Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menyatu dengan Lupa, The Last Part

22 Maret 2015   16:02 Diperbarui: 28 Agustus 2017   13:08 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin malam begitu terasa dingin. Sensor sarafku tak kuasa menahan gempurannya, kulitku terasa kilu, tanganku bergetar, jantungku membeku. Mataku tak mampu lagi bergerak, ingin rasanya memerintahkannya untuk melanjutkan gerakan sakadik kata demi kata, kalimat menuju paragraf sampai akhir tulisan. Namun ia seolah memberontaknya, seolah ingin melompat keluar dari kelopaknya. Mataku berteriak tak mampu melanjutkan tugasnya, ia malu, tak kuasa membawa pesan sensoriknya pada bagian oksipital otak. Atau seolah dia mau memberikan kode bahwa otak yang diwakili daerah oksipital telah tegas memberikan jawaban untuk tidak menerima informasi tersebut. Kupingku, kenapa kupingku. Kenapa tidak terdengar suara kereta api di belakang gubuk, kenapa tidak mendengar suara orang begadaang bermain kartu, kenapa tidak juga mendengar suara sungai yang biasanya mengambil separuh suasana malam.

“bunda percaya, di akhir usianya beliau akan bertemu lagi dengan Ayah. Dia percaya Ayah akan pulang” petikan terakhir tulisan tersebut membuat aku bangkit dan kembali menguasai dan menyatukan seluruh bagian tubuhku untuk se iya se kata dalam komando. Kuambil satu kertas dan kutuliskan pesan singkat pada Lastri, “Las, Aku pergi malam ini. Aku tak kuasa untuk berpamitan langsung denganmu. Aku pergi mencari diriku yang dulu kutinggalkan, aku pergi ke rumahku. Terimakasih atas semuanya, salamku untuk Sabar dan Malik. Hanung”.

Kualunkan langkahku menuju stasiun kota Malang dan berharap tiket untuk hari ini masih ada.

***

Sinar matahari terlihat malu-malu memperlihatkan dirinya pagi ini. Mendung saling berdesakan seolah seirama dengan suasana stasiun gambir, penuh sesak penumpang. Para portir terus saja berteriak untuk membantu membawakaan barang bawaan penumpang, petugas stasiun sesekali mengarahkan suasana. Beberapa calo terlihat tak kalah gigih mendekati calon penumpang yang terlihat kecewa tidak mendapatkan tiket.

Aku berpacu dengan laju waktu, kuarahkan langkah kakiku menuju rumah sahabatku menggunakan taksi. Sepanjang perjalanan, ada semacam paradoks dalam tubuhku, di satu sisi aku merasa ada sesuatu yang akan kembali, di sisi lainnya aku merasa tubuh ini tak pantas mendapatkannya lagi. Taksi berhenti tepat di depan rumah yang tidak asing lagi bagiku, terlihat didepan rumah seorang paruh baya sedang bersiap memasuki mobil dibantu oleh seorang lainnya yang terlihat tergesa-gesa membawakan tas.

“Pak, tunggu saya disini. Sebentar lagi aku kembali” kubuka percakapan dengan sopir taksi setelah hampir satu jam saya berada di dalamnya tanpa berbicara.

“Baik pak”

“Bing....nggo??!” kukeluarkan parau suaraku tersendat melewati tenggorokan yang entah mengapa susah sekali membantu menyebut nama tersebut. Binggo, begitu aku memanggil sahabatku ini. Dia adalah cowok paling digandrungi cewek mulai SD. Bimo Bimantoro adalah nama lengkapnya. Sebagai lelaki, dia hampir tidak memiliki cela, sampai dia lulus kuliah psikologi, dia tetap cowok idaman.

Lelaki paruh baya berpakaian putih ala dokter melihat ke arahku, sekan tidak percaya. Dia pandangi aku mulai ujung kaki sampai ujung kepala. Hingga beberapa detik dia tidak menjawab panggilanku. Sama sepertiku, dia terlihat tidak percaya sambil sesekali memutar tubuhnya dan melangkahkan kaikinya mendekati aku.

“Baaaa....tu???!!!” mulutnya mulai terbuka dan tetap mencoba menguasai dirinya. Batu, begitu dia memanggilku. Semenjak SD seringkali Binggo kuwalahan membelaku, menasehatiku sampai memarahiku karena sikap kerasku. Namun apapun, dia adalah lelaki kedua yang paling mengerti aku setelah bapakku.

“Hara, benarkah itu kamu, batu??!” sampailah tangannya pada baju lusuh, rambut kumal, dan wajah kusamku. “Darimana saja kamu?? Aku, aku...sungguh tidak mempercayai ini” dia berusaha mengejar dengan segala kekagetannya.

“Nggo, masih boleh aku tetap menmanggilmu seperti itu?” sambil melihat papan nama Bimo Bimantoro, Psi. tergantung di depan balkon rumah mewahnya.

Dia hanya mengangguk dan memegang kedua lenganku. Aku balas memberi kode kedipan sambil melihat taksi kepadanya. Diapun lantas mendekati taksi dan taksipun membunyikan bel sambil berlalu.

“Mari masuk tu” sambil memeluk dan mendorongku masuk kerumahnya, dia memberikan tanda pada asistennya bahwa dia tidak jadi berangkat kerja.

Kuceritakan semua apa yang terjadi padanya, dan terlebih kenapa aku memilih bertemu dia dulu sebelum kerumahku. Mulai kecelakaan pada perjalanan mudik ke kampung bersama istriku Kinan, dan kedua anakku, Danang dan Cita. Kuceritakan secara detail juga bagaimana hancurnya perasaanku ketika aku mendapati diriku selamat dengan luka ringan, namun ketiga belahan hatiku dalam keadaan kritis. Sampai akhirnya pada hari keempat aku menunggu di rumah sakit, dokter memberi kabar bahwa Danang tidak bisa diselamatkan lagi. Perasaanku tak bisa kukendalikan lagi. Aku merasa semuanya berakhir, ketiganya tidak selamat lagi. Hidupku telah usai. Di tengah depresi berat itulah aku berjalan tanpa arah. Ingatanku hilang, atau malah berganti dengan pribadi baru bernama Hanung. Hanung menemukan keluarga baru, bersama janda dan kedua anakanya. Hidup sebagai pengamen dan tinggal di pinggiran kota Malang. Sampai akhirnya tak terasa dua puluh tahun lebih aku kembali karena tidak sengaja menemukan berita tentang kisah Kinan di salah satu koran bekas yang menjadi penutup dinding di rumahku sebagai Hanung. Aku sangat yakin itu adalah tentang Kinan dan Cita.

“Nggo, pantaskah aku kembali pada mereka?” airmataku seperti pelari sprint yang tidak mau ketinggalan satu langkahpun dengan kata-kataku.

“Tu,..aku masih sama Binggo, aku sahabat yang percaya padamu. Namun kejadian yang kamu alami sangatlah jarang terjadi, meskipun hal tersebut ada dalam catatan buku kejiwaanku” sambil menghela nafas, dia mempersilahkan aku untuk mencoba menikamati secangkir kopi hitam yang baru saja dihidangkan pembantunya. Binggo terlihat menelpon seseorang dan memintanya untuk cepat datang.

“Kamu sudah beristri kan?” tanyaku sambil melempar sedikit senyum. Binggo terkenal sangat kalem dan hampir tidak menggubris cewek-cewek yang mendekatinya sejak dulu. Sesekali dulu aku mengejeknya untuk tidak terlalu serius, nanti lupa menikah, menyesal, lalu malah mencari laki-laki untuk mendampingi hidup.

“Sudah, barusan telpon. Maaf tu, dia masih perjalanan pulang, jadi tidak bisa ikut menyambut. Bentar lagi dia nyampek kok. Beberapa bulan terakhir dia sering menemani sahabatnya sampai menginap” senyumnya terlihat memberikan jawaban atas ejekanku dulu sekaligus memberikan teka-teki tentang siapa istrinya.

“Nggo, kamu belum menjawab. Pantaskah aku kembali pada keluarga yang kutinggalkan?!”

“Tu, kamu mengalami peristiwa luar biasa lebih dari dua puluh tahun. Asesmen awalku, kamu mengalami beberapa gangguan secara bersamaan. Kecelakaan tersebut menjadi peristiwa yang menghancurkan emosimu selama empat hari tanpa kepastian. Setelah ada kepastian tentang...maaf meninggalnya Danang, aspek emosionalmu telah hancur, kamu depresi. Depresi inilah yang membuat cara berpikirmu tidak lagi bisa kamu kendalikan. Kamu mulai berpikir generalisir, bahwa semuanya sudah berakhir. Kamu mulai percaya bahwa Istri dan anak perempuanmu juga ikut meninggal. Disanalah terjadi disosiatif, semacam ketidakberdayaan ‘identitas’ psikologismu menahan distres selama empat hari” dia seolah tidak mau tergesa dan menikmati kopinya. “Disosiatif adalah gangguan yang jarang sekali terjadi di negara ini, ketika identitas aslimu sebagai ‘Hara’ tergantikan dengan siapa tadi...’Hanung’. Kamu tadi bercerita menemukan identitas ‘Hanung’ selang beberapa tahun dalam pelarianmu, hal tersebut dalam kitab abnormal disebut ‘Disosiatif tipe Fugue’. Namun yang sedikit aneh adalah kenapa pelarianmu selama itu, padahal dalam beberapa literatur kejiwaan abnormal saya hanya menemukan pelarian paling lama hanya hitungan tahun bukan puluhan tahun” dia menghentikan penjelasannya dan berdiri menyambut seseorang datang.

“Sayang, maaf tidak sempat membuatkan sarapan pagi ini?” begitu wanita paruh baya yang masih terlihat cantik langsung menyalami dan mencium tangan suaminya. Matanya melihat ke arahku, sedikit berhenti dan “Harrrr....a???”

“La........rrrrrasss??? Jadi kamu menikah dengan Bimo?” senyumku mengembang membayangkan betapa serasinya kedua pasangan ini. Lain sisi tubuhku kembali membeku setelah sebelumnya sempat merasa sedikit tenang saat mengobrol dengan Binggo. Laras, perempuan cantik, ceria dan cerdas serta sangat kritis. Dia sahabat istriku, Kinan. Aku sungguh tak menduga, Laras menikah dengan Binggo, keduanya memiliki karakter berlawanan. Binggo yang kalem, pintar, taat dan tidak neko-neko menikah dengan Laras??! Tapi itulah takdirnya. Kehadiran Laras seolah mengantarkanku sampai pada tujuan di luar duagaanku. Tanpa sedikit keraguan, Laras pasti tahu keadaan terakhir Kinan.

Pagi ingin sekali cepat berlalu, seperti kereta komuter Jakarta yang enggan berhenti lama. Perbincanganku dengan Binggo dan Laras berakhir sebelum siang karena permintaan Laras. Laras ingin aku segera menemui Kinan dan Cita. Dia tidak ingin lagi menunda waktu demi sahabatnya Kinan dan Cita yang dia sebut sebagai anaknya sendiri. Setelah mempersilahkanku mandi dan mengurus diri, mereka mengantarkanku ke rumah.

***

Mobil melaju menuju rumahku, Binggo mengemudikannya sendiri ditemani Laras mengisi kursi sampingnya. Aku duduk dibelakang, terus saja berusaha menguasai diri, menguasai bahwa aku adalah Hara, pengusaha furnitur penuh spekulasi dan keras kepala saat menjalankan bisnisnya, namun sangat penyayang keluarga. Hara, Hara, Hara, hampir seumur hidupmu tak sekalipun kamu menemui rintangan berarti, bisikku dalam hati mengingat perjalanan hidupku. Meskipun aku dilahirkan dalam keluarga sederhana, namun praktis segala upayaku berjalan tanpa rintangan berarti sampai aku bertemu dengan kesuksesan. Istriku, Kinan, perempuan cantik namun tidak manja. Itulah mengapa aku memilih Kinan, dia tidak seperti teman cantik lainnya, manja, dan hanya melihat materi sebagai kebahagiaan. Kinan tidak, dia suka memasak. Bagiku memasak adalah indikator utama dimana wanita siap hidup dalam dimensi finansial apapun. Jika memasak saja tidak bisa, bagaimana rengekan perempuan tentang kesetiaan bisa dipercaya? Bunyi klip-klop mobil Binggo membawaku kembali pada jok belakang.

“Nggo, bukannya rumahku lurus? Apa aku sudah lupa dengan jalanan Jakarta?” sergapku terkaget.

Binggo tetap melanjutkan perjalanan sambil menggelengkan kepala “Tidak, kamu tidak lupa tu, ingatanmu juga masih baik”

“Terus, kita mau kemana ini?” kupotong dengan segera

“Ke rumah keluargamu” jawab Laras menenangkanku

“Maksud kalian?”

“Har, bencana kecelakaan dulu mengubah segalanya, mungkin akan mengubah lagi ingatanmu yang baru pulih. Butuh biaya besar untuk menanggung biaya pengobatan kalian, biaya pengobatan korban, dan juga biaya hidup selama dua puluh tahun Har” mata Laras terlihat sendu dari kaca spion dalam.

Tubuhku yang penasaran dan tegap tidak mau bersandar dari pertama masuk mobil langsung jatuh ketika mendengar kronologi Laras. Beberapa kali Laras juga terlihat membuka hanphone dan menulis pesan dengan seseorang yang terlihat serius. Aku tak mampu berbicara dan menegakkan kepalaku lagi, dalam bayanganku, betapa berat hidup yang dilalui Kinan dan Cita. Betapa jahatnya diriku meninggalkan mereka selama dua puluh tahun, tanpa alasan, tanpa pamit dan tanpa kabar. Jakarta tetap tak peduli perasaanku, tak membiarkanku cepat sampai tujuan dan menghambur pada Kinan dan Cita. Jakarta adalah keangkuhan. Macet, macet dan macet tak mempedulikan sedikitpun betapa berharganya setiap gerakan jarum jam bagiku saat ini. Tuhan, aku rela mengganti setiap detik jam dengan satu hari hidupku asal kemacetan segera terurai.

Pukul empat lebih tigabelas menit mobil berhenti pada ruas sempit gang, entah pojok Jakarta mana aku tidak tahu. Laras dan Binggo mengajak aku turun dan menyusuri gang sempit sampai akhirnya bertemu pada rumah hijau penuh dengan pot-pot bunga di depannya. Ingatanku melayang, betapa Kinan aadalah penyuka warna hijau dan bunga. Tak kuasa aku melangkah mendekati pintu rumah.

“Tu, ayo...” ajak Binggo

“Tunggu apa lagi Har, inilah rumah Kinan dan Cita sekarang” Laras menyakinkanku

Belum juga kaakiku sempat melangkah, pintu rumah terbuka dan keluar sosok gadis cantik berhijab penuh sopan.

“Tante, om.....” matanya mengarah tajam namun penuh harapaan kepadaku “silahkan masuk, kami sudah menunggu” tak terucap panggilan yang dulu aku kenal. Namun aku yakin dialah Cita, mata sipitnya adalah mataku, bibir tipisnya adalah bibir bundanya. Tinggi dan berkulit putih, semuanya milik bundanya.

“Har...mari masuk” ucap Laras seperti mempersilahkan tamu hotel.

“Nggo, Ras...aku....” tetap saja sebagian dari tubuhku menolak untuk menghadapi kenyataan. Pertempuran sengit kurasakan sedang terjadi layaknya perang besar dalam film kolosal dalam kepalaku. Kurasakan darah korban perang merembes ke jantungku, air mata akibat perang telah terasa mengaliri tiap milimeter hatiku. Aku merasa hidupku akan berakhir hanyut mengikuti arus banjir darah dan air mata, sampai aku merasa ada yang menarik tanganku saat aku mulai susah bernafas.

“Ayah....” seketika tubuhnya menghambur memluk tubuhku yang ringkih.

Panggilan, suara, pelukan anakku Cita menarikku kembali ke perahu kecil untuk kembali berlayar dalam samudera. Ayah...suara itu menuntunku melewati lorong gelap waktu puluhan tahun lalu. Membuatku kembali mengumpulkan puing semangat yang terserak sepanjang lorong panjang nan gelap itu. Semangat, ya semangat. Dia bagai obor yang siap kapan saja dipantik untuk menerangi lorong jalur sinaps neuron di otak yang mulai digerogoti waktu, decay.

Pelukanmu Cita, membisikkan kembali cerita bahagia yang terpisah di seberang waktu. Melangkahkan kakiku mendekati sesosok manusia yang paling kudambakan seumur hidupku, Kinan.

“Bunda, ini Cita” sambil mengelus rambut Kinan, Cita melanjutkan “Bunda waktunya telah tiba, waktu telah membayar lunas kepercayaan dan kesetiaan bunda. Ayah datang..” tak kuasa, bendungan menahan laju air mata cita. Sambil menunduk, tangannya hanya mampu menutupi mulut yang ikut terbuka.

Kinan, wajahmu tetap terlihat ayu, meski beberapa saraf terlihat tidak mau menyambungkan kisah ayumu lagi, meski terlihat datar. Matamu sayu namun selalu memendam semangat, mata yang selamanya akan memikatku, mengikatku.

“Kinan...aku Hara, Suamimu. Maafkan aku Kinan” kemana perbendaharaan kata yang kumiliki, tak mampukah lidahku memproduksi morfem dalam bungkusan sintaksis?

“Mas Hhh..harra” lirih suara Kinan, seperti alunan musik klasik mengantarkan maknanya. Terlihat datar ekspresinya, tak mampu lagi otaknya menjadi dirigen bagi wajah mengikuti suasana emosinya.

“Lihatlah catatanku” sambil menunjukkan buku tebal berwarna hijau pudar dipangkuannya, airmatanya menetes.

Kupeluk erat wanita hebat yang telah mendampingi hidupku. Kinan, kau dampingi aku, saat aku ada atapun tidak ada disampingmu. Aku merasa ada yang ingin dia sampaikan, namun aku teringat kata-kata Laras, Alzheimer telah menggerogoti ingatannya. Terus saja memorinya dirusak tanpa memberikan kesempatan baginya untuk memperbaikinya, bagaikan senjata modern terus menggempur penduduk Palestina, tanpa jeda, tanpa tahu sampai kapan akan berakhir.

Kuambil buku hijau kusam di pangkuannya dan mulai kubaca

“Mas Hara, aku yakin kau akan kembali. Seperti keyakinanku akan datangnya sinar matahari mengganti gelapnya malam. Mas, aku ingin tetap mengenang anugrah terindah hidupku, kau dan anak-anak kita. Meskipun aku tahu hanya sedikit waktu yang diberikan padaku untuk menjaganya dalam otakku. Dokter menjatuhkan vonis alzheimer sepuluh tahun usai kecelakaan itu. Mas, hanya tulisan ini yang bisa mewakili apa yang selama ini kudoakan. Obat resep dari dokter ataupun suami Laras tak mampu membendungnya. Mas, aku ingin menyatu dengan lupa, bukan melawannya” sejenak ingatanku mengarah kembali pada gubuk reot tempat Lastri, Sabar dan Malik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun