Ibuku Kartini, semoga ibu berbahagia di alam sana. Namun saya ragu apa ibu bahagia jika masih hidup sekarang. Mohon maaf jika saya lancang menulis surat ini.
Ibuku yang elegan, sampai sekarang bangsa ini masih memberikan ruang memorinya hanya untuk mengingat bagaaimana penampilan ibu dalam foto dan lukisan. Begitu sayangnya bangsa ini pada ibu, sampai-sampai setiap memperingati hari ibu anak-anak bangsa ini mendadak menjadi bidadari dan pangeran Jawa. Sebagian ibu-ibu miskin didaerah saya bahkan rela berhutang demi melihat anaknya tampil seperti Ibu Kartini. Dengan diiringi kereta hias, anak-anak negeri ini menghabiskan sebagian masa kecilnya dan mengenang Kartini dengan sangat ceria. Tahukah ibu, bahwa tukang rias dan pegawai salon lembur setiap malam tanggal 21 April? Saya tidak tahu persis kapan sekolah-sekolah mengajarkan hal itu, yang saya tahu budaya berhias ala Kartini jauh lebih mudah bagi guru-guru daripada budaya membaca dan menulis ala Kartini.
Ibuku yang penuh semangat, ada delapan menteri perempuan dalam kabinet pemerintahan sekaarang. Mungkin ibu akan senang melihatnya. Tapi mohon ibu untuk tidak kritis bertanya apakah itu merepresentasikan kualitas perempuan Nusantara sekarang. Saya tidak mampu menjawab itu bu, setahu saya cukup sulit bagi pak Presiden RI untuk memilih “hanya” delapan dari ratusan juta penduduk perempuan. Itupun beberapa diantaranya dihujat habis sampai sekarang, entah karena penampilannya ataupun karena kinerjanya. Bu, minimal hal tersebut telah sedikit menjawab kerisauan ibu tentang kesewenang-wenangan terhadap perempuan.
Ibuku yang cantik, saya tahu ibu adalah perempuan elok pada zaman ibu. Sayangnya saya tidak menemukan literatur bagaimana ibu merawat kecantikan ibu. Saya juga tidak berani mengatakan bahwa ibu lebih mementingkan untuk tampil cantik daripada tampil cerdas. Perempuan sekarang juga semakin cantik bu. Ibu bisa melihat salon dan klinik kecantikan hampir disetiap sudut wilayah Nusantara. Belum lagi ribuan iklan kecantikan senantiasa merayu perempuan dari segala sudut media. Yang saya tahu bu, kecantikan menjadi kebutuhan utama dari setiap perempuan. Namun saya gagal memahami beberapa hal terkait kecantikan, ibu. Apakah kecantikan adalah sesuatu yang selalu menggunakan sudut pandang laki-laki seperti saya? Apakah kecantikan harus melulu berbicara tentang proporsi tubuh, warna kulit, jenis rambut dan atribut fisik lainnya? Apakah kecantikan berbicara tentang seberapa banyak porsi tubuh wanita diperlihatkan di depan umum? Dan yang paling susah untuk saya fahami adalah apakah kecantikan harus diukur dan dibuatkan kontes ibu? Jika semua ibu jawab dengan jawaban iya, tentu saya akan berdoa untuk tidak dikaruniai seorang putri dalam perkawinan saya. Saya sangat takut dengan definisi kecantikan seperti itu ibu. Saya takut putri-putri saya akan memikul beban yang terlampau berat jika Tuhan memberikan rupa dan bentuk tubuh yang jauh dari definisi cantik sekarang.
Ibuku yang cerdas. Dalam salah satu buku terkenal berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang (HGTT)” nama ibu dikenang sepanjang sejarah Nusantara, bahkan dunia. Saya rasa ibu tidak berharap demikian ketika dulu menulis. Ibu sepertinya hanya berharap cita-cita untuk kemajuan dan partisipasi perempuan tidak berhenti pada akal dan perasaan ibu, ibu ingin menitipkan semua keresahan ibu pada generasi mendatang. Ibu tahu betul tentang bagaimana peran kesabaran dalam penggapaian cita-cita. Ibu melalui surat ini saya sampaikan bahwa banyak wanita Nusantara telah faham dengan buku ibu dan memulai perjuangannya. Melalui ribuan iklan segala media siang malam mereka telah faham. Segala pengetahuan dan tekhnologi (terutama kedokteran) manusia bahkan telah diintegrasikan dalam perjuangan tersebut. Hanya dengan beberapa langkah dari rumah bagi wanita modern sekarang berjuang mengimplementasikan HGTT dalam hidupnya. Bahkan sebagian diantaranya rela meninggalkan tugasnya, anak-anak dan suaminya demi memperjuangkan HGTT. Ibu, perempuan Nusantara hari ini sedang gandrung untuk memperjuangkan warna kulitnya agar selevel dengan bangsa eropa, jepang, cina bahkan korea. Bukan pemikiran dan pena alat perjuangan wanita sekarang ibu, melainkan duit, salon dan perawatan. Itupun bagi mereka yang memiliki uang berlebih, kalau tidak mereka tidak menyerah untuk bergerilya secara militan mencari obat pemutih mujarab yang terjangkau, meskipun kadang-kadang ilegal dan berbahaya. Ibu, dalam benak mereka habis (kulit) gelap terbitlah (kulit) terang adalah harga mati. Itulah tafsiran hermeunetika tentang HGTT yang pertama ibu. Perempuan sekarang jauh lebih militan ibu, ibu pasti bangga.
Ibuku yang sopan. Tahukah penampakan penampilan ibu dalam foto dan lukisan sudah tidak relevan untuk sebagian perempuan sekarang? Sebagian diantaranya menganggap ibu tidak belajar agama dengan benar, karena ibu tidak berhijab. Sebagian lagi menganggap tampilan tersebut kuno. Ibu tidak semodern Taylor Swift, Katty Perry, Jlo atau bintang-bintang K-Pop. Bagi mereka kesopanan akan menjauhkan mereka dari perkembangan mode. Kesopanan hanya akan mengurung diri dan menipiskan kesempatan menjadi trendcenter. Pernahkan ibu membayangkan betapa nikamatnya selfie? Pahamkah ibu sekarang mengapa kesopanan harus ditinggalkan? Bagi wanita modern, mereka harus berani mengimplementasikan pikiran ibu tentang “habis gelap terbitlah terang”. Pada penafsiran kedua, wanita muda harus berani keluar habis gelap dan pulang (menjelang) terbit terang untuk bersuka ria bersama teman-temannya di tempat hiburan malam. Jika terjadi masalah, wanita sekarang tidak segan untuk menggugurkan kandungan atau bahkan membuangnya ketika lahir.
Ibuku yang pemberani, dulu engkau melakukan perlawanan untuk mendapatkan hak yang sama dalam ranah sosial bagi perempuan. Sebagian literatur mencatat perjuangan ibu berakhir paradoks dengan menjadi istri ketiga Bupati pertama Rembang. Iya, ibu gagal waktu itu, namun ibu berhasil untuk masa selanjutnya. Ibu berhasil menginspirasi perempuan setelah ibu untuk terus melakukan perjuangan melawan budaya patriarki. Ibu tahu betul bagaimana rasanya menjadi pilihan ketiga, ibu paham bagaimana menjadi orang yang tidak diharapkan oleh orang lain (Istri pertama). Normalnya perjuangan ibu masih bisa dirasakan sampai sekarang, tidak ada perempuan Nusantara yang mau menjadi pilihan kedua, ketiga dan selanjutnya. Bu, sayangnya kampanye ibu yang telah berhasil dalam beberapa periode sekarang menemui tantangan dari kampanye lain. Ada beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama bahwa poligami adalah implementasi tingkat keimanan seseorang. Bahkan saya pernah mendengar seorang pencermah bilang, tanpa poligami seseorang belum bisa disebut pejuang agama. Ibu, sayangnya banyak dari wanita Nusantara juga dengan bangga bergerilya menjadi pilihan kedua, ketiga dan selanjutnya untuk terus mencari kesempatan menjadi yang pertama. Sebagian dari sesohor wanita negeri ini bahkan telah mempraktekannya. Ibu, entah seperti apa emansipasi dimata wanita sekarang, semakin hari perceraian semakin meningkat. Tentu itu bukan yang ibu haraapkan dulu saat menulis buah pikiran ibu.
Ibu, maafkan saya kaum adam ini menyurati ibu dan menggangu kebahagiaan di alam sana. Selamat hari Kartini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H