihat sepele dan tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian nasional. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa isu pasar tradisional dan bagaimana memperlakukan pedagang kecil dengan baik turut mengantar seseorang menjadi Presiden negeri ini. Lihat saja kisah Pak Jokowi yang sukses dalam merelokasi pedagang kecil di Solo sewaktu beliau menjabat walikota, kisah tersebut mau tidak mau menjadi bumbu penyedap utama yang sukses mengharumkan nama beliau untuk menapaaki jalan politik nasional. Dari kisah Pak Jokowi, kita bisa melihat bahwa pasar tradisional yang hampir seluruhnya diisi oleh pedagang kecil merupakan tolok ukur bagi pemerintah dalam berbagai hal. Pertamaharmonisnya pasar tradisional dalam sebuah wilayah merupakan salah satu indikator keberhasilan gaya komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Mau ataupun tidak, kita wajib mengakui bahwa salah satu sumber informasi masyarakat adalah pasar tradisional. Keduakeberadaan pasar tradisional yang dikelola dengan baik menunjukkan bahwa pemerintah setempat peduli terhadap nasib wong cilik.Kalaupun terjadi revitalisai dan relokasi, harusnya pemerintah benar-benar tahu basic needpedagang pasar, sehingga tidak terjadi kegaduhan dan konflik yang jelas berakibat bagi ciitra pemerintahan.

Menyelaraskan keinginan pemerintah dengan pedagang

Kembali pada kasus ramai-ramai pindahan pasar Dinoyo Malang. Saya kok melihat pola yang sama dimana konflik relokasi pasar tradisional (pedagang) selalu bermula dari tidak selarasnya keinginan pemerintah dengan keinginan kelompok pedagang. Kalau dilihat dari dimensi bahwa pemerintah adalah pelayan rakyat, harus diakui pemerintah kurang pasdalam menilai kebutuhan dasar (basic need) pedagang dan dinamika pasar tradisional sebagai dasar kebijakan. Saya percaya usaha maksimal sudah dilaksanakan pemerintah kota Malang untuk mengembalikan pasar penampungan Merjosari ke pasar Dinoyo, namun tidak ada salahnya jika kita belajar dari fenomena ini untuk mengantisipasi hal-hal serupa pada wilayah lainnya.  

Diatas telah disinggung bahwa dulu tahun 2012 pedagang pasar Dinoyo akhirnya bersedia untuk direlokasi sementara ke Merjosari melalui mediasi oleh Komnas HAM dengan menghasilkan kesepakatan di pengadilan negeri. Namun mengapa ketika bangunan pasar Dinoyo telah siap, justru pedagang yang dulunya tidak mau pindah sekarang malah tidak mau kembali? Apakah ada kesepakatan yang dilanggar oleh pihak pemerintah? Atau ada hal lainnya? Sekali lagi saya ber-khusnudzondengan pemerintah bahwa tidak ada kesepakatan yang dilanggar. Saya hanya ingin mengingatkan konteks dan dinamika pasar saja.

Salah satu keunikan pasar tradisional adalah terkadang lebih banyak pedagang tanpalapak/lokasi jualan “resmi” dibandingkan dengan pedagang yang “resmi” memiliki lokasi jualan. Pedagang-pedagang dadakan inilah yang menurut hemat saya merupakan magismengapa pasar dianggap tradisional. Mereka biasanya berjualan di samping tempat parkir, di depan bedak(toko) orang lain, lorong jalan dan bahkan di atas saluran pembuangan atau lebih hebat lagi ada yang disamping tempat sampah sementara. Komoditas yang mereka tawarkan juga unik, mulai dari sayur, buah, jajan pasar sampai komoditas musiman. Pilihan waktu berdagang juga tidak kalah unik, banyak yang berdgang di waktu-waktu yang tidak biasa dan tutup pada waktu yang tidak biasa juga, seperti buka dini hari dan tutup menjelang jam tujuh pagi. Adanya mereka (pedagang dadakan) justru yang membuat pasar semakin terlihat penuh sesak dan ramai. Jujur saja, bagi anda yang sering ke pasar tradisional, tentu kaki anda minimal pernah kesenggol barang dagangan pedagang model ini.

Dinamika pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh keberadaan pedagang-pedagang dadakan dan tidak “resmi” ini. Istilah kerennya, keberadaan mereka bisa dikataakaan berada ada dan tiada, ini unik. Dikatakan ada adalah karena mereka memang berjualan dan bahkan banyak, dikatakan tiada karena susah bagi dinas pasar untuk menjelaskan keberadaan mereka melalui data resmi pasar. Inilah yang kemudian membuat relokasi pasar (mungkin selamanya) tidak pernah berjalan mulus, masalah data! Karena konsep revitalisasi pasar tradisional selalu menekankan hal-hal seperti rapi, higienis dan tertib. Bangunan fisik pasar baru akan selalu menjadi masalah karena kebanyakan pedagang yang barusan saya jelaskan tidak terdata. Itu artinya, bangunan pasar baru sulit mengakomodir keberadaan pedagang-pedagang dadakan yang tidak “resmi”.

Dua kubu kelompok pedagang

Dalam kasus “pengembalian” pasar Dinoyo, banyak media menulis terdapat dua kubu pedagang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun