Autis, kata itu semakin familiar dalam komunikasi kita sehari-hari. Satu tempo kata ini menyempit dan begitu digandrungi sebagai bahan ejekan terutama oleh kaum muda sebagai label untuk teman yang terlalu sibuk menggunakan gadget. Apakah hal tersebut benar, ideal atau??
Autisme pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Istilah ini berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri yang mendapat imbuhan “isme” sebagai suatu perlambang aliran, istilah ini dimaksudkan untuk menyebut seseorang yang terlihat hanya tertarik dengan “diri”nya sendiri. Gangguan ini juga biasa disebut sebagai sindrom Kanner.
Sampai pada definisi saja kita telah dapat membedakan bagaimana individu autistik samasekali berbeda dengan penggila gadget, mengingat ketertarikan penderita autis lebih pada “diri” yang jelas berbeda dengan penggila gadget yang tertarik dengan dunia maya internet.
Asosiasi Psikiatri Amerika dalam buku klasifikasi gangguan kejiwaan (DSM IV TR) menyebutkan gangguan ini sebagai gangguan perkembangan secara menyeluruh/pervasive (APA, 2004). Menyeluruh disini berarti bukan hal yang hanya penggalan (spesifik), seperti gangguan bicara, gangguan hiperaktif, cacat intelegensia (mental retarded) atau yang lainnya. Seperti sebagian besar pemerhati autis, APA juga mengidentifikasikan 3 kriteria umum individu autistik, yaitu kesulitan dalam komunikasi interpersonal, gangguan perkembangan bahasa, serta terbatasnya minat dan perilaku (repetitive). Namun secara keseluruhan, sebagian ahli menyarankan kewaspadaan tingkat tinggi jika kita hendak melakukan diagnosis gangguan autis. Artinya gangguan model pervasive merupakan gangguan yang harus di assesmen secara holistik dan komprehensif dengan kerjasama berbagai jenis keilmuan seperti kedokteran dan psikologi. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa setiap individu autistik memiliki keunikan tersendiri yang menunjukkan sekumpulan gejala baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Segala kompleksitas tersebut semakin menegaskan posisi abu-abu (grey area) model gangguan ini, sehingga upaya penegakan diagnosa juga membutuhkan waktu antara enam samapi setahun.
Gejala Umum Autismee
Seperti yang telah saya uraikan diatas, minimal terdapat 3 gejala umum pada anak autis. Gejala pertama merupakan gejala yang juga diapaki sebagai asesmen awal gangguan ini, dia adalah model komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal sangat berhubungan dengan bagaimana indera fisik seseorang berfungsi baik ketika menerima pesan eksternal kemudian berkomunikasi secara internal dengan otak. Selain bahasa verbal, komunikasi interpersonal juga melibatkan emosi, sehingga tak jarang kita hanya mengekspresikan pesan lewat tatapan mata, raut wajah sampai gerakan badan yang lain. Umumnya komunikasi interpersonal pertama manusia dapat terlihat secara kasat mata pada tahun pertama kehidupan. Misalnya seperti seorang bayi yang menginginkan balon terbang. Biasanya si bayi akan melihat ke wajah ibu/pengasuh kemudian ketika sang ibu telah memberikan respon dia akan melakukan kontak mata untuk menarik perhatian dan menunjukkan seseuatu yang diperhatikannya (balon). Terdapat interaksi yang bukan hanya fisik tapi emosional dalam tahapan komunikasi interpersonal, hal tersebut merupakan inti proses komunikasi interpersonal manusia normal. Hal tersebut tidak mampu dilakukan dengan sempurna oleh individu autistik, mereka gagal melakukan interaksi pesan (komunikasi) dengan orang lain. Namun yang paling penting untuk diingat adalah bahwa komunikasi disini dipandang secara keseluruhan (bukan hanya bahasa verbal) serta dilihat dalam hal kualitasnya. Artinya tidak semua anak autis tidak mampu menjalin kontak mata dan memberikan stimulus, namun kualitas kontak mata ataupun stimulus individu autistik sangatlah rendah.
Kegagalan membangun komunikasi interpersonal berakibat secara langsung pada gejala umum kedua individu autistik, yaitu abnormalitas pada perkembangan bahasa. Bahasa yang dimaksudkan disini adalah bahasa verbal maupun nonverbal. Hal yang paling sering dijumpai pada penderita autis adalah bagaimana mereka hanya sedikit menguasai perbendaharaan bahasa, ataupun sebaliknya, menguasai perbedaharaan bahasa namun tidak mampu mengaplikasikannya dengan tepat. Dalam kasus anak autis dengan tingkat intelegensi tinggi (Asperger—diambil dari nama penemu Hans Asperger) biasanya seorang autis mampu menyimpan bahasa verbal dengan sangat baik, namun tidak mampu menggunakannya dengan efektif (konteks hubungan pemaknaan bahasa) sehingga terkesan sangat kaku.
Ketidakmampuan berbahasa dengan baik, secara langsung sangat berhubungan dengan gejala umum yang ketiga yaitu terbatasnya minat dan perilaku atau secara kasat mata menaruh minat yang sama (obsessive compulsive) untuk diulang-ulang (repetitive). Terbatasnya minat dan perilaku individu autistik disini tumpang tindih dengan perkembangan fantasi dan imajinasi. Terbatasnya imajinasi dan fantasi anak autis dalam perkembangannya dapat meyebabkan terbatasnya minat dan perilaku, begitu juga sebaliknya. Dalam kasus ini, terlihat dari detil perilaku yang sering diulang dan seperti tertutup pada perubahan. Jika dalam karya seni, hasil karya anak autis adalah pandangan yang detil dan sempurna tanpa dibumbuhi imajinasi.
Perkembangan Autisme
Mulai dilaporkan Kanner pada tahun 1943 sampai pada akhir era 1980-an kasus autis masih sangat jarang ditemukan. Entah karena perhatian yang kurang, terbatasnya laporan atau memang belum berkembang. Pada tahun 1999 American Academy of Neurologist melaporkan autisme dalam perbandingan 15 kasus autisme per 10.000 orang. Tahun 2001 meningkat menjadi 20 kasus per 10.000 orang. Laporan mengejutkan pada tahun 2011 oleh UNESCO yang mencatat 6 kasus per 1000 orang.
Sedikit catatan diatas mengingatkan kita betapa autisme merupakan hal yang nyata dan dekat dengan kita. Tidak tepat jika menggunakan istilah ini hanya untuk menjuluki secara “negatif” untuk perilaku orang normal yang secara sadar mengabaikan komunikasi interpersonal, terutama dalam kasus kecanduan gadget.
Anak merupakan akrunia terindah sepasang manusia, dia sepagai penanda keagungan Tuhan sekaligus penanda kesempurnaan kehidupan pasangan manusia. Ketika karunia tersebut datang (tanpa kita mampu memilih) dalam bentuk yang berbeda, maka keikhlasan adalah jawaban untuk tetap teguh mencintai karunia. Ikhlas adalah proses, dimana manusia membutuhkan kekuatan berupa keyakinan dari dalam diri dan juga dukungan social dari lingkungan sekitar. Ikhlas selanjutnya melahirkan sabar, syukur, mencintai dan menyayangi tanpa putus.
Autisme merupakan abnormalitas menyeluruh dalam perkembangan, mereka butuh keikhlasan bukan saja dari keluarganya, tapi dari kita semua umat manusia. Bukan hanya sekarang, tapi juga masa depan. Bukan hanya tindakan sementara, namun juga perhatian berkelanjutan selamanya.
2 april adalah hari autisme sedunia, dia bukan peringatan pesta seperti hari ulang tahun, hari pernikahan ataupun kemerdekaan. Dia ada untuk memberitahukan kita, melatih kita untuk memberikan empati kepadanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H