Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Desa Wisata I: Antara Kebutuhan, Potensi dan Pengelolaan

7 Juli 2015   09:53 Diperbarui: 7 Juli 2015   09:53 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa wisata, anda pernah mendengarnya? Atau bahkan pernah singgah dan menginap disana? Bagi anda yang belum pernah bersentuhan dengan desa wisata, apa yang anda bayangkan tentangnya? Apakah anda membayangkan sebuah desa yang ramai penuh dengan fasilitas penunjang wisata, ataukah anda membayangkan hal saat waktu kecil anda di desa? Apapun bayangan anda tentangnya, desa wisata merupakan destinasi baru wisata yang wajib masuk dalam menu liburan anda sekarang. Apalagi bagi anda yang tidak bisa barang sedetikpun untuk melepaskan diri dari cengkeraman kota.

Beberapa diantara anda yang sedang membaca tulisan ini mungkin sekarang tengah hidup dalam suasana yang jauh dari apa yang anda rasakan sewaktu kecil sampai remaja. Adalah suatu hal yang wajar jika kita memutuskan untuk melangkahkan kaki melewati batas wilayah (environment) sekaligus meninggalkan segala suasananya (environmental) untuk menggapai hidup di wilayah lain. Kita seringkali menyebutnya sebagai rantau atau merantau. Banyak diantara kita adalah perantauan, layaknya anak panah, sekali lepas dari busur panah, pantang bagi kita untuk kembali tanpa menemui sasaran yang kita inginkan.

Sosiologi menyebut fenomena tersebut sebagai migrasi, dan biasanya jenis migrasi desa ke kota atau biasa disebut urbanisasi merupakan pilihan yang paling popular di Negara berkembang seperti Indonesia. Saya termasuk manusia yang gagal berkembang di daerah asal dan memutuskan untuk pindah ke kota, mungkin juga sama dengan anda.

Sebagai orang rantau, kita akan selelu merindukan daerah asal. Sekali waktu saat kita telah memiliki anak, kita juga akan berusaha mengenalkan anak kita untuk mengetahui jejak historis orang tuanya. Bagi orang rantau yang tengah merindu akan suasana desa, konsep refreshing dan recreation tentu bukanlah hanya pergi ke tempat wisata disekitar kota, melainkan ingin mencari suasanya yang merindukannya. Fenomena inilah yang belakangan ikut meroketkan potensi wisata baru, desa wisata.

Sebagain dari anda yang telah singgah mungkin hari ini telah merencanakan kembali lagi pada liburan yang akan datang, namun sebagian lagi mungkin juga sedikit ganjel, kurang puas dengan suguhan wisata yang ditawarkan.

 

Potensi wisata pedesaan

Hampir semua desa memiliki potensi untuk menjadi destinasi wisata desa, bukan hanya daerah Yogyakarta, Bali dan Lombok saja. Namun kenyataannya hanya sedikit diantaranya yang mampu mengemas atraksi (suasana) pedesaan menjadi paket wisata lengkap dengan fasilitas pendukungnya. Inilah mengapa banyak desa yang mengusung visi menjadi desa wisata bingung di tengah jalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan visi tersebut. Beberapa diantaranya telah berhasil mengimplementasikan, namun kurang berhasil dalam keberlanjutan program dan pengembangan wisatanya (sustainability).

Untuk yang pertama (bingung dan kesulitan implementasi program), saya kebetulan mendampingi kelompok mahasiswa selama dua periode di Desa Mronjo Kecamatan Selopuro Blitar Jawa Timur. Kebetulan kepala desa yang tengah menjabat hari ini memiliki program untuk membawa desa Mronjo sebagai desa wisata yang layak. Semua perangkat desa telah bersepakat dan menyatukan visi menjadi desa wisata. Namun saya menemukan minimnya pengetahuan dan penyuluhan dari pemerintah kabupaten serta dampingan NGO/LSM menjadikan visi tersebut tersendat sampai hari ini. Kebanyakan sumber daya disana menganggap bahwa pendanaan merupakan unsur pertama untuk mewujudkan desa wisata, padahal tidak melulu demikian. Hari ini saya bersama sekelompok periode kedua bersama perangkat desa masih berusaha untuk memetakan potensi, melengkapi fasilitas dan menyusun paket wisata disana, semoga akan menemui titik kesuksesan di kemudian hari.

Untuk kasus yang kedua (macet pada keberlanjutan program desa wisata/sustainability) kebetulan saya sendiri pernah membantu menginisiasi Desa Wisata Batik di Lasem-Rembang Jawa Tengah pada tahun 2011. Awalnya semua berjalan dengan baik, potensi sudah kami petakan, paket wisata sudah kami siapkan dan pemerintah serta beberapa korporasi juga telah bersedia membangun fasilitas penunjang desa wisata. Namun, yang terjadi kemudian adalah saat telah berjalan beberapa pihak pengelola desa wisata sibuk dan memiliki aktivitas lain di luar daerah. Peristiwa tersebut ditambah dengan hal lain seperti gagalnya pengkaderan fasilitator desa wisata baru dan managemen keuangan yang kurang prima menjadikan desa wisata di Lasem berjalan ala kadarnya sekarang.

 

Tentang komponen inti desa wisata

Sebuah desa dikatakan layak sebagai destinasi wisata jika minimal memiliki tiga komponen utama yang saling berkaitan. Komponen tersebut terkait daya tarik/ atraksi, paket wisata dan juga fasilitas.

Daya tarik desa wisata merupakan komponen pertama dan menjadi pondasi desa wisata. Persepsi tentang pariwisata biasanya menghambat pengelola desa wisata untuk menentukan potensi daya tarik desanya. Kebanyakan pemerintah desa atau pengelola desa masih berpatokan bahwa tempat wisata adalah hal yang indah dan harus dipenuhi fasilitas yang mumpuni (seperti kasus pertama yang saya temui diatas). Persepsi tentang objek wisata modern tersebut menghalangi ide pengembangan desa wisata. Biasanya persepsi tersebut membentuk tembok besar, tinggi nan kokoh bernama “susahnya mencari dana”.

Kalau mau berkata jujur, desa wisata merupakan destinasi khusus. Artinya dia bukan destinasi wisata untuk semua kalangan masyarakat seperti objek wisata modern, melainkan lebih pada jenis wisata nostalgia dan edukasi yang rata-rata menyasar pada kelompok masyarakat dari perkotaan dan anak-anak. Saya katakan sebagai wisata nostalgia karena sebagian besar pangsa pasarnya adalah mereka yang dulunya adalah masyarakat desa yang sekarang terjebak dalam kehidupan kota. Bagi mereka, melihat dan merasakan kembali suasana kehidupan desa adalah hal yang kembali menjadikan hidup menjadi lebih segar (refresh) dan lebih kreatif-produktif (recreat). Mereka akan lebih memilih bau sapi (wisata desa agrarian) atau bau amis ikan (wisata desa pesisir) saat bangun pagi daripada aromaterapi dan parfum hotel. Mereka juga akan lebih memilih suara laut atau angin persawahan daripada suara musik di objek wisata modern.

Kenapa saya katakan juga sebagai wisata edukasi? Ini lebih berkaitan dengan keberlanjutan pengetahuan tentang pedesaan dan kehidupannya yang susah untuk didapatkan dalam pendidikan formal perkotaan. Kalaupun diberikan pengetahuan tentang pedesaan, orang tidak akan pernah tahu sebenarnya jika mereka tidak singgah dan merasakannya langsung. Pengetahuan dan pengalaman langsung inilah yang ditawarkan desa wisata pada masyarakat modern, terutama anak-anak dan mereka yang belum pernah mengenal secara langsung kehidupan desa, termasuk para turis mancanegara. Saya misalkan anda adalah seorang desa yang telah berhasil hidup di kota, apakah anda akan begitu saja mencabut akar sejarah anda pada anak-cucu anda? Atau apakah sebaliknya, anda akan dengan sangat bangga menunjukkan pada mereka bahwa anda berasal dari desa yang penuh dengan eksotisme dan kebersahajaan. Kalau iya, dimanakah anda akan membawa anak-anak anda? Yup, desa wisata adalah jawabannya.

Tentang anak-anak perkotaan yang selalu hidup dalam tembok rumah-sekolah dan juga tembok virtual internet-game. Apakah menurut anda sekali waktu mereka membutuhkan untuk mandi di sungai, memancing di sungai/laut, mencari makan untuk ternak, menggembalakannya dan memberikan makanan langsung pada ternak, memerah susu di pagi hari atau sekedar bermain gasing, gobag sodor, egrang, laying-layang. Kalau iya, dimanakah anda akan membawa anak-anak anda? Yup, desa wisata adalah jawabannya.

Desa wisata adalah sebuah kebutuhan bagi masyarakat modern perkotaan. Potensi historis serta edukasinya bagi sebagian orang jauh lebih bermakna untuk mengisi waktu liburan daripada hingar-bingar objek wisata perkotaan. Inilah yang disebut potensi, inilah yang disebut ciri khas. Jika jenis pedesaan itu beragam, maka semua desa memiliki potensinya sendiri untuk menjadi destinasi wisata. berbeda dengan objek wisata modern yang membutuhkan make-up untuk disebut layak, desa wisata justru dicari karena dia natural tanpa sentuhan, bersahaja dalam kejujuran.

 

Tulisan ini belum selesai, akan saya lanjutkan kemudian…terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun