Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Generasi Bahagia dengan UN

13 April 2015   13:03 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari media.licdn.com

Jika ada indeks depresi dan kebahagiaan tahunan di indonesia, saya yakin tahun 2015 tingkat depresi secara nasional masyrakat Indonesia turun signifikan, sebaliknya tingkat kebahagiaan nasional juga meningkat. Satu hal yang membuat saya yakin adalah hilangnya salah satu stressor skala nasional, bukan harga sembako, bukan pula harga Bbm, melainkan bergesernya fungsi Ujian Nasional (UN) sebagai tolok ukur kelulusan.

Setelah tahun 2002, akhirnya anak-anak bangsa ini bisa kembali tersenyum bahagia menyongsong akhir studi pada tingkatannya masing-masing, terutama pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Bagaimana tidak, setelah tigabelas tahun kelulusan berada di tangan Ujian Nasional, tahun ini pemerintah mulai berbaik hati untuk mengembalikan kelulusan pada sekolah masing-masing. Tentu ada pro-kontra terkait kebijakan ini, namun saya yakin sebagian besar warga negara ini sama seperti saya pribadi menyambut gembira kebijakan ini.

Saya sendiri secara pribadi merupakan generasi terakhir yang merasakan bagaimana nikmatnya melewati evaluasi pembelajaran tanpa tekanan kelulusan. Saya masih teringat betapa santainya saya dan teman-teman menyambut ujian akhir waktu itu. Hampir tidak ada perbedaan suasana ujian dengan suasana pembelajaraan keseharian keculai beberapa hal seperti ketertiban masuk dan meja yang ditata lebih rapi daripada biasanya. Selebihnya, kami merasa tidak ada beda dengan suasana belajar keseharian.

Selama bertahun-tahun UN selalu jadi pro kontra yang sepertinya tidak berujung. Pergantian pucuk pemerintahan memberikan warna baru dalam pendidikan, terlebih menteri pendidikan sebelumnya telah dikenal dengan visi pendidikan humanis nan penuh kebahagiaan. Dan benar saja, menteri Anies Baswedan mengeluarkan Permendikbud nomor 144 tahun 2014. Peraturan yang dituangkan dalam 28 pasal tersebut terbukti mampu menarik senyum pada simpul wajah siswa dan wali murid di seantero Nusantara layaknya senyum bersahaaja sang menteri.

Hal yang mudah namun tidak gampang saya rasa sang menteri mengeluarkan peraturan tersebut. Mudah mengingat visi sang menteri adalah menyajikan pendidikan sebagai hal yang menyenangkan bagi generasi bangsa. Tidak gampang mengingat UN sebagai tolok ukur kelulusan telah berjalan lebih dari sepuluh tahun sejak tahun 2003. Apapun keputusan sang menteri patut kita apresiasi, minimal (mungkin) tidak ada lagi kesurupan masal saat persiapan (biasanya istighosah) sekolah menyongsong UN.

Menempatkan Evaluasi Belajar Sebagai Proses

Sekolah dan pendidikan formal merupakan salah satu sudut menilai manusia berkembang. Selayaknya, model pembelajaran di sekolah memiliki evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar siswanya. Namun seringkali evaluasi diadakan (hanya) pada tiap akhir periode pembelajaran dan menentukan seluruh proses pembelajaran. hal tersebut sepertinya ada pada sistem Ujian Nasional rentang 2003 sampai 2014. Tak peduli apa yang diperbuat siswa semasa kelas-kelas sebelumnya ataupun semester sebelum ujian. Jika ternyata hasil ujiannya di bawah standar, maka tanda “tidak lulus” akan disematkan. Tanda yang secara sosiologis berarti “gagal”. Apapun prestasinya di masa awal pembelajaran, namun jika tidak lulus, siswa toh tetap dianggap gagal. Sebaliknya, apapun kesalahan dan kegagalannya sebelumnya, jika beruntung bisa lulus, maka siswa tetap akan dikatakan lulus. Belum lagi bagaimana kondisi siswa terakhir saat ujian, apakah dia sakit secara fisik, apakah dia sedang dalam performa psikologis yang baik atau sedang dalam keadaan sosial yang nyaman tidak pernah masuk dalam perhitungan.

Beberapa kali saya dulu pernah menyimak perdebatan model UN yang mana selalu saja pemerintah berkilah memberikan kesempataan UN ulang bagi mereka yang gagal UN. Pada satu sisi alibi tersebut tampaknya humanis, namun jika kita melihat sisi lain (terutama sisi sosiopsikologis) ujian susulan tidak berarti banyak bagi siswa yang terlanjur dinyataakaan tidak lulus. Mereka terlanjur mendapatkan stigma “gagal” dan terlanjur merasakan kekecewaan, bukan hanya kekecewaan pribadi tetapi juga kekecewan keluarga mereka. Harapan keluarga akan kelulusan terlanjur telah patah, keluarga (sedikit atau banyak) merasa telah menjadi out-group masyarakatnya karena dianggap gagal mendampingi anaknya.

Selain kompleksitas akibat dalam diri siswa dan keluarganya, banyak hal yang membuat evaluasi pembelajaraan selayaknya dianggap sebagai bagian proses, bukan hasil. Kita tentu masih ingat bagaimana keresahan secara masal jika UN akan segera datang, para wali murid ikut cemas, kepala sekolah dan guru mempersiapkan segala macam untuk bukan saja menyelamatkan siswanya, namun juga menyelamatkan nama baik sekolahan. Akhirnya terjadi kolaborasi antara pihak sekolah dan wali murid. Beberapa kolaborasi terlihat sangat positif, seperti menyepakati jam belajar tambahan dan juga mengawasi 24 jam aktivitas tiap siswa. Namun, ketika kecemasan memuncak beberapa sekolah dan wali murid bersepakat untuk tawakkal pada Ilahi dengan menyelenggarakan istighosah. Sayangnya saya seringkali melihat istighosah digelar bukan untuk bertawakkal melainkan sebagai cara instan mendapatkan hasil baik.   Kolaborasi yang paling menyedihkan yang terlihat di beberapa siaraan media dan (mungkin) anda juga melihatnya secara langsung adalah bagaimana siswa secara terorganisir dan sistematis dilatih untuk berbuat curang dengan berbagai cara. Mulai dari mencontek, kerjasama sampai pihak sekolah menyiapkan tim untuk membocorkan jawaban soal. Secara pribadi saya melihat hal tersebut sebagai perampokan terhadap karakter dan mental siswa. Bagi saya pribadi hal tersebut justru lebih kejam dari sekedar tidak lulus UN.

Melihat implikasi kompleks tersebut, sepertinya Menteri Pendidikan paham betul bahwa pendidikan harus segera ditarik kembali dan diinjakkan ke bumi, kembali mendidik anak manusia di bumi manusia. Bapak menteri paham betul bahwa menitikberatkan pendidikan hanya pada satu fase (ujian) saja akan dapat memberikan banyak implikasi baik secara psikologis individual (siswa) maupun psikologis komunal (guru, sekolah dan masyarakat).

Membentuk Karakter Melalui UN

Anda yang berprofesi dalam dunia pendidikan (terutama pendidikan tinggi) mungkin saja merasa kenapa praktek menyontek dan kerjasama saat ujian semaakin tahun semakin meningkat dan tidak terkontrol saja. secara pribadi saya merasa ada yang berbeda dari generasi sekarang dengan generasi dulu saat ujian bukan menjadi tolok ukur utama. Inilah salah satu implementasi karakter manusia yang merupakan implikasi langsung dari sistem pembelajarannya.

Dihapuskannya UN sebagai tolok ukur kelulusan saya rasa akan memberikan dampak positif bagi karakter siswa kedepan. Karakter disini saya maksudkan sebagai bagaimana siswa menempatkan orientasi tujuan (goal orientation) dan yakin atas keberfungsian dirinya akan hal-hal yang diharapkan (self efication).

Dalam berbagi teori dan penelitian tentang orientasi tujuan siswa dalam kegiatan akademik (Church, Elliot, & Gable, 2001; Harackiewicz, Barron, Elliot, Carter, & Thrash, 1997; Harackiewicz, arron,Tauer, Carter, & Elliot, 2000), ditemukan bahwa sebagian siswa sangat termotivasi untuk melakukan kegiatan dengan baik karena mereka ingin mendapatkan "nilai maksimal" dalam pelajaran, sehingga menunjukkan kepada diri mereka sendiri, teman-teman mereka, guru, dan bahkan orang tua bahwa mereka bahwa mereka pintar dan berhasil (performance-approach goal/ PAp). Beberapa siswa yang lain justru mungkin sibuk berusaha untuk menghindari hal-hal tertentu agar ketidakmampuan dan kelemahan mereka tidak terlihat orang lain (performance-avoidance goal/PAv). Berbeda dengan dua model siswa diatas, sebagian siswa yang lain justru kurang peduli dengan pamer kemampuan mereka dan lebih tertarik  dengan memahami materi pelajaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam domain/ranah tertentu (mastery goal/ MG).

Secara garis besar model PAp dan PAv merupakan model penempatan orientasi tujuan yang menggantungkan tujuannya pada hal-hal yang bersifat material, seperti nilai, piagam, sertifikat, piala dan sanjungan. Saya lebih suka menyebut orientasi kedua model ini sebagai orientasi objektif. objektivitas tujuan membuat siswa model ini menempatkan tujuan dan keberhasilannya pada faktor eksternal (di luar dirinya).  Berbeda dengan model MG yang menggantungkan orientasi tujuannya pada hal-hal yang bersifat perluasan pemahaman, pendalaman kemampuan dan kepuasan personal. Siswa jenis ini lebih tertarik untuk menguasai pelajaran lebih dalam dan mencari tambahan kebenaraannya diluar dan menganalisisnya untuk penguasaan lanjutan. Kepuasannya tidak terletak pada nilai rapor dan sanjungan orang lain (eksternal) namun lebih pada kepuasan yang dia patok secara pribadi (subjektif).

Model evaluasi konvensional (seperti UN sebelumnya) mau tidak mau mengarahkan siswa untuk menempatkan goal orientationnya pada jenis PAp dan PAv. Tujuan akhir pembelajaran hanya dilihat dari nilai UN dan kebanggaan sekolah serta orang tua. Siswa belajar bukan untuk keingintahuan akan ilmu pengetahuan, namun untuk menghilangkan beban stigma “gagal” jika tidak lulus UN. Apa yang akan kita lihat pada generasi penuh stressor seperti ini adalah generasi yang memeiliki efikasi diri (keyakinan) rendah. Generasi yang rela melakukan apapun (termasuk kecurangan) demi memiliki performasi sesuai standar yang diharapkan lingkungannya. Generasi yang sulit menerima kegagalan dan sulit menerima perbedaan. Generasi instan yang tidak pernah menghargai proses.

Saya berharap dengan perubahan model UN seperti yang dilakukan adik-adik hari ini (13/4/2015) akan memberikan siswa kebebasan untuk menentukan orientasinya sesuai dengan minat dan keinginannya, bukan karena beban sosial.  Generasi yang menghargai dirinya sendiri, menyadari penuh arti perbedaan dan generasi yang berproses dengan bahagia. Saya katakan bahagia karena dengan UN sebagai proses, bukan tolok ukur, siswa akan merasa senang melakukan aktivitasnya, siswa juga akan belajar memaknai setiap proses bukan hanya UN dan juga siswa merasa terlibat secara langsung bagaimana keberhasilan bisa dia dapatkan. Bukankan ketiga hal tersebut telah menjadi tolok ukur kebahagiaan menurut Seligman?

Selamat berproses dengan model UN baru generasi bahagia Indonesia baru!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun